Eri Aditya Pratama menata kembali hidup nya dengan papanya meskipun ia sangat membencinya tetapi takdir mengharuskan dengan papanya kembali
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lembaran Baru
Setelah masalah dengan Dea, Eri merasa hancur dan kehilangan arah. Kenangan tentang Dea selalu menghantuinya, membuatnya sulit untuk fokus pada kuliah dan kehidupan sehari-hari. Ia merasa bersalah, sedih, dan marah pada dirinya sendiri. Setiap sudut kota Bandung seolah menyimpan memori tentang mereka, membuatnya semakin terpuruk dalam kesedihan.
Dea, cinta pertamanya, telah pergi untuk selamanya. Namun, takdir berkata lain. Dea meninggal dunia karena bunuh diri, meninggalkan luka menganga di hati Eri. Peristiwa itu membuatnya tak sanggup lagi berada di Bandung. Ia merasa perlu untuk menjauh dari semua kenangan yang menyakitkan itu dan mencari suasana baru yang bisa memberikan kedamaian. Ia memutuskan untuk kembali ke Jakarta, kota kelahirannya, dan melanjutkan kuliah di sana. Selain itu, ia juga ingin dekat dengan mamanya, satu-satunya orang yang selalu memberikan dukungan dan cinta tanpa syarat.
"Mama selalu ada untukmu, Sayang," kata mamanya sambil memeluk Eri erat di ruang tamu rumah mereka yang hangat. "Kamu tidak perlu khawatir. Kita akan hadapi ini bersama-sama."
Eri merasa lega bisa kembali ke rumah. Ia merasa aman dan nyaman di dekat mamanya. Namun, di balik kelegaan itu, ia juga merasa bersalah karena telah mengecewakan mamanya. Ia tahu, mamanya berharap ia bisa menyelesaikan kuliahnya di Bandung dan meraih cita-citanya. Eri takut mamanya kecewa karena ia menyerah.
"Mama tidak marah, Eri," kata mamanya, seolah bisa membaca pikiran Eri. Mereka sedang duduk di teras belakang, menikmati teh hangat di sore yang tenang. "Mama hanya ingin kamu bahagia. Kalau kamu merasa lebih baik di Jakarta, Mama akan mendukungmu sepenuhnya."
Eri tersenyum tulus dan memeluk mamanya erat. Ia merasa sangat beruntung memiliki mama yang penuh pengertian dan penyayang. Kehadiran mamanya adalah pelipur lara di tengah badai yang melanda hatinya.
Eri kemudian mendaftar kuliah di sebuah universitas di Jakarta. Ia mengambil jurusan yang sama dengan yang ia ambil di Bandung, yaitu manajemen. Ia berharap bisa melanjutkan kuliahnya dengan lancar dan meraih gelar sarjana, sebagai bukti bahwa ia bisa bangkit dari keterpurukan.
Eri berusaha keras untuk beradaptasi dengan lingkungan kampus yang baru. Ia aktif mengikuti perkuliahan dan mengerjakan tugas-tugas dengan baik. Ia juga mencoba bergaul dengan teman-teman sekelasnya, meskipun awalnya merasa canggung dan sulit membuka diri.
Suatu hari, saat sedang mengerjakan tugas di perpustakaan yang ramai, Eri bertemu dengan seorang mahasiswi bernama Sarah. Sarah adalah mahasiswi S2 jurusan sastra Inggris yang juga sedang mengerjakan tugas di meja yang sama.
"Hai, aku Sarah," sapa Sarah, tersenyum ramah. Senyumnya tulus dan matanya berbinar, membuat Eri merasa nyaman.
"Hai, aku Eri," balas Eri, membalas senyum Sarah.
"Kamu mahasiswa baru di sini ya?" tanya Sarah, melihat Eri yang tampak asing di kampus itu.
"Iya, aku baru pindah dari Bandung," jawab Eri.
"Oh, Bandung? Aku pernah ke sana. Kotanya bagus dan udaranya sejuk," kata Sarah, mengenang kunjungannya ke Bandung beberapa waktu lalu.
Eri tersenyum tipis. "Iya, aku suka Bandung. Dulu aku kuliah di sana."
"Kenapa kamu pindah ke Jakarta?" tanya Sarah, dengan nada ingin tahu namun tetap sopan.
Eri terdiam sejenak. Ia tidak tahu apakah ia harus menceritakan tentang Dea kepada Sarah. Ia takut Sarah akan menghakiminya atau menjauhinya setelah mendengar cerita kelamnya.
"Aku... aku ada masalah pribadi," jawab Eri, akhirnya, memilih untuk tidak menjelaskan lebih detail.
Sarah mengangguk, tanpa bertanya lebih lanjut. Ia seolah mengerti bahwa Eri tidak ingin membahas masalahnya. Ia menghargai privasi Eri dan tidak ingin memaksanya untuk bercerita.
"Aku mengerti," kata Sarah. "Semoga kamu betah di Jakarta ya."
"Terima kasih," balas Eri.
Eri dan Sarah kemudian melanjutkan mengerjakan tugas mereka. Sesekali mereka saling bertanya dan bertukar pikiran tentang materi kuliah. Eri merasa nyaman dengan Sarah. Ia merasa Sarah adalah orang yang baik dan pintar, dan memiliki selera humor yang sama dengannya.
Setelah selesai mengerjakan tugas, Eri dan Sarah memutuskan untuk makan siang bersama di kantin kampus. Mereka mengobrol tentang banyak hal, mulai dari kuliah, hobi, hingga kehidupan pribadi.
"Kamu punya pacar, Er?" tanya Sarah, tiba-tiba, memecah keheningan di antara mereka.
Eri tersenyum kecut. "Belum punya. Aku masih fokus kuliah," jawab Eri, menyembunyikan luka di hatinya.
"Oh, gitu," kata Sarah. "Aku juga belum punya pacar. Tapi aku pengen punya pacar yang pintar dan perhatian."
Eri tertawa kecil. "Semoga kamu segera menemukan pacar yang sesuai dengan kriteriamu ya."
"Semoga juga kamu segera menemukan pacar yang cocok buat kamu," balas Sarah, sambil tersenyum menggoda.
Eri dan Sarah semakin akrab dari hari ke hari. Mereka sering belajar bersama, makan siang bersama, dan menghabiskan waktu bersama di kampus. Eri merasa senang memiliki teman seperti Sarah. Ia merasa tidak kesepian lagi di Jakarta. Kehadiran Sarah membawa warna baru dalam hidupnya.
Suatu hari, Sarah mengajak Eri untuk pergi ke sebuah acara musik di Jakarta. Eri awalnya ragu, karena ia tidak terlalu suka dengan acara musik yang ramai dan berisik. Namun, karena Sarah terus memaksa dan meyakinkannya, akhirnya Eri pun setuju.
"Aku janji, acaranya pasti seru," kata Sarah, meyakinkan Eri.
"Oke deh, aku ikut," jawab Eri, akhirnya, meskipun dengan sedikit keraguan.
Pada hari acara musik, Eri dan Sarah berdandan rapi. Eri mengenakan kemeja flanel kesukaannya dan celana jeans yang membuatnya terlihat kasual namun tetap menarik. Sarah memilih dress hitam selutut yang membuatnya terlihat anggun dan elegan. Mereka pergi ke tempat acara dengan menggunakan taksi online.
Sesampainya di tempat acara, Eri terkejut. Ternyata, acara musik itu sangat ramai dan meriah. Banyak anak muda yang datang untuk menikmati musik dari berbagai genre, mulai dari pop, rock, hingga elektronik. Lampu-lampu warna-warni berkelap-kelip, menciptakan suasana yang hidup dan bersemangat.
"Gimana, seru kan?" tanya Sarah, tersenyum lebar, melihat ekspresi terkejut Eri.
"Lumayan," jawab Eri, mencoba menikmati suasana. Sejujurnya, Eri merasa sedikit tidak nyaman dengan keramaian dan kebisingan di sekitarnya. Ia lebih suka suasana yang tenang dan damai. Namun, ia berusaha untuk tidak mengecewakan Sarah.
Eri dan Sarah kemudian masuk ke dalam area acara. Mereka menikmati musik sambil sesekali mengobrol dan tertawa. Sarah terlihat sangat menikmati acara itu, sementara Eri berusaha untuk menyesuaikan diri dan menikmati momen itu. Ia mencoba melupakan semua masalahnya dan menikmati kebersamaannya dengan Sarah.
Saat sedang menikmati musik, Eri tidak sengaja bertabrakan dengan seorang perempuan. Perempuan itu tinggi, cantik, dan berpenampilan menarik. Ia mengenakan jaket kulit dan celana jeans yang membuatnya terlihat keren dan percaya diri.
"Maaf, aku tidak sengaja," kata Eri, merasa bersalah.
"Tidak apa-apa," jawab perempuan itu, tersenyum. "Aku juga salah karena tidak melihat jalan."
"Aku Eri," kata Eri, memperkenalkan diri.
"Aku Dina," balas perempuan itu, menjabat tangan Eri. Jabat tangan Dina terasa hangat dan kuat, membuat Eri merasa sedikit tertarik. Ada sesuatu dalam diri Dina yang menarik perhatian Eri.
Eri dan Dina kemudian mengobrol. Mereka ternyata memiliki banyak kesamaan. Mereka sama-sama suka musik klasik dan juga film-film klasik, dan traveling ke tempat-tempat yang belum banyak diketahui orang. Eri merasa nyaman mengobrol dengan Dina. Ia merasa Dina adalah orang yang cerdas, humoris, dan perhatian.
"Kamu lagi nggak sama pacar kamu?" tanya Dina, tiba-tiba, dengan nada santai.
Eri tersenyum kecut. "Aku nggak punya pacar," jawab Eri. "Aku... aku baru saja kehilangan seseorang yang sangat berarti bagiku beberapa bulan yang lalu."
"Oh, maaf kalau aku lancang," kata Dina, merasa bersalah.
"Nggak apa-apa," balas Eri. "Itu sudah lama berlalu. Tapi... dia meninggal karena bunuh diri." Eri akhirnya mengungkapkan penyebab kematian Dea, sesuatu yang selama ini ia pendam rapat rapat. Ia merasa perlu untuk jujur kepada Dina, meskipun baru mengenalnya. Ia berharap Dina bisa mengerti dan tidak menghakiminya.
************