Dunia pernah mengenalnya sebagai Theo Vkytor—penulis jenius di balik Last Prayer, karya horor yang menembus batas antara keimanan dan kegilaan. Tapi sejak kemunculan Flo Viva Mythology, game yang terinspirasi dari warisan kelam ciptaannya, batas antara fiksi dan kenyataan mulai runtuh satu per satu. Langit kehilangan warna. Kota-kota membusuk dalam piksel. Dan huruf-huruf dari naskah Theo menari bebas, menyusun ulang dunia tanpa izin penciptanya.
Di ambang kehancuran digital itu, Theo berdiri di garis tak kasat mata antara manusia dan karakter, penulis dan ciptaan. Ia menyaksikan bagaimana realitas menulis ulang dirinya—menghapus napasnya, mengganti jantungnya dengan denyut kode yang hidup. Dunia game bukan lagi hiburan; ia telah menjadi kelanjutan dari doa yang tidak pernah berhenti.
Kini, ketika Flo Viva Mythology menelan dunia manusia, hanya satu pertanyaan yang tersisa.
Apakah Theo masih menulis kisahnya sendiri… ataukah ia hanya karakter di bab yang belum selesai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Girenda Dafa Putra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Seni Membunuh Tanpa Mengayun
...Chapter 20...
Bahkan di dalam naskah aslinya, mereka menulisnya sebagai teknik pamungkas yang hanya muncul sekali dalam sejarah Samurai Birtash.
Satu Titik, Sembilan Akupuntur Dituntaskan.
Teknik itu bukan serangan dalam arti biasa.
Ia adalah garis tipis antara keberadaan dan kehampaan, seni membunuh dengan membuka pedang tanpa benar-benar mengayunkannya.
Hanya sedikit gerakan untuk menarik sarung, dan dunia pun menjerit.
Di antara waktu yang semestinya mengalir, jurus itu menolak konsep gerak dan reaksi, menembus segala hukum ruang dan durasi.
Bagi lawan, tak ada waktu untuk menatap atau menyesal.
Dalam kurang dari sepersekian detik—sebelum waktu sempat menyadarinya—tubuh mereka telah terurai, organ demi organ terpisah seakan dibongkar oleh tangan ilahi yang terlalu dingin untuk disebut manusia.
Bahkan ruang di sekitarnya retak, bergetar bak kaca tipis yang dipukul dari dalam.
Theo mengingat betul bagaimana ia menulis jurus itu dulu, dengan detail yang dikira hanya akan hidup di halaman-halaman manuskrip.
Kenangan bersama karya Last Prayer.
Dulu ia tuliskan ini untuk menggambar kesempurnaan begitu mustahil—kekuatan nan melampaui rasa takut, dan kedigdayaan yang sekaligus menjadi kutukan bagi penggunanya.
Kini, di dunia yang menjadi nyata dari tulisan itu, ia melihat betapa kata-katanya sendiri telah berubah menjadi napas dan darah.
Bisa ia rasakan pola energi yang dulu hanya dibayangkan, sembilan aliran nan berpencar dari satu titik di pusat dada, mengalir menuju pergelangan tangan, menunggu aba-aba untuk dilepaskan.
Udara di sekitar Theo mulai bergetar halus, membentuk lingkaran tak kasat mata di sekitarnya.
Debu berhenti bergerak, serpihan cahaya menurun pelan seperti butir salju.
Dunia membeku dalam sekejap, seakan menahan napas menghadapi kehendak satu manusia.
Di matanya, semuanya tampak sunyi, kecuali detak hatinya yang kini seirama dengan pedang di tangan kiri.
Ia tahu, begitu pedang itu terbuka sedikit saja, semuanya akan berakhir.
Satu titik, Sembilan Akupuntur Dituntaskan—jurus yang bahkan waktu sendiri mustahil menyaksikannya sedari awal.
'Jadi seperti inilah rasanya menjadi samurai tulen yang menari di batas kematian.
Luar biasa hebat.'
Slash!!
Namun ketika sedikit lagi tekad Theo mencapai puncak—dengan wajah nan perlahan berubah menyeramkan, menampakkan senyum yang bukan lagi milik manusia biasa melainkan senyum seorang dewa kecil yang mabuk oleh kuasa dan rasa ingin tahu—sesuatu tiba-tiba menabrak tubuhnya dari arah samping.
Benturannya begitu kuat, bagai hantaman besi panas yang dilemparkan oleh tangan raksasa.
Tubuh Theo terhempas, meluncur di udara beberapa meter, memutar tak karuan sebelum akhirnya jatuh menghantam tanah yang lembap.
Suara debumannya menggema samar di antara gema duel Aldraya dan Erietta, seolah dunia sendiri menegur.
‘Tidak semua yang kau tulis, boleh kau jalani di sini.’
Tubuhnya terpelanting, tapi naluri seorang yang telah menulis ribuan adegan pertarungan menyelamatkannya.
Ia mengguling ke belakang, menahan momentum dengan bahunya, lalu menghentikan gerak dengan ujung tumit menancap tanah.
Di tangan kiri, pedang yang baru saja ingin dibuka kini bergetar, hampir terlepas, namun Theo segera menggenggamnya lebih kuat, mengembalikannya ke posisi seimbang.
Urat-urat di pergelangan tangan menegang, dan sejenak matanya memantulkan kilatan emas—perpaduan antara amarah dan keterkejutan yang menolak untuk diakui.
Bau tanah nan tercabik memenuhi hidung, sementara napasnya berat dan terburu.
Ia mendongak, menatap arah datangnya serangan itu.
Tak ada yang tampak mencolok, hanya pusaran debu yang perlahan memudar di udara.
Namun di balik kepulan itu, Theo bisa merasakan tekanan yang tak kalah mengerikan dari jurus miliknya sendiri—sebuah kehadiran nan menolak dijelaskan oleh logika dunia yang hendak ia ciptakan.
Ia bukan hanya diserang, tapi diingatkan.
Bahwa bahkan di dunia buatan orang lain, ia tidak lagi menjadi tuhan tunggal yang menulis takdir sesuka hati.
Di kejauhan, angin kembali berembus.
Suara gesekan logam terdengar samar, seperti dua pedang yang berbisik dari balik kabut tipis.
'Apa tadi? Ada sesuatu menabrakku, tapi bukan berasal dari arah mereka berdua.
Jadi dunia ini pun mulai bergerak melampaui skenarionya.
Dunia yang sinting.'
Wussssh!
'Baiklah. Ini sudah cukup.
Aku yang menulis cerita, dan aku pula yang akan mengakhiri skenario terlarang ini.
Mari kita tuntaskan sebelum segalanya benar-benar keluar jalur.'
Tentu Theo berniat mengakhiri semua ini—atau lebih tepatnya, mengubur skenario yang tidak seharusnya ada, mencabut akar keanehan paling menyimpang dari naskah dunia Flo Viva Mythology.
Ia ingin menutup bab yang belum waktunya dibuka, membungkam riuh takdir yang berani menulis dirinya sebelum ia sendiri sempat mengetikkan kalimat terakhir.
Namun kini, sesuatu telah menyerangnya.
Sesuatu yang tak mampu ia prediksi, hindari, apalagi waspadai—dan itu membuat mata Theo menyipit, menajam bagai bilah yang siap menebas kegelapan.
Udara di sekitar terasa aneh.
Sunyi, tapi tidak benar-benar hening—lebih menyerupai senyap yang sedang menahan napas.
Ia mengedarkan pandang, menatap setiap sudut yang berpotensi menyimpan makna tersembunyi.
Hanya ada dua suara yang hidup di antara kabut pertarungan itu.
Dentingan pedang Erietta dan Aldraya, yang berpadu seperti dua nada saling menelan.
Tiap benturan memercikkan cahaya dingin yang tak membawa panas, hanya amarah nan dikristalkan menjadi logam.
Theo tahu, pertarungan itu bukan lagi sekadar benturan dua ego gadis Akademi Bintang.
Itu adalah benturan dua garis cerita yang tak seharusnya bersinggungan di bab ini.
Lalu, kesadarannya mulai menggali lapisan-lapisan yang tak terlihat oleh mata.
Ia mencoba menautkan apa yang menyerangnya tadi dengan perubahan-perubahan kecil yang tak ia sadari.
Suhu udara turun, struktur tanah yang sedikit lebih lembut dari semestinya, dan cara cahaya jatuh yang tak lagi tunduk pada arah matahari.
Dunia ini sedang berubah.
Tidak mengikuti script.
Tidak mengikuti kehendaknya.
Theo bisa merasakannya—rasa getir yang mengalir di punggung, bak tinta yang menetes dari pena patah.
Dan dalam keheningan yang mendadak terasa begitu tebal, Theo menarik napas panjang.
Lalu ia menurunkan posisi tubuhnya sedikit, menyiapkan langkah.
Sementara di kejauhan, dua gadis yang ia ciptakan terus menari di antara cahaya pedang, membentuk simfoni kehancuran yang makin lama makin menyerupai cerita yang tak pernah ia tulis.
'Sunyi sekali, tapi bukan kesepian yang damai.
Terdapat sesuatu yang bersembunyi di antara jeda napas ini.
Arah angin berubah, tidak, bukan angin.
Ada sesuatu yang bergerak laju, terlalu laju untuk sinar cahaya menangkapnya.
Kalau begitu, aku tak perlu menunggu lebih lama.'
Rassh!
'Putaran ideal, kepala di bawah, kaki di atas, hanya dua detik untuk memastikan sasaran serangan.
Sekarang!
Berganti posisi, kiri ke kanan, dan-'
Clang!!
Udara di sekitarnya seakan pecah oleh ketegangan yang tak kasatmata.
Dalam kesunyian nan menekan dada, Theo tetap teguh berdiri di tengah pusaran keanehan itu.
Matanya menelusuri setiap bayangan yang mungkin bersembunyi di antara cahaya nan bergetar.
Namun sebelum sempat mengatur napas, tubuhnya bergerak lebih cepat dari pikirannya.
Sebuah tebasan mendadak mengoyak udara dari kiri ke kanan, meninggalkan jejak tipis menyerupai luka di ruang itu sendiri.
Lalu badannya berputar, satu putaran penuh di udara—gerakan yang begitu halus namun brutal, persis macam tarian seorang Samurai yang menolak mati.
Dalam dua detik itu, kepala Theo menghadap tanah, kaki menentang langit, lalu ia jatuh dengan hentakan sempurna, menapak bumi tanpa kehilangan keseimbangan sedikit pun.
Begitu kakinya menyentuh tanah, insting mengambil alih seluruh tubuhnya.
Senjata—atau sebilah pedang yang dibentuk menyerupai katana, namun hanya seperenam—terlempar dari tangan kiri ke udara, berkilau sebentar sebelum jatuh ke genggaman tangan kanan.
Bersambung….