NovelToon NovelToon
Serafina'S Obsession

Serafina'S Obsession

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / Romansa Perdesaan / Mafia / Romansa / Aliansi Pernikahan / Cintapertama
Popularitas:46
Nilai: 5
Nama Author: Marsshella

"Apa yang kau lakukan di sini?"

"Aku hanya ingin bersamamu malam ini."

🌊🌊🌊

Dia dibuang karena darahnya dianggap noda.

Serafina Romano, putri bangsawan yang kehilangan segalanya setelah rahasia masa lalunya terungkap.

Dikirim ke desa pesisir Mareluna, ia hanya ditemani Elio—pengawal muda yang setia menjaganya.

Hingga hadir Rafael De Luca, pelaut yang keras kepala namun menyimpan kelembutan di balik tatapannya.

Di antara laut, rahasia, dan cinta yang melukai, Serafina belajar bahwa tidak semua luka harus disembunyikan.

Serafina’s Obsession—kisah tentang cinta, rahasia, dan keberanian untuk melawan takdir.

Latar : kota fiksi bernama Mareluna. Desa para nelayan yang indah di Italia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

20. Warisan Darah dan Dusta

Kembali ke kediaman Romano terasa seperti masuk ke dalam sangkar emas yang dingin. Gerbang besi berat itu tertutup di belakang Serafina, mengurungnya kembali dalam dunia yang dulu membesarkannya sekaligus membuangnya. 

Semua ini terjadi karena permintaan terakhir Gia, cameriera yang ternyata adalah darah dagingnya. Sebelum menghembuskan napas, Gia menagih janji Isabella Romano—janji untuk mengembalikan Serafina sebagai pewaris sah, mengubur rahasia kelahirannya dalam-dalam.

Hari perkenalan Serafina pada media berlangsung gemerlap. Dengan gaun haute couture, dia disorot kamera, dipersembahkan pada dunia sebagai Serafina Romano, putri tunggal yang selama ini bersekolah di luar negeri. Tapi di balik senyum sempurna itu, Leonardo Romano memendam amarah. Dipaksa menepati janji istrinya kepada seorang cameriera membuatnya merasa dinodai.

*Haute couture : pakaian mewah yang dibuat khusus, satu-satunya, untuk klien tertentu

Sementara Gia, perempuan yang melahirkannya, dikuburkan dalam sunyi. Hanya dihadiri para cameriera lain, tanpa seorang pun dari keluarga Romano. 

Bahkan, Leonardo melarang Serafina mengunjungi makam Mamma kandungnya itu. “Kau tidak pantas mengotori dirimu di tempat itu,” hardiknya.

Malam itu, saat Serafina akhirnya kembali ke kamar lamanya—masih terjaga rapi seperti masa kecilnya—Leonardo masuk tanpa permisi, diikuti beberapa cameriera.

“Kembalikan dia seperti dulu,” perintah Leonardo pada para cameriera, suaranya penuh kekecewaan. 

Matanya menyapu tubuh Serafina yang kini lebih berisi, kulitnya tidak lagi pucat sempurna tapi memiliki healthy glow ala Mareluna yang dianggapnya ‘kusam’.

“Tingkatkan pencahayaan untuk media. Dia harus terlihat sempurna,” tambah Leonardo.

“Papà, aku lelah.” Serafina memohon, ingin sekali merebahkan diri.

“JANGAN PANGGIL AKU PAPÀ!” bentak Leonardo, membuat Serafina tercekat. “Hanya di depan media.”

BRAK!

Pintu tertutup, meninggalkan Serafina dengan para cameriera yang akan memandikannya dengan air bunga, menggosok kulitnya hingga kemerahan, dan memakaikan masker demi mengembalikan kesempurnaan-nya. 

Di tengah semua ini, hati Serafina hanyalah kumpulan luka—ditinggalkan Rafael dan disakiti oleh pria yang dulu dipanggilnya Papà.

