Dasha Graves, seorang ibu tunggal yang tinggal di Italia, berjuang membesarkan dua anak kembarnya, Leo dan Lea. Setelah hidup sederhana bekerja di kafe sahabatnya, Levi, Dasha memutuskan kembali ke Roma untuk mencari pekerjaan demi masa depan anak-anaknya. Tanpa disangka, ia diterima di perusahaan besar dan atasannya adalah Issa Sheffield, ayah biologis dari anak-anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melon Milk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20
“Ada apa, Bu?” tanya Dasha khawatir. Nalurinya sebagai ibu langsung bangkit.
“Dasha…” suara ibunya terdengar gelisah di seberang.
“Ada apa, Bu? Ceritakan! Ada apa dengan anak-anak?” Suaranya meninggi karena panik. Ia bisa mendengar suara tangisan Leo di latar.
“Lea, Nak…” suara Malisa parau dan bergetar.
“Ada apa dengan Lea? Tolong katakan, Bu!” Dasha hampir menangis.
“Tadi malam Lea tiba-tiba demam tinggi. Kami langsung membawanya ke rumah sakit. Dokter bilang dia kena demam berdarah. Untung cepat ditangani. Sekarang kondisinya sudah lebih baik dan sedang beristirahat. Tapi Leo tidak berhenti menangis, terus cemas memikirkan adiknya.”
Dasha terdiam. Wajahnya pucat. Dari jauh, Issa memperhatikan, jelas mendengar percakapan itu. Dasha memberi isyarat dengan tangan bahwa ia harus ke kamar, dan Issa hanya mengangguk.
Begitu sampai di kamar, Dasha menutup pintu rapat-rapat dan menempelkan ponsel di telinganya.
“Boleh aku bicara dengan Leo, Bu?”
“Leo, Nak, ini Mima. Mima ingin bicara denganmu,” terdengar suara Malisa memanggil di seberang.
“M-Mima…” suara Leo bergetar, nyaris tak terdengar.
“Kenapa kamu menangis, Sayang?” tanya Dasha lembut, meski hatinya sendiri hancur.
“Mima, aku takut. Dahi Lea panas sekali, aku nggak bisa tidur. Dia menangis dalam tidurnya. Aku nggak mau lihat adikku seperti itu. Tolong pulang, Mima… kami butuh Mima.”
Air mata Dasha jatuh tanpa bisa ditahan.
“Maaf, Sayang… maaf karena Mima nggak ada di sana. Mima janji besok Mima pulang, ya? Tolong jaga adikmu baik-baik, Leo.”
Begitu panggilan berakhir, Dasha langsung menekan nomor lain.
Beberapa dering, kemudian terdengar suara perawat pribadi nenek Poppy.
“Halo? Bisa bicara dengan Grandma Poppy? Ini Dasha.”
“Oh, Nona Dasha! Tunggu sebentar, saya panggilkan beliau.”
Tak lama, suara lembut sang nenek terdengar.
“Bagaimana kabarmu, Sayang? Ada masalah?” tanyanya penuh perhatian.
“Nenek, tolong aku…” suara Dasha pecah. “Lea dirawat di rumah sakit, kena demam berdarah. Aku belum siap bilang ke Issa. Aku ingin segera ke Sisilia, tapi aku bingung harus bagaimana. Tolong bantu aku, Nek.”
“Oh, Sayangku… kamu tidak perlu memohon seperti itu. Nenek akan bicara pada Issa untukmu. Demi cicit-cicit Nenek. Tenang saja, besok kalian berangkat.”
“Terima kasih, Nek.”
Setelah menutup telepon, Dasha duduk lama di tepi tempat tidur. Ia termenung sebelum akhirnya memutuskan turun ke bawah.
Issa masih duduk di tempat yang sama, menatap layar TV yang sudah mati.
“Issa,” panggil Dasha pelan. Lelaki itu berkedip, seolah baru sadar.
“Bisakah aku minta cuti darurat? Aku harus pulang ke Sisilia. Ada keadaan darurat,” suaranya gemetar.
“Siapa yang kamu hubungi tadi selain ibumu?” tanyanya dingin.
Pertanyaan itu membuat Dasha tertegun. Ia belum siap jujur. Tapi sebelum sempat menjawab, ponsel Issa berdering.
“Ya, Nek?” katanya sambil melirik ke arah Dasha. Ia mendengarkan sebentar, lalu menjawab datar.
“Tidak ada yang bisa kulakukan, kan? Baiklah, kami akan berangkat besok pagi. Sampai jumpa, Nek.”
Ia menatap Dasha. “Tidurlah. Kita harus berangkat pagi-pagi,” ucapnya dingin sebelum menaiki tangga.
“Issa,” panggil Dasha sebelum lelaki itu naik.
Ia berhenti di anak tangga pertama.
“Itu cuma cuti sebentar. Aku akan kembali. Kamu tahu aku ke mana. Aku cuma pulang sementara,” katanya pelan.
Issa menatapnya tajam. “Semoga begitu,” jawabnya dingin, lalu melangkah naik.
Ucapan itu menusuk. Dasha tahu, Issa mulai ragu padanya. Dan memang pantas. Dulu, ia pernah meninggalkannya tanpa sepatah kata pun.
“Maaf…” bisiknya ke udara kosong.
**
Keesokan paginya.
Alarm ponsel berbunyi pukul empat pagi.
Dasha segera bangun, mandi, dan merapikan kamar sebelum menuju ke kamar Issa.
“Issa?” panggilnya sambil mengetuk pintu keras-keras. Tak ada jawaban. Ia mengetuk lagi, lalu memutar kenop. Tidak terkunci.
Dasha masuk dan mengguncang bahunya. Lelaki itu hanya berguling ke sisi lain.
Astaga, tidur berat begini kok bisa sukses memimpin Sheffield Corporation?
“Issa!” katanya lagi, mengguncang lebih keras.
“Hmmm…” gumam Issa setengah sadar, lalu tiba-tiba menarik tangan Dasha hingga ia jatuh di ranjang.
“Issa! Bangun! Aku belum sempat masak, lepasin!” seru Dasha setengah kesal.
“Lima menit saja, Dasha,” katanya malas.
Dasha menghela napas pasrah. Ia benar-benar menghitung lima menit. Begitu waktunya habis, ia langsung berdiri dan Issa pun ikut terlonjak kaget.
“Tuh, bangun juga,” ujarnya puas.
Issa hanya menatapnya kesal.
“Ayo siap-siap. Aku masak sarapan dulu. Jangan berani tidur lagi,” katanya sambil menunjuk penuh peringatan.
Ketika Dasha menata makanan di meja makan, Issa turun.
“Selamat pagi. Yuk sarapan biar cepat berangkat.”
“Kamu kayaknya terlalu bersemangat buat menjauh dariku, ya?” gumam Issa.
“Bukan begitu. Aku cuma khawatir, makanya pengen cepat pulang. Aku nggak bermaksud menjauh,” jawab Dasha lembut.
“Oke,” jawab Issa singkat.
Mereka makan dalam diam. Mungkin ini sarapan paling sunyi yang pernah Dasha alami dan itu bersama Issa, orang yang biasanya cerewet.
Setelah makan, Dasha membersihkan meja. Tak lama, mereka bersiap untuk berangkat.
**
Perjalanan menuju kompleks berlangsung dalam diam.
Hening. Membosankan. Dasha tak tahu harus berkata apa. Ia malu, juga takut pada pikirannya sendiri.
Ya… dia pengecut.
Mobil berhenti di depan rumah.
“Terima kasih,” katanya pelan.
“Sama-sama,” jawab Issa tanpa menatapnya.
“Aku akan kembali. Aku janji.” Dasha tersenyum, meski matanya tak ikut tersenyum. Ia mencondongkan diri, mengecup pipinya, lalu keluar dari mobil.
Issa tidak segera pergi. Dasha berdiri di depan pagar, menatap mobil itu menjauh, lalu masuk ke rumah.
Ia hanya mengambil beberapa barang penting tak banyak, karena sebagian besar masih ada di Sisilia.
Dasha mengirim pesan pada Malisa, menanyakan rumah sakit dan nomor kamar Lea. Ia menatap lama pesan itu sebelum keluar rumah dan mengunci pintu.
Kemudian ia mengirim pesan pada Sera, teman serumahnya:
“Aku sudah pulang sebentar, tapi harus ke Sisilia. Lea sakit, kena demam berdarah.”
Sera membalas cepat:
“Hati-hati ya, Dasha. Semoga Lea cepat sembuh.”
Dasha menatap layar sebentar, lalu menghentikan taksi di depan rumah.
“Ke bandara,” katanya singkat.