Istri penurut diabaikan, berubah badas bikin cemburu.
Rayno, pria yang terkenal dingin menikahi gadis yang tak pernah ia cintai. Vexia.
Di balik sikap dinginnya, tersembunyi sumpah lama yang tak pernah ia langgar. Ia hanya akan mencintai gadis yang pernah menyelamatkan hidupnya.
Namun ketika seorang wanita bernama Bilqis mengaku sebagai gadis itu, hati Rayno justru menolak mencintainya.
Sementara Vexia perlahan sadar, cinta yang ia pertahankan mungkin hanyalah luka yang tertunda.
Ia, istri yang dulu lembut dan penurut, kini berubah menjadi wanita Badas. Berani, tajam, dan tak lagi menunduk pada siapa pun.
Entah mengapa, perubahan itu justru membuat Rayno tak bisa berpaling darinya.
Dan saat kebenaran yang mengguncang terungkap, akankah pernikahan mereka tetap bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. Enam Bulan
Mandala menatap anak dan menantunya, lalu menghela napas pelan. “Kalau itu keinginan kalian, Papa tidak akan menghalangi. Tapi jangan terburu-buru. Rumah ini juga rumah kalian.”
Kahyang menunduk sejenak, berusaha menyembunyikan getaran di matanya. Ia menoleh pada Vexia yang duduk diam di samping Rayno. “Kau… setuju, Xia?”
Vexia mengangguk pelan. “Iya, Ma. Aku juga ingin belajar jadi istri yang lebih baik. Mulai dari hal kecil. Masak, ngatur rumah, ngurus kebutuhan Kak Rayno.” Ia berusaha tersenyum, meski dadanya terasa hangat dan sesak bersamaan.
Kahyang menarik napas dalam, lalu menepuk lembut tangan menantunya. “Baiklah. Tapi Mama minta satu hal.”
Rayno dan Vexia menatapnya bersamaan.
“Setiap Sabtu dan Minggu… kalian harus pulang ke sini. Makan malam bareng, atau sekadar menginap. Mama nggak mau rumah ini terlalu sepi.” Suaranya bergetar, namun ia cepat menutupinya dengan tawa kecil. “Lagipula Mama butuh teman buat merangkai bunga.”
Vexia tersenyum lembut, matanya berkaca-kaca. “Tentu, Ma. Aku janji. Aku bakal sering bantu Mama.”
Mandala tersenyum tipis sambil menatap istrinya penuh pengertian. “Kalau begitu, anggap saja ini langkah pertama kalian jadi keluarga seutuhnya.”
Rayno menunduk hormat. “Terima kasih, Pa. Ma.”
Kahyang bangkit, berjalan menghampiri mereka, lalu memeluk Vexia erat. Hangat, lama, seperti seorang ibu yang diam-diam sedang belajar melepaskan putrinya.
“Jaga diri kalian baik-baik,” bisiknya lembut. “Dan jaga satu sama lain.”
Vexia hanya bisa mengangguk. Di dadanya, sesuatu bergetar. Campuran antara haru, takut, dan rasa sayang yang tumbuh perlahan pada keluarga yang kini benar-benar jadi miliknya.
***
Langit pagi itu cerah, tapi suasana di hati Rayno justru berlapis kabut. Ia berdiri di depan jendela apartemen barunya, menatap jauh ke arah kota yang perlahan ramai. Di belakangnya, Mandala dan Kahyang tengah membantu menata barang-barang.
Kahyang sesekali tertawa kecil bersama Vexia, memberi tahu di mana sebaiknya piring dan gelas disusun. Tawa itu lembut. Tawa seorang ibu dan anak perempuan.
Rayno memerhatikan mereka diam-diam.
Ada sesuatu di dadanya yang menegang; antara hangat dan takut.
Ia tahu kedua orang tuanya menyayangi Vexia. Terlalu cepat, bahkan.
Dan di dalam hatinya muncul rasa takut… bagaimana jika suatu hari mereka kecewa padanya? Atau menentangnya saat ia benar-benar ingin berpisah?
“Barang-barang sudah rapi,” suara Mandala memecah lamunannya. “Papa dan Mama pulang dulu, ya. Biar kalian berdua beresin yang lain.”
Kahyang menatap Vexia dengan senyum yang penuh arti. “Kalau butuh apa pun, telepon Mama. Jangan sungkan.”
Vexia mengangguk lembut. “Iya, Ma. Terima kasih.”
Rayno hanya membalas dengan anggukan singkat. Setelah pintu tertutup dan keheningan mengambil alih, suasana berubah. Hening. Terlalu hening.
Ia melangkah masuk ke kamar utama. Semua barang-barangnya dan Vexia sudah tersusun rapi. Wangi sabun dan lembutnya sprei baru masih terasa.
Namun langkahnya berhenti di depan lemari mengambil koper dan memasukkan pakaiannya serta barang-barangnya yang lain ke koper.
Vexia yang baru saja menyimpan kotak di meja rias, menoleh.
"Kakak mau ke mana?"
"Tidur di kamar sebelah,"jawab Rayno singkat.
“Kakak… mau pindah kamar?” tanyanya pelan, mencoba terdengar santai, meski ada nada kesal yang tak bisa ia sembunyikan.
Rayno mengangguk pelan tanpa menatapnya. “Aku belum terbiasa sekamar denganmu. Maaf.”
Senyum muncul di bibir Vexia. Senyum yang terlalu tenang untuk menutupi perih. Tangannya mengepal di sisi tubuh, rahangnya mengeras.
“Jujur saja, Kak,” katanya menahan emosi, suaranya bergetar halus. “Apa kakak memang nggak pernah berniat melanjutkan pernikahan ini?”
Rayno terdiam. Pandangannya turun ke lantai, lidahnya kelu.
Beberapa detik sunyi terasa seperti menit panjang yang menusuk.
“Ada beberapa pekerjaan yang harus segera kuselesaikan,” ujarnya akhirnya. Datar, lalu beranjak pergi membawa sebagian barangnya. “Kita bicarakan nanti.”
Vexia hanya menatap punggungnya yang perlahan menghilang di balik pintu. Udara terasa berat, seperti menahan sesuatu yang hampir pecah.
Ia menarik napas panjang, berusaha tenang.
“Baiklah,” gumamnya pada dirinya sendiri, lirih.
“Aku akan mencoba bersabar. Tapi kesabaranku… ada batasnya.” Matanya teduh tapi berkilat tegas.
Malam itu, aroma masakan memenuhi ruang makan kecil apartemen mereka.
Vexia mengatur meja dