Ardina Larasati, sosok gadis cantik yang menjadi kembang desa di kampung Pesisir. Kecantikannya membuat seorang Regi Sunandar yang merupakan anak pengepul ikan di kampung itu jatuh hati dengannya.
Pada suatu hari mereka berdua menjalin cinta hingga kebablasan, Ardina hamil, namun bukannya tanggung jawab Regi malah kabur ke kota.
Hingga pada akhirnya sahabat kecil Ardina yang bernama Hakim menawarkan diri untuk menikahi dan menerima Ardina apa adanya.
Pernikahan mereka berlangsung hingga 9 tahun, namun di usia yang terbilang cukup lama Hakim berkhianat, dan memutuskan untuk pergi dari kehidupan Ardina, dan hal itu benar-benar membuat Ardina mengalami gangguan mental, hingga membuat sang anak yang waktu itu berusia 12 tahun harus merawat dirinya yang setiap hari nyaris bertindak di luar kendali.
Mampukah anak sekecil Dona menjaga dan merawat ibunya?
Nantikan kelanjutan kisahnya hanya di Manga Toon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Langkah Regi terus menjauh, namun dadanya justru terasa makin sesak. Setiap kata Ardina terngiang seperti gema yang tak mau padam, ia sudah berusaha untuk membuang jauh-jauh ingatan itu namun sulit, suara Ardina seolah tidak mau jauh dan terus membisiki telinganya.
Mas Hakim… Mas Hakim…
Nama palsu itu menikam nuraninya jauh lebih dalam daripada makian mana pun.
"Hakim ... bukannya itu orang sahabat Ardina dulu, lalu kenapa Ardina memanggil namanya?" pertanyaan itu sering kali muncul.
Mungkin ia terlalu lama meninggalkan Ardina sampai-sampai ia lupa gimana kelanjutan hidup wanita itu setelah kepergian dirinya.
Regi masuk ke mobil dengan tangan gemetar. Pintu tertutup nyaring. Mesin dinyalakan, tapi kakinya tak juga menekan pedal gas. Ia menunduk, menutup wajah dengan kedua telapak tangan.
“Aku pengecut…” bisiknya lirih. “Bahkan sekarang pun aku masih kabur.”
Bayangan Dona muncul lagi di kepalanya anak kecil dengan pakaian dekil, mata lelah tapi tetap berusaha tersenyum saat menawarkan ikan bakar. Seorang anak yang seharusnya berangkat sekolah diantar ayahnya, bukan memanggul dagangan di bawah terik matahari.
Hatinya digerus rasa bersalah, akhirnya mobil itu melaju, meninggalkan rumah sakit jiwa, tapi bukan untuk pulang. Setir dibelokkan tanpa sadar menuju arah pantai tempat Dona biasa berjualan.
Siang mulai turun, matahari sore mulai meninggalkan jejak kemasan, di sini Regi mulai turun dari mobilnya, namun suasana pantai sudah sepi, para wisatawan lokal mulai meninggalkan tempat satu persatu hanya tertinggal beberapa orang saja yang ingin menikmati senja.
Netra Regi mulai mengedar ke segala arah, tak ia temui sosok kecil yang tadi memanggul keranjang ikannya tadi, harusnya anak kecil itu menikmati masa kecilnya dalam lindungan orang terkasih, harusnya ia sekolah dan diantar ayahnya.
Tapi kenyataannya tidak begitu, Dona harus melawan kerasnya hidup, dan memaksanya untuk dewasa sebelum waktunya, tatapan Dirga kali ini kosong seolah kehilangan jejak seseorang yang ia cari.
"Hah ... aku kehilangan jejaknya," gumamnya dengan pikiran yang sedikit kacau.
Ia pun mulai bertanya, kepada salah satu orang yang masih ada di pantai, namun sayang mereka hanya menggelengkan kepalanya, karena pada dasarnya mereka hanya pengunjung.
Hingga pikirannya melayang ke rumah lama Ardina, apakah tempat itu masih ada? Apakah tempat itu masih layak huni, pertanyaan itu terus menerus memenuhi pikirannya.
"Rumah lama Ardina, apa masih ada?" tanyanya sendiri, hanya debur angin yang menjawab pertanyaannya.
Langkah kakinya terus berlari meninggalkan mobil yang terparkir di area pantai, ia mulai berjalan cepat, menyusuri pemukiman padat yang menuju ke rumah Ardina.
Setelah lama berjalan melewati gang sempit pemukiman warga yang sedikit lembab, akhirnya ia melewati sebuah bangunan berdinding kayu yang terlihat sudah usang, namun dipaksa untuk berdiri kokoh.
"Hah ... rumah itu masih berdiri, tapi apa mungkin Dona tinggal di dalam gubuk reyot itu," ucapnya sambil menutup mulut, seolah tidak percaya anak sekecil Dona harus tinggal di tempat yang seperti itu.
Langkah Regi terhenti tepat di seberang rumah kayu itu. Ia tak langsung mendekat, hanya berdiri terpaku di balik pagar bambu tetangga, seperti pencuri yang mencuri pandang pada dunia kecil yang seharusnya ia miliki.
Daun pintu rumah itu setengah terbuka. Di samping bangunan reyot tersebut, ia melihat sebuah tali rafia terikat seadanya dari tiang ke batang pohon ketapang kecil. Di sanalah beberapa helai pakaian dijemur, baju anak-anak, kaos lusuh, dan satu daster tua yang jelas terlalu besar untuk tubuh sekecil Dona.
