NovelToon NovelToon
Kepepet Cinta Ceo Arogan

Kepepet Cinta Ceo Arogan

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / CEO / Romansa / Fantasi Wanita / Nikah Kontrak / Wanita Karir
Popularitas:4.3k
Nilai: 5
Nama Author: keipouloe

Arash Maulidia, mahasiswi magang semester enam yang ceroboh namun gigih, tidak pernah menyangka hidupnya berubah hanya karena satu tabrakan kecil di area parkir.
Mobil yang ia senggol ternyata milik Devan Adhitama — CEO muda, perfeksionis, dan terkenal dingin hingga ke nadinya.

Alih-alih memecat atau menuntut ganti rugi, Devan menjatuhkan hukuman yang jauh lebih berat:
Arash harus menjadi asisten pribadinya.
Tanpa gaji tambahan. Tanpa pilihan. Tanpa ruang untuk salah.

Hari-hari Arash berubah menjadi ujian mental tanpa henti.
Setiap kesalahan berarti denda waktu, setiap keberhasilan hanya membuka tugas yang lebih mustahil dari sebelumnya.
Devan memperlakukan Arash bukan sebagai manusia, tapi sebagai mesin yang harus bekerja sempurna — bahkan detik napasnya pun harus efisien.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keipouloe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Datang ke kosan

Sementara Arash gelisah dengan gaun gala dinner yang tergantung rapi di dinding kosannya, di tempat lain, Devan sedang menghadapi badai lain—bukan di ruang rapat, tapi di ruang makan rumah mewah keluarga Adhitama.

Di depan Devan berdiri kedua orang tuanya, Danu dan Diana, wajah mereka sama-sama memerah karena kesal.

“Devan, Daddy tidak mau dengar alasan lagi! Usiamu sudah cukup. Kamu harus membawa seseorang di acara gala lusa! Titik!” seru Danu dengan nada tegas.

Diana menimpali lebih halus, tapi tak kalah menekan. “Nak… dengarkan Mommy. Semua rekan bisnis akan hadir. Mereka akan bertanya-tanya kenapa kamu selalu datang sendirian. Apa kamu tidak merasa capek diusik terus?”

Devan duduk tegak, rahangnya mengeras.

“Aku tidak butuh pasangan hanya untuk memuaskan gosip orang lain,” balasnya datar.

Danu menepuk meja. “Ini bukan tentang gosip! Ini masa depan perusahaan! Kamu pewaris Adhitama Group, bukan anak muda yang bisa seenaknya!”

Devan menutup mata sejenak, berusaha mengendalikan diri. Ia bisa menghadapi rapat ratusan direksi tanpa berkeringat. Tapi menghadapi orang tuanya jauh lebih melelahkan.

“Kami sudah menyiapkan beberapa kandidat,” lanjut Diana sambil menyodorkan album berisi foto-foto perempuan dari keluarga konglomerat lain. “Pilih salah satu. Malam ini juga.”

Devan mendorong album itu menjauh.

“Tidak.”

Danu berdiri, suaranya meningkat. “Devan!”

Cukup.

Devan bangkit tanpa bicara. Ia mengambil kunci mobil, lalu berjalan keluar tanpa menoleh. Ia butuh keluar sebelum kehilangan kontrol. Satu-satunya tempat yang muncul di kepalanya saat ini bukan kantor, bukan penthouse pribadinya, bukan hotel.

Tapi kos-kosan Arash.

Tidak. Ia bukan mencari kenyamanan.

Ia hanya butuh tempat untuk berpikir tanpa tekanan keluarga. Dan sialnya, kaki serta pikirannya membawa mobil itu ke parkiran kosan sederhana di gang kecil itu.

......................

Arash terlelap di kasurnya, memeluk bantal, masih memakai kaus kedodoran dan celana training. Ia baru saja tertidur setelah gelisah seharian.

Tiba-tiba—

Bam! Bam! Bam!

Suara ketukan keras mengguncang pintu kamarnya.

“Maulidiaaaaa! Bukak pintunya!”

Arash terlompat dari kasur. Jantungnya berdetak keras. Suaranya… sangat familiar.

“Ya Allah… jangan bilang…”

Ia meraih jilbab seadanya, memakainya asal, lalu membuka pintu.

Begitu pintu terbuka, Arash langsung membeku.

Devan.

Berdiri di lorong kos yang sempit. Kemejanya agak kusut, dasinya dilepas separuh, rambutnya sedikit berantakan—bukan tampilan yang biasa ia lihat.

“Bapak?! Kok di sini? Malam-malam pula!”

Devan tidak menjawab pertanyaan itu. Ia mendorong pintu perlahan, masuk begitu saja.

“Diam. Jangan banyak tanya,” gumamnya pendek. “Saya mau tidur.”

“Hah? Tidur? Maksudnya… Bapak mau tidur di kamar saya?”

Devan meliriknya tajam. “Kau tuli, Maulidia?”

Arash mengangkat tangan, menyerah. “Baik… baik… tapi kenapa harus di sini? Kan Bapak punya rumah besar! Punya apartemen! Banyak hotel juga!”

“Berisik.”

“Pak! Ini kosan saya! Kasurnya sempit!” Arash terus mengeluh.

Devan tidak mendengarkan.

Sama sekali tidak.

Ia melepas sepatu, meletakkan ponsel di meja kecil, lalu… merebahkan diri di kasur Arash.

Kasur single tipis. Yang kalau ditiduri satu orang saja sudah sesak.

Arash melongo melihatnya.

“Pak… itu kasur saya.”

“Sekarang kasur kita berdua,” jawab Devan pendek sambil memejamkan mata.

“Hah?! Bapak bercanda?!”

“Diam, Maulidia. Saya capek.”

Suara itu terdengar letih. Seperti suara seseorang yang habis bertengkar hebat. Arash ingin protes lagi, tapi melihat wajah Devan yang biasanya tegang kini justru terlihat… hancur? lelah? marah?

Arash akhirnya menutup mulut.

Ia berdiri di samping kasur sambil memeluk bantal guling seperti anak kucing ditolak tidur.

Devan sudah terlelap begitu saja, tanpa peduli dengan Arash.

Arash menatap sekeliling kamar kos ukuran tiga kali empat meter itu. Kasur cuma satu. Kursi plastik keras. Lantai dingin. Tidak ada karpet.

Dengan putus asa, ia membuka lemari kecil dan mengambil sajadah.

“Nah, ini…” gumam Arash sambil meletakkannya di lantai. “Darurat pun jadilah…”

Perlahan ia menggelar sajadah itu di lantai dekat kasur. Ia mengambil bantal tipis cadangan, lalu berbaring.

Begitu punggungnya menyentuh lantai, Arash langsung menggigil kecil.

“Dingin banget ya Allah…”

Ia menarik napas panjang, menarik selimut tipis yang tersisa setengah, lalu mencoba mencari posisi nyaman.

Di kasur, Devan bergerak sedikit, menghela napas panjang—seperti seseorang yang baru bisa bernapas setelah berjam-jam menahan tekanan.

Arash memelototinya.

“Enak banget hidup Bapak, tidur di kasur orang. Saya di lantai. Dingin. Sakit lagi.”

Devan tidak sadar. Tapi entah kenapa, ia seperti mendengar sesuatu… matanya tetap terpejam saat ia berucap pelan,

“Berenti ngomel… Maulidia…”

Arash membuka mulut lebar-lebar, hampir tidak percaya.

“Pak, saya ngomongnya dalam hati barusan…”

Devan tidak menjawab lagi.

Hanya diam. Tenang. Bernapas teratur.

Arash akhirnya memalingkan wajah, menyelimuti diri lebih rapat.

Sajadah itu keras. Lantai dingin. Punggungnya mulai protes.

“Kalau saya masuk angin besok, Bapak tanggung jawab!” omelnya pelan.

Saat ia akan memejamkan mata, suara napas Devan terdengar pelan… nyaris seperti gumaman.

“…jangan pergi…”

Arash berhenti bernapas sejenak.

Wajahnya berubah. Ia menatap kasur, menatap Devan yang tampak terpuruk dalam tidur.

Ia tidak tahu apa yang terjadi di rumah Devan.

Tidak tahu tekanan, tuntutan, dan rasa terisolasi yang dialami pria itu.

Tapi satu hal jelas:

Devan datang ke sini bukan karena arogan.

Bukan karena iseng.

Tapi karena ia tidak punya tempat lain untuk berlari.

Arash menarik napas panjang, lalu menutup mata. Masih di lantai dingin, di atas sajadah, mencoba tidur sambil menenangkan diri.

“Baiklah, Pak… tidur saja. Biar saya di lantai. Tapi kalau besok punggung saya patah, saya minta kompensasi,” gumamnya kesal.

Devan tidak dengar. Tapi entah kenapa, malam itu Arash merasa tidak sepenuhnya sendiri.

Ia tidur di lantai.

Devan tidur di kasur.

Namun untuk pertama kalinya, jarak itu terasa seperti garis halus yang bisa berubah kapan saja.

Dan malam itu menjadi malam pertama di mana pertahanan mereka—yang biasanya teguh—mulai runtuh sedikit demi sedikit.

1
Reni Anjarwani
lanjut thor
rokhatii
ditanggung pak ceonya🤣🤣🤣
matchaa_ci
lah kalo gajinya di potong semua gimana arash hidup nanti, untuk bayar kos, makan, bensin pak ceo?
aisssssss
mobil siapa itu kira kira
aisssssss
bagua banget suka ceritanya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!