Aini adalah seorang istri setia yang harus menerima kenyataan pahit: suaminya, Varo, berselingkuh dengan adik kandungnya sendiri, Cilla. Puncaknya, Aini memergoki Varo dan Cilla sedang menjalin hubungan terlarang di dalam rumahnya.
Rasa sakit Aini semakin dalam ketika ia menyadari bahwa perselingkuhan ini ternyata diketahui dan direstui oleh ibunya, Ibu Dewi.
Dikhianati oleh tiga orang terdekatnya sekaligus, Aini menolak hancur. Ia bertekad bangkit dan menyusun rencana balas dendam untuk menghancurkan mereka yang telah menghancurkan hidupnya.
Saksikan bagaimana Aini membalaskan dendamnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bollyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 : Ulat Bulu Mulai Menggatal
Aini menggeleng pelan, rasa kesal memuncak di dadanya. Bukan hanya masalah koper, tapi inilah inti dari kenapa diaa selalu sulit akur dengan Cilla sikap adiknya yang tidak punya etika, seenaknya, dan terkesan tidak menghargai orang lain, apalagi kakaknya.
Dengan napas yang masih tersengal-senggal, Aini mengangkat koper Cilla yang terasa seberat batu seolah isinya bukan baju, melainkan semua beban masalah lalu memaksanya masuk ke dalam rumah.
“Mbak, kamar aku yang mana? Buruan kasih tahu, dong,” tuntut Cilla sambil berdiri santai di ruang tamu, matanya sibuk memindai perabotan rumah Aini yang serba baru dan mahal.
Aini hanya menatapnya tajam, ia benar-benar lelah, baik fisik maupun batin.
“Mbak! Aduh, lambat banget sih kamu! Cuma bawa koper doang lho, sampai ngos-ngosan gitu,” gerutu Cilla dengan nada manja yang dibuat-buat, tanpa ada sedikitpun rasa kasihan.
Aini meletakkan koper itu dengan bunyi gedebuk di lantai, lalu meluruskan punggungnya yang pegal. Ia menatap Cilla dengan pandangan menusuk.
“Kamu bisa santai sedikit nggak, Dek? Koper kamu ini kayak isinya batu bata, berat banget! Bukannya tawarin bantuan, ini malah nuntut kayak tamu hotel bintang lima!”
Cilla mendengus, membuang muka.
“Ya ampun, Mbak. Lebay banget, sih. Aku ini beneran capek lho. Perjalanan dari kampung tuh berasa kayak Jakarta-Amsterdam. Aku butuh istirahat total. Lagipula, kamu kan di rumah doang, nggak ngapa-ngapain,” Cilla bicara tanpa menunjukkan penyesalan sedikit pun. Kalimat terakhirnya itu terasa sangat menghina.
“Kamar tamu ada di ujung sana,” kata Aini datar sambil menunjuk ruangan di koridor samping.
“Kopernya ini lho, bawa sendiri. Mbak mau ke dapur. Ada urusan yang lebih penting daripada ngurusin koper kamu,” Aini berbalik, bertekad menghindari drama lebih lanjut.
“Wait, Mbak!” Cilla dengan cepat mencengkeram lengan Aini.
“Ini koper aku kenapa nggak sekalian diantar ke kamar, sih? Mbak seriusan mau ninggalin koper aku di sini? Apa kata Mas Varo nanti kalau dia tahu kamu nggak menyambut aku dengan baik?”
Aini menarik napas panjang, mencoba meredam amarahnya.
“Aku nggak ngerti deh sama kamu, Dek. Katanya capek banget dan mau istirahat? Ya tinggal kamu dorong aja koper itu ke kamar. Kan sudah aku angkat masuk. Tangan aku juga sakit, tahu!”
“Ya ampun, Mbak! Aku kan baru sampai! Kenapa kamu jadi perhitungan banget sama adik sendiri, sih?! Kamu tuh harusnya bersyukur aku mau tinggal di sini, biar rumah kamu nggak sepi-sepi amat!” Cilla terlihat sangat jengkel.
Tanpa menunggu balasan Aini, Cilla melepaskan tangan Aini, memutar bola mata, dan melenggang masuk ke kamar tamu, menutup pintu dengan bunyi keras. Koper itu tetap terbengkalai di ruang tengah.
“Astaghfirullahalazim… Ujian banget ini,” desah Aini sambil mengurut pelipis. Ia merasa diperlakukan seperti pembantu, bukan kakak.
Daripada menambah keributan dan menanggung risiko aduan Cilla ke Varo, Aini akhirnya menyerah. Dengan sisa tenaga, ia menyeret koper Cilla ke depan pintu kamar tamu. Setelah memastikan koper itu aman, Aini segera mencari Varo. Ia harus tahu, kenapa Varo berani mengambil keputusan besar tanpa izinnya.
Aini masuk ke kamar utama.
“Mas,” panggil Aini, melihat Varo rebahan sambil tersenyum-senyum menatap ponselnya, dunia seolah hanya milik mereka berdua dan layar gadget itu.
“Kenapa, Aini? Aku lagi nanggung nih, lagi balas pesan dari klien,” jawab Varo malas, matanya tetap terpaku pada layar.
Aini duduk di tepi kasur, mencondongkan tubuhnya agar Varo terpaksa menoleh.
“Aku mau tanya penting banget. Kenapa kamu nggak bilang ke aku soal telepon dari Ibu Dewi?”
Varo akhirnya mendongak, matanya yang tadi penuh perhatian pada ponsel kini menampilkan ekspresi hampa.
“Ibu Dewi? Telepon? Maksud kamu telepon yang mana?”
“Jangan pura-pura lupa, Mas! Ibu Dewi bilang minggu lalu dia telepon kamu, minta izin supaya Cilla bisa tinggal di sini selama dia kuliah di Jakarta. Kenapa kamu menyetujui itu tanpa bicara denganku dulu?” desak Aini, suaranya sedikit meninggi.
“Oh, soal itu,” Varo mengangguk santai, mencoba menunjukkan bahwa itu hanyalah masalah sepele.
“Iya, dia memang telepon. Aku bilang ‘oke’ aja. Emang kenapa? Ribet banget deh kamu, kayak ada masalah besar aja.”
Aini terkejut mendengar nada santai Varo. Ia menahan air matanya.
“Ribet? Masalahnya ini tentang rumah tangga kita, Mas! Kenapa kamu nggak bilang ke aku dulu?! Tadi Ibu Dewi telepon, Cilla bahkan sudah datang dan bilang mau tinggal. Kita ini suami istri, Mas, keputusan sebesar ini, tentang siapa yang tinggal di rumah kita, harusnya kita ambil berdua, bukan kamu putuskan sendiri!”
Seketika wajah Varo berubah. Matanya yang tadi dingin tiba-tiba berbinar. Ia baru menyadari kedatangan Cilla.
“Cilla sudah datang? Sekarang?” tanya Varo, suaranya naik satu oktaf, penuh kegembiraan yang mencurigakan. Ia langsung duduk tegak, seolah baru mendapatkan energi baru.
“Iya, Mas! Dia sudah di kamar tamu. Tapi, Mas, kenapa kamu jadi senang banget? Ada apa sebenarnya?” Aini menatapnya curiga, rasa curiga yang tadinya hanya soal ponsel kini menjalar ke mana-mana.
“Ya wajarlah senang! Dia kan adik kamu, Aini. Adik iparku juga. Lagian, kenapa sih kamu jadi sinis banget sama kedatangan adikmu sendiri? Kamu nggak suka dia tinggal di sini? Kamu nggak mau bantu Ibu Dewi?” Varo balik menyerang dengan strategi andalannya: membuat Aini merasa bersalah.
“Bukan sinis, Mas. Aku nggak senang kamu mengambil keputusan sendiri. Aku juga sudah pernah cerita kan, aku sama Cilla nggak pernah akur. Dia tuh manja, nggak sopan, dan nggak pernah mau dengar aku! Salah satu alasan aku mau buru-buru ikut kamu ke sini itu ya biar nggak serumah lagi sama dia, Mas! Kamu tahu semua itu, kan?!”
Aini menjelaskan panjang lebar, matanya memanas. Rasa sakit karena perlakuan tidak adil Ibu Dewi di masa lalu, kini diperparah oleh sikap Varo.
“Sudahlah, Aini. Nggak usah drama. Jangan ungkit-ungkit masa lalu. Bagaimanapun, Ibu Dewi sudah nitipin Cilla ke kita. Kita harus tunjukkan kalau kita ini dewasa dan bertanggung jawab. Lagian, ada Cilla di rumah kan bagus, jadi kamu nggak kesepian,” potong Varo, nadanya final. Ia bangkit dan melangkah keluar kamar, meninggalkan Aini sendirian yang tertegun dengan air mata di pelupuk mata.a
“Mbaaaak! Mas Varo! Keluar, dong!”
Suara Cilla yang memanggil dengan nada manja dari ruang tengah menginterupsi. Varo langsung bergegas menghampiri Cilla.
“Loh, Cilla! Tumben kamu cepat sampai! Capek banget, ya?” Varo menyambutnya dengan senyum lebar, sorot matanya menunjukkan kekaguman yang terlalu berlebihan untuk seorang ipar.
“Iya, Mas Varo. Aduh, capek banget, rasanya badan remuk semua,” jawab Cilla manja, sambil pura-pura memijit pundaknya dan menyunggingkan senyum termanisnya. Suaranya berubah jadi selembut sutra saat bicara dengan Varo, sangat berbeda saat bicara dengan Aini.
“Cilla, kamu pasti lapar, kan? Aku sudah masak sup iga pedas, lho. Nantuli kita makan!” ajak Aini, mencoba mengalihkan suasana dan meredakan rasa cemburu yang tiba-tiba muncul.