Saat berendam di bathtub marmer, satu-satunya pelariannya adalah foto laminasi yang digenggam erat. Foto Rafael di motor sportnya, dengan kemeja kotak-kotak terbuka dan tatapan santai ke arah laut. Foto itu dibiarkannya tergeletak di tepi bak, bukti dari kehidupan lain yang direnggut darinya.

...🌊🌊🌊...

Sore hari di Mareluna, Rafael duduk di pasir, menghisap rokok dengan nikmat yang pahit. Laut yang dulu dia anggap sahabat, kini terasa seperti pengkhianat. Dia telah dibuang. Pertama oleh takdir, kini oleh wanita yang dicintainya. 

Tapi kenapa, justru hatinya yang terasa hancur?

Dia berdiri, menepuk debu dari celananya, dan mendekati motornya. Tiba-tiba, sebuah mobil mewah berhenti. 

Seorang wanita melompat keluar dan langsung memeluknya erat. Wangi mahal dan tubuh yang kembali terawat itu adalah Serafina. 

Elio, yang menyetir, memberi peringatan dari jendela. “Cepat. Hanya lima belas menit.”

Mobil itu pergi, meninggalkan mereka berdua. 

Angin sore di pantai Mareluna berbisik, seolah memperingatkan. Tapi Serafina sudah tuli. Matanya, yang dulu hazel lembut, kini membara dengan api kepemilikan yang tak sehat. Dia melihat Rafael berdiri di sana, bagai patung yang terluka yang dia klaim sebagai miliknya.

Dia tidak berjalan, melainkan menerjang. Tangannya yang berusia sembilan belas tahun, dengan jari-jari lentik bak penari yang terlatih dalam kemewahan, mencengkeram leher Rafael bukan dengan kasih, tapi dengan posesif. Kukunya, yang dicat merah gelap, nyaris mencakar kulit kecoklatannya.

“Baciami,” desis Serafina. Bukan permintaan, tapi perintah. Sebuah ultimatum yang dibisikkan dengan bibir yang sudah terlalu haus.

*Cium aku

Tapi Rafael adalah tebing granit. Dia tidak menunduk. Tubuhnya, yang biasanya hangat dan menerima, kini kaku dan dingin. Penolakan diam-diam ini justru menyulut amukan dalam diri Serafina.

Dengan kegenitan yang dipelajari dari kehidupan lamanya, dia mendorong Rafael sedikit, cukup untuk memberinya ruang. Lalu, dengan gerakan licik dan penuh keyakinan, dia menaiki jok motornya yang masih hangat. Dia duduk menyamping, posisinya seperti ratu yang baru saja merebut takhta. Gaun mahalnya yang berkilauan kontras brutal dengan motor tua itu.

Sekarang, matanya sejajar dengan Rafael. Dia tidak perlu lagi berjinjit.

Tanpa kata-kata, tangan itu kembali bergerak. Bukan mencengkeram, tapi menarik. Sebuah tarikan yang tak terbantahkan, memaksa tubuh Rafael yang lebih besar dan kuat untuk tunduk. Kaki Sera, yang keluar dari siluet gaun, dengan lihai mengait dan mengunci pinggang Rafael, menjebaknya dalam pelukan yang tak bisa dia lepaskan tanpa kekerasan.

“Aku berkata, cium aku,” gumamnya, lebih dalam, lebih personal, lebih mengancam.

Rafael menghela napas, sebuah pertanda kekalahan. Tubuhnya mungkin menolak, tapi ada bagian dalam dirinya—jiwa yang terluka dan rindu—yang menyerah. Dia membiarkan kepalanya ditundukkan. 

Dia membiarkan bibir Serafina menyegel miliknya.

Ciuman itu bukan kelembutan. Itu adalah pertempuran. Serafina tidak menunggu. Dia mengambil. Bibirnya bergerak dengan kelaparan, menggigit, menyedot, mencoba menelan segala jarak dan penolakan yang Rafael ciptakan. Tangannya yang satu masih terbelit di leher Rafael, sementara tangan satunya yang bebas mulai melakukan perjalanan.

Jari-jari lentiknya itu, sehalus sutra dan setajam cakar, mulai menjelajah. Mereka menyapu alis tebal Rafael, menelusuri lekukan tulang pipinya yang tinggi, menyentuh setiap memar dan luka, seolah menghafalnya, mengklaim bahkan luka-lukanya.

“Bibirmu…” Dia bergumam di antara ciuman, nafasnya memburu. “Masih semerah delima. Canduku.”

Kemudian, jari-jari itu turun. Mereka menelusuri garis rahangnya yang tegas, turun ke leher, dan berhenti di jakunnya yang menonjol. Dia tidak hanya menyentuhnya. Dia mengobservasi-nya, seperti seorang kolektor yang memeriksa barang berharganya. Ujung jarinya menekan ringan, merasakan denyutan kehidupan di bawah kulitnya, mengukur kekuatan yang ada di sana.

“Dan jakunmu …,” bisiknya, matanya menyipit penuh kekaguman yang gelap. “Così prominente.” 

*Sangat menonjol

Tekanannya bertambah, bukan dengan kekerasan, tapi dengan penasaran yang mengerikan. Dia seolah-olah ingin merasakan betapa dia bisa mengontrol napasnya, hidupnya.

“Uhuk!”

Rafael tersedak, tercekik oleh sentuhan yang terlalu intim dan menguasai ini. Dia menarik kepala mundur, memutuskan ciuman itu dengan terengah-engah.

“Scusa,” bisik Serafina, tapi tidak ada penyesalan di matanya, hanya kepuasan singkat karena telah mendapatkan reaksi. 

*Maaf

Tangannya yang di leher Rafael bergerak, bukan melepaskan, tapi justru menepuk-nepuk bahunya yang tegang, sebuah gestur menenangkan yang terdistorsi, seperti seseorang yang menenangkan hewan peliharaan yang memberontak.

Tapi di balik permintaan maaf yang pura-pura itu, pesannya jelas. Aku bisa menyentuhmu di mana pun aku mau. Aku bisa merasakan setiap inci dari dirimu. Kau milikku.

Namun, perjalanan jari-jari itu belum berakhir. Seperti ular yang melata, tangan Serafina turun lebih jauh, menyelusup di bawah kemeja kotak-kotaknya yang terbuka, menyentuh kulit hangat dan keras perutnya. Otot-otot itu berpadu sempurna, kotak-kotak yang jelas dan terdefinisi sempurna bagai batu pahat.

“Sekeras ini …,” gumannya, heran dan terpukau. Jari-jemarinya menekan, mencoba mencari celah kelembutan yang tidak ada. Dia menelusuri setiap alur, setiap lekukan, seperti orang buta yang membaca braille kekuatan pria ini. “Bagaimana bisa ini sekeras ini?”

*Sistem tulisan untuk tunanetra

Kemudian, dengan keberanian yang datang dari obsesi, telapak tangannya yang halus bergerak lebih rendah, menelusuri V-line yang mengarah ke bawah perutnya. Dia menekan, mencari, mengharapkan menemukan bukti fisik bahwa sentuhannya masih berpengaruh, bahwa tubuhnya masih merindukannya.

Tapi tidak ada.

Tidak ada tegangan,tidak ada kehangatan yang membara, tidak ada ‘merpati’ yang dulu selalu membalas sentuhannya dengan gegap gempita. Di sana, di bawah, hanya ada ketiadaan. Ketenangan yang dingin.

Wajah Serafina berubah. Kekaguman obsesifnya retak, digantikan oleh kebingungan dan luka yang dalam.

“Kenapa?” desisnya, suaranya tiba-tiba kecil dan rapuh. “Kenapa tubuhmu tidak lagi menanggapiku?”

Rafael hanya diam. Dia membiarkan dirinya disentuh, dijelajahi, seperti sebuah benda. Matanya, yang hijau keabu-abuan, menatap kosong ke laut, seolah jiwa sudah pergi dari tubuhnya yang sedang dinodai.

Diamnya itu lebih menyakitkan daripada bentakan. Kesabaran pasifnya adalah penghinaan tertinggi.

“Kenapa kau hanya diam?” sergah Serafina, suaranya meninggi, dipenuhi rasa frustasi dan rasa tidak berharga. “Kenapa kau mengizinkanku melakukan ini? Jadi ... murahan!”

Kata itu, ‘murahan’, menggantung di udara yang asin.

Akhirnya, Rafael bereaksi. Dia tidak marah. Dia justru mengeluarkan suara, sebuah tawa pendek yang hampa dan getir.

“Aku hanya menunjukkan padamu bagaimana rasanya,” ujarnya, suaranya datar dan dalam, menusuk langsung ke jiwa. “Seperti ketika seorang Padrone mempergunakan seorang Cameriera. Dia menyentuhnya, dan cameriera harus diam dan menderita. Persis seperti yang kau lakukan padaku sekarang.”

Kalimat itu menghantam Serafina. Dia terhuyung mundur, tangannya terlepas dari tubuh Rafael seolah tersetrum. Ekspresi obsesi di wajahnya pecah, tergantikan oleh realisasi yang memalukan dan menyiksa. Dia melihat dirinya sendiri melalui mata Rafael—bukan sebagai kekasih, tapi sebagai padrone, sebagai tuan yang mengambil paksa.

*Majikan

Dan pada saat itulah, batas kesabaran Rafael benar-benar habis. “Cukup, Serafina. Jangan temui aku lagi. Aku benci keluarga Romano.”

Serafina mengayunkan kakinya di udara, wajahnya tiba-tiba menunjukkan senyum iblis. “Aku tahu segalanya. Papà-mu ... dipecat karena istrinya melahirkan. Dan kau ... menjadi tulang punggung keluarga.”

Rafael tersenyum kecut. “Dan kau menertawakan itu?”

“No,” jawab Sera, memiringkan kepalanya. “Karena kau benci keluarga Romano, tapi kenapa kau membenciku?”

“KAU ADALAH ROMANO!” tonjok Rafael.

“NO!” Serafina membantah, air matanya tiba-tiba meledak. “Aku hanya anak seorang pelayan hasil kekejian tuannya! Anak haram yang mereka buang!”

Rafael terkesiap. Serafina ... Anak haram cameriera dan padrone? Tapi kekagetan itu segera digantikan oleh amarah. Dan tadi Rafael menyindir soal tuan yang menodai pelayannya. Tanpa sadar Rafael menyebut Papà dan Mamma Serafina dengan tidak hormat.

“BOHONG! SELALU BOHONG! PERTAMA VERALDI, LALU ROMANO, SEKARANG ANAK PELAYAN? AKU TIDAK PERCAYA LAGI PADAMU!” bentak Rafael.

Dengan gerakan kasar, Rafael menurunkan Serafina dari motornya. Dia menyalakan mesin, suaranya menderu seperti amarahnya.

“AKU HANYA SERAFINA!” teriak Serafina, tapi suaranya ditelan angin dan debur ombak. “TANPA KELUARGA! SEPERTI MAMMA! APAKAH AKU AKAN MATI DALAM KESEPIAN?!”

Tapi Rafael sudah melaju, meninggalkannya sendirian di pantai yang dulu menyaksikan cinta mereka tumbuh. Kini, pantai itu hanya menyaksikan seorang gadis yang hancur, terdampar di antara dua dunia—sebuah warisan darah yang dia tolak dan sebuah cinta yang menolaknya. Kebohongan terakhirnya, yang justru adalah kebenaran, telah menjadi paku terakhir di peti mati hubungan mereka.

...🌊🌊🌊...

“Bawa aku jalan-jalan.”

“Aku harus mandi. Aku berkeringat.”

“Tidak. Temani saja aku.”

“Aku harus istirahat. Aku melaut nanti malam.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!