Siang hari, Aditya Wiranagara adalah definisi kesempurnaan: Dosen sejarah yang karismatik, pewaris konglomerat triliunan rupiah, dan idola kampus.
Tapi malam hari? Dia hanyalah samsak tinju bagi monster-monster kuno.
Di balik jas mahalnya, tubuh Adit penuh memar dan bau minyak urut. Dia adalah SENJA GARDA. Penjaga terakhir yang berdiri di ambang batas antara dunia modern dan dunia mistis Nusantara.
Bersenjatakan keris berteknologi tinggi dan bantuan adiknya yang jenius (tapi menyebalkan), Adit harus berpacu melawan waktu.
Ketika Topeng Batara Kala dicuri, Adit harus memilih: Menyelamatkan Nusantara dari kiamat supranatural, atau datang tepat waktu untuk mengajar kelas pagi.
“Menjadi pahlawan itu mudah. Menjadi dosen saat tulang rusukmu retak? Itu baru neraka.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Daniel Wijaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SURAT CINTA DARI NEGARA
Waktu: 07.15 WIB.
Lokasi: Ruang Makan Penthouse Wiranagara.
Ketegangan di meja makan itu begitu padat hingga rasanya bisa diiris dengan pisau roti. Arya masih menatap adiknya dengan tatapan kalkulatif seorang akuntan yang melihat neraca merah, sementara Aditya berusaha menelan sosisnya tanpa tersedak oleh rasa sakit di rusuknya.
Namun, sebelum Arya bisa melanjutkan kuliah subuhnya tentang manajemen risiko aset, pintu ganda ruang makan yang terbuat dari kayu jati ukir terbanting terbuka dengan keras.
"PAGI, DUNIA YANG FANA DAN MENYEDIHKAN!"
Sebuah teriakan cempreng memecah keheningan mahal ruangan itu.
Karina Wiranagara masuk seperti badai tropis yang salah jurusan.
Anak bungsu keluarga Wiranagara ini adalah antitesis dari segala keteraturan yang dipuja Arya. Di usianya yang baru menginjak 19 tahun, Karina memiliki postur tubuh yang mungil—tingginya hanya sekitar 160 cm—membuatnya sering dikira anak SMP yang tersesat di gedung perkantoran.
Wajahnya manis dengan fitur yang ekspresif, namun tertutup oleh kacamata berbingkai tebal dan besar yang sering melorot di hidung bangirnya, akibat terlalu lama menunduk di depan layar. Matanya yang besar dan cerdas memiliki kilatan jenius yang berbatasan tipis dengan kegilaan.
Rambut hitam panjangnya, yang seharusnya indah jika disisir, kini digelung asal-asalan di atas kepala (messy bun) dan ditahan bukan dengan karet rambut, melainkan dengan sebatang pensil mekanik dan sumpit bekas makan mie.
Pakaiannya pun tak kalah ajaib. Di saat kedua kakaknya mengenakan kemeja rapi, Karina memakai piyama longgar bermotif circuit board hijau neon dan sandal rumah berbentuk kaki beruang. Di tangannya, dia memeluk laptop tebal yang penuh tempelan stiker anime dan kode biner, seolah itu adalah bayi kesayangannya.
Karina berjalan cepat dengan langkah kaki yang diseret, menarik kursi di antara Arya dan Aditya dengan bunyi kriet yang nyaring, lalu menuangkan sereal jagung ke dalam mangkuk tanpa susu. Dia memakannya kering dengan tangan. Crunch. Crunch. Crunch.
"Kalian harus lihat data semalam!" seru Karina dengan mulut penuh, remah sereal berjatuhan ke meja marmer yang kinclong. "Pola gelombang energinya? Chef's kiss. Indah banget. Ternyata makhluk batu itu punya inti kristal yang bergetar di frekuensi 40 hertz. Mas Adit benar, dia bukan cuma batu hidup, ada sirkuit magis di dalamnya!"
Hening sejenak. Hanya suara kunyahan Karina yang terdengar.
Arya menatap adik bungsunya dengan pandangan kosong, seolah sedang melihat alien. "Karina. Apa kau baru saja mengakui secara sadar bahwa kau membantu kakakmu menghancurkan drone perusahaan seharga lima miliar?"
Karina berhenti mengunyah. Matanya yang besar di balik lensa tebal melirik Aditya, lalu melirik Arya.
"Secara teknis... drone itu tidak hancur, Mas Arya," jawab Karina defensif, membetulkan letak kacamatanya. "Dia cuma... mengalami dekonstruksi radikal yang tidak terencana menjadi serpihan estetik."