"Sekarang saja majannya, yuk".
“Sebentar, Mas. Ini sudah Maghrib. Lebih baik kita shalat dulu, ya. Selesai shalat baru kita makan bareng,” kata Aini, mencoba mendekatkan diri pada Varo, berharap momen shalat berjamaah bisa mengikis jarak di antara mereka.
Cilla langsung menyahut cepat,
“Aku lagi halangan, Mbak. Nggak shalat.” Jawaban itu keluar dengan terlalu lancar dan cepat, membuat Aini sedikit curiga.
“Ayo, Mas. Kita shalat berjamaah. Kamu yang jadi imamnya,” ajak Aini lembut.
Varo menghela napas panjang, menunjukkan keengganan yang jelas.
“Kamu duluan saja, Aini. Nanti aku nyusul. Aku mau bantu Cilla dulu. Kayaknya dia butuh minuman segar atau semacamnya.”
Aini menatap Varo tak percaya.
“Tapi, Mas, kita sudah lama nggak shalat bareng. Masa kamu nggak mau jadi imam? Itu cuma butuh lima belas menit.”
“Aku lagi nggak mood jadi imam, Aini! Sudah, kamu shalat duluan sana. Jangan tunda-tunda kewajibanmu!” balas Varo sedikit membentak, kemudian langsung mengarahkan pandangannya kembali pada Cilla.
Aini terdiam, hatinya sakit karena penolakan itu. Tanpa berkata-kata lagi, ia pergi untuk wudhu dan menunaikan shalat Maghrib sendirian di kamar. Rasa kesepian yang menusuk menemani setiap gerakan shalat-nya.
Setelah sekitar lima belas menit, Aini selesai. Ia melepas mukena dan mencari Varo.
“Mas Varo mana, ya? Katanya mau nyusul, ini sudah selesai shalat kok nggak ada. Jangan-jangan dia nggak shalat lagi,” gumam Aini, kembali merasakan kekecewaan.
Ia keluar kamar, menuju ruang tengah, dan kemudian melangkah pelan ke arah dapur. Ia berjalan tanpa suara, dipandu oleh naluri yang mengatakan ada yang tidak beres.
Saat tiba di ambang pintu dapur, seluruh dunia Aini runtuh seketika.
“Mas… Cilla… kalian ngapain?!”
Aini terkesiap, napasnya tercekat di tenggorokan.
Di sana, di antara meja makan yang penuh uap sup iga dan aroma sambal, Varo berdiri sangat dekat dengan Cilla. Varo membungkuk, wajahnya menunduk ke arah wajah Cilla, dan tangan kanannya memegang bahu Cilla. Mereka berdua terperangkap dalam jarak yang terlalu intim terlalu dekat, terlalu mesra.
Aini yakin, ia melihat dengan jelas, bibir Varo baru saja menjauh dari bibir adiknya. Bukan ciuman singkat biasa, melainkan ciuman yang jelas-jelas penuh arti.
Mendengar suara teriakan Aini yang memilukan, Varo dan Cilla langsung melompat mundur, seperti tersengat listrik. Ekspresi mereka adalah campuran horor dan kepanikan yang tidak bisa disembunyikan. Wajah mereka pucat pasi.
“Mas! Apa yang baru saja kalian lakukan di sini?!” tanya Aini, suaranya bergetar hebat. Ia tidak bisa bergerak dari tempatnya, seluruh energinya seolah tersedot ke lantai.
“Emm… Mbak, tolong! Jangan salah paham dulu! Ini nggak seperti yang kamu pikirkan!” Cilla langsung menyangkal dengan nada tinggi, matanya berkeliaran ke mana-mana, mencari jalan keluar.
“Iya, Aini! Kami nggak ngapa-ngapain! Kamu salah lihat! Cilla tadi tersedak, dan aku hanya membantunya!” Varo ikut membela diri dengan alasan yang sangat klise, wajahnya memerah karena malu dan ketakutan.
Aini menggeleng, air mata mulai menggenang dan tumpah membasahi pipinya.
“Aku salah lihat? Salah lihat apa, Mas?! Aku lihat dengan mata kepala aku sendiri! Kalian… Kalian berciuman di dapur rumahku! Di rumah kita, Mas!”
Aini melangkah mundur, perlahan. Ia menunjuk bergantian ke arah suaminya, dan kemudian ke adiknya sendiri. Pengkhianatan Varo yang selama ini ia curigai dengan wanita lain ternyata kini melibatkan darah dagingnya sendiri.
“Kalian… kalian tega…”
Aini tidak sanggup lagi bicara. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, lututnya terasa lemas. Tangisnya pecah menjadi isakan yang menyakitkan. Pengkhianatan ini terasa dua kali lipat lebih busuk, lebih menjijikkan, dan menghancurkan semua yang ia yakini tentang rumah tangganya dan keluarganya. Ia merasa benar-benar dikhianati dan dipermainkan oleh dua orang yang seharusnya paling ia percaya.
Bersambung
****************