Dan di bawahnya… Dona. Gadis kecil itu sibuk menjemur pakaian seorang diri. Jemarinya yang mungil menggenggam penjepit kayu buatan sendiri dari potongan bambu. Gerakannya telaten, seolah pekerjaan rumah adalah rutinitas yang sudah sangat ia hafal.
Satu demi satu pakaian ditepuknya lebih dulu sebelum digantung, merapikan lipatan seadanya. Kadang ia berdiri jinjit, kadang harus meloncat kecil karena tali jemuran terlalu tinggi bagi tubuhnya.
“Ah… kok jauh banget sih talinya,” gumam Dona, mengerutkan kening.
Ia berusaha menjangkau ujung tali, lalu tertawa kecil saat berhasil mengaitkan sebuah kaos ke sana. Tawa sederhana yang terdengar begitu polos namun justru menghantam telinga Regi lebih keras daripada tangisan.
Dadanya terasa sesak. Anak itu… tidak hanya bekerja mencari makan sendirian, tapi juga mengurus seluruh hidupnya sendiri.
Regi mengintip dari balik pohon pisang yang tumbuh liar di samping pagar. Tak berani mendekat, takut kehadirannya justru mengusik dunia kecil yang sudah terlalu rapuh, dan terbiasa sendiri.
Dona kembali masuk sebentar ke dalam rumah, lalu keluar membawa sebuah ember kecil berisi pakaian terakhir yang masih basah. Ember itu hampir setengah menutupi tubuhnya.
Ia menumpahkan genangan air perlahan, lalu kembali menjemur sambil bersenandung pelan
“Ibu pulang… Ibu pulang… Dona tunggu di depan rumah…” Lagu anak-anak itu terdengar sumbang, tapi penuh harap.
Langkah Regi nyaris goyah, air mata mulai luruh satu persatu. Lagu itu bukan sekadar nyanyian. Itu doa yang lahir dari kerinduan seorang anak yang menunggu ibunya pulang dari tempat yang bahkan belum ia mengerti sepenuhnya.
“Ibu pasti sembuh, kan…?” lirih Dona, berbicara pada dirinya sendiri.“Nanti kita makan bareng lagi, sekarang Dona punya banyak beras Bu, dari Pak RT, Dona juga punya banyak telur, bahkan tapi pagi jualan Dona di borong Om baik, pasti kalau Ibu ada Dona senang bisa memberikan hasil Dona pada Ibu."
Celotehan polos anak itu membuat Regi menutup mulutnya sendiri, dengan pipi yang sudah di basahi oleh air mata.
Ia melihat Dona selesai dengan jemurannya, lalu duduk di atas bangku kayu kecil di depan rumah. Bocah itu mengambil sebungkus nasi sisa yang dibungkus daun pisang dari dalam rumahnya, lalu mulai makan perlahan seorang diri.
Hanya ditemani dengan lauk goreng telur yang mungkin sudah dingin, kontras dengan kehidupannya yang serba ada. Regi merasa seperti dihantam kenyataan pahit, ia seorang pengusaha ikan laut berkualitas tinggi, tapi kenyataan justru menamparnya, anak yang lahir dari benihnya justru tidak bisa menikmati ikan segar, bahkan jika ia tahu Dona sering sekali mencari sisa-sisa ikan bekas nelayan.
Inikah akibat kepergiannya? Inikah harga dari kepengecutannya? Ia melangkah satu tapak lebih dekat. Sebuah ranting patah di bawah sepatunya, tidak sengaja ia injak, sehingga membuat Dona menoleh cepat.
Mata mereka bertemu tanpa jarak pengaman lagi, Regi tidak bisa lagi menghindar, sementara Dona memandang pria asing itu dengan raut waspada, tapi tidak takut. Hanya penasaran, karena tadi pagi ia sudah bertemu.
“Om… nyasar ya?” Suara kecil itu menggetarkan jiwa Regi.
Ia menelan ludah, berusaha tersenyum meski bibirnya gemetar. “Om… cuma lewat,” jawabnya gugup.
Dona mengangguk pelan, lalu kembali menatap bungkus nasi di tangannya. "Bukannya Om yang tadi pagi borong jualan Dona?"
Regi hanya mengangguk. "Iya kamu benar, Om ke sini hanya lewat saja."
“Kalau Om mau minum, di sini nggak ada teh, cuma air putih,” ujarnya polos.
Regi tercekat. Kebaikan yang lahir dari kekurangan, justru terasa terlalu menusuk. Ia mengangguk kaku.
“Makasih, Dek.”
Tak satu pun kata tentang “Ayah” berani keluar dari mulutnya. Namun di hatinya, satu kalimat bergema kuat, tak bisa ia bendung lagi.
"Aku tidak boleh kabur lagi." Karena di depan matanya kini berdiri hasil dari semua pelarian itu.
Seorang anak kecil yang berjuang sendirian untuk tetap bertahan hidup, dengan segala perjuangannya.
Bersambung. ....
Dona double up ya, semoga setelah ini bisa double up seterusnya. 🙏🙏🙏🥰🥰🥰🥰
ku harap regi ketemu orang yg status d powery yg lbh tinggi dr halik y bisa menolong dona,regi d mamay dona. d mereka bs bangkit d pya segalay yg tk bs bpny tandingi.
klo g biarlah regi ma dona tinggal di plosok desa yg nyaman d orgy lebh manusiawi d kekeluargaany kentl bgt.biar g mempan di sogok pake duit ma halik.hidup dg kesederhanaan tp bahagia hdp bersama dona d mamay mjd keluarga .