Aditya memijat pelipisnya, menyembunyikan senyum tipis. "Terima kasih, Karina. Sangat membantu."
"Luar biasa," desis Arya, kembali memijat keningnya. "Kalian berdua adalah alasan kenapa aku punya uban di usia 28 tahun. Satu bertaruh nyawa, satu lagi bermain video game dengan aset militer."
"Itu bukan mainan, Mas. Itu riset!" bantah Karina. "Lagipula, kalau Mas Adit nggak ada di sana, makhluk itu bakal bangun total. Dan kalian tahu siapa yang membangunkannya?"
Aditya meletakkan garpunya. Suasana di meja makan berubah dingin seketika.
"Bayangga," sebut Aditya pelan.
Nama itu menggantung di udara seperti asap beracun.
Aditya tahu betul siapa mereka. Bayangga bukan sekadar gerombolan penjahat atau sekte sesat pinggir jalan. Mereka adalah organisasi bayangan yang rapi, elit, dan berbahaya. Anggotanya terdiri dari para miliuner yang bosan, politisi yang haus kekuasaan mutlak, dan okultis modern yang ingin menulis ulang sejarah Nusantara.
Filosofi mereka sederhana namun mengerikan: Indonesia modern adalah produk gagal. Mereka percaya bahwa kejayaan Nusantara hanya bisa dikembalikan jika dipimpin oleh "Raja-Raja Baru" yang memegang kekuatan absolut—gabungan antara modal kapitalis dan sihir kuno.
Untuk mencapai itu, mereka memburu artefak-artefak sakti yang tersebar di seluruh kepulauan. Keris, tombak, mahkota, hingga monster yang tertidur. Mereka ingin membangkitkan masa lalu untuk menjajah masa depan.
Dan Penjaga Situs di Merapi semalam? Itu adalah salah satu eksperimen mereka yang gagal dikendalikan.
"Mereka semakin berani," gumam Aditya, matanya menatap kosong ke piring. "Dulu mereka bergerak di bayang-bayang. Sekarang mereka berani menggali di situs terbuka."
"Dan itu membawa kita ke kabar buruk kedua," potong Karina, buru-buru mengalihkan topik sebelum Arya meledak soal Bayangga (topik yang paling dibenci Arya).
Karina memutar laptopnya ke arah Aditya. "Mas Adit, ada 'surat cinta' masuk pagi ini."
Di layar laptop, terpampang sebuah email resmi dengan kop surat Garuda Emas yang terlihat sangat otoritatif. Surat itu berasal dari Deputi VII - Badan Keamanan Nasional.
Subjeknya ditulis dengan huruf kapital merah menyala: PERINGATAN PELANGGARAN ZONA CAGAR BUDAYA (SP-1).
"Inspektur Larasati mengirim ini jam 6 pagi," jelas Karina sambil menunjuk layar dengan sereal. "Dia melampirkan foto jejak sepatu boot taktis Mas Adit di lokasi kejadian. Resolusinya tinggi banget, satelit mereka lumayan juga. Dan dia bilang, kalau Mas meledakkan satu situs cagar budaya lagi tanpa mengisi Formulir Amdal, dia bakal datang sendiri buat menyegel akses rekening pribadi Mas."
Aditya menatap layar itu dengan pandangan kosong.
"Luar biasa," batinnya. "Tulang rusuk retak, dimarahi CEO karena saham turun, dikejar organisasi jahat, dan sekarang diancam birokrat negara karena masalah administrasi. Aku adalah superhero paling menyedihkan di dunia."
Arya membaca sekilas surat itu dari balik bahu Aditya. Rahangnya mengeras.
"Bereskan ini, Adit," perintah Arya dingin sambil berdiri dan merapikan jas mahalnya. "Jangan sampai pemerintah punya alasan untuk mengaudit Arsip Wiranagara. Aku sudah cukup pusing mengurus pajak tambang dan royalti, jangan tambah bebanku dengan pajak hantu."
Arya mengambil tas kerjanya, melangkah tegas menuju pintu keluar. Namun, langkahnya terhenti tepat di ambang pintu. Dia berbalik, menatap Aditya yang masih memegangi rusuknya dengan wajah menahan nyeri.
Tangannya bergerak sedikit, seolah ingin menepuk bahu adiknya, tapi gengsi menahannya. Dia hanya mengecek jam tangan Rolex-nya.
"Satu lagi," kata Arya datar. "Jam sepuluh nanti. Jangan lupa."
Aditya mengerutkan kening, bingung. Efek gegar otak ringan semalam membuatnya agak lambat memproses informasi. "Jam sepuluh ada apa? Jadwal dokter?"
"FIB UI," jawab Arya singkat. "Dosen Praktisi. Jadwal mengajar perdanamu dimulai hari ini."
Mata Aditya membelalak. Jantungnya seolah berhenti berdetak. Dia benar-benar lupa.
"Dan Adit," tambah Arya, matanya memindai penampilan Aditya yang berantakan dan bau jamu. "Ganti bajumu. Mahasiswa zaman sekarang kritis dan aktif di media sosial. Mereka tidak akan suka kalau dosen tamunya berbau seperti toko jamu berjalan. Jaga citra perusahaan."
"Tunggu, Mas," Aditya mencoba menawar, suaranya putus asa. "Aku... aku bisa izin sakit hari ini. Badanku hancur. Aku bisa kirim asisten atau..."
"Tidak bisa," potong Arya tegas, tatapannya menusuk. "Kau sendiri yang memilih jalan ini. Ingat alasanmu menolak posisi Komisaris?"
Aditya terdiam. Dia ingat betul diskusinya dengan Arya bulan lalu.
Saat itu, Arya menawarkan posisi Komisaris Utama di anak perusahaan Wira-Energy. Posisi basah, gaji besar, kerja sedikit. Tapi Aditya menolak mentah-mentah.
"Aku tidak bisa jadi Komisaris, Mas," kata Aditya waktu itu. "Komisaris itu sorotan publik. Wajahnya ada di majalah bisnis. Kalau aku tiba-tiba muncul di hutan Kalimantan atau situs terlarang di Sumatera, harga saham akan jatuh. Media akan curiga Wiranagara sedang merencanakan ekspansi ilegal atau skandal lingkungan."
"Lalu kau mau jadi apa? Pengangguran?" tanya Arya sinis waktu itu.
"Dosen Praktisi," jawab Aditya mantap. "Aku akan mengajar Sejarah Maritim dan Epigrafi. Itu alibi yang sempurna. Jika seorang dosen terlihat keluyuran di situs kuno, perpustakaan tua, atau rawa-rawa, tidak ada yang curiga. Orang hanya akan mengira aku peneliti kutu buku yang terlalu obsesif. Itu membosankan. Dan 'membosankan' adalah selimut terbaik untuk menyembunyikan pisau."
Kembali ke masa sekarang, Arya menatap adiknya yang kesakitan.
"Kau memilih kedok itu, Aditya. Kau memilih menjadi akademisi agar bisa bergerak bebas di bawah radar Bayangga dan Media. Jadi jalankan peranmu," kata Arya dingin.
Namun sebelum keluar pintu, Arya berhenti lagi. Tanpa menoleh, dia berkata pelan, suaranya hampir tak terdengar.
"Di laci meja kerjamu. Ada salep regenerasi sel dari Jerman. Pakai itu. Baunya tidak sebusuk minyak nenek. Cepat sembuh."
Pintu tertutup. Arya pergi.
Aditya terpaku menatap pintu yang tertutup itu. Dia tersenyum tipis, senyum yang juga menahan nyeri di sudut bibir.
"Dasar tsundere," gumam Karina sambil menjilat sisa bubuk sereal di jarinya. "Mas Arya itu sayang banget sama Mas, cuma gengsinya setinggi langit."
"Diam, Dek."
Aditya mencoba berdiri. Kakinya goyah, rusuknya menjerit protes.
"Rin," panggil Aditya, mengambil tas kulitnya. "Aktifkan sedan hitam di Basement 3. Bypass sistem keamanan dan matikan GPS tracker perusahaan. Aku mau pakai mode Ghost (tak terlacak)"
Karina mengetik cepat di laptopnya. “Oke. Akses dibuka. Mesin sudah nyala. AC sudah diset 18 derajat. Tapi mas yakin kuat nyetir?”
"Harus kuat," Aditya menghela napas panjang, membenarkan kerah kemejanya. "Menjadi Senja Garda itu susah, Rin. Tapi menjadi Dosen yang harus tersenyum ramah dan menjelaskan sejarah Majapahit saat tulang rusukmu retak? Itu neraka yang sesungguhnya."
(Bersambung)
luar biasa!!!
tak kirimi☕semangat💪
💪💪💪thor
jodoh ya thor🤭
makhluk luar angkasa, bukan makhluk halus🤭
💪💪💪adit
tp yakin sg bener tetep menang
was", deg"an, penasaran iki dadi 1
💪💪💪dit
jar, ojo lali kameramu di on ke
💪💪💪 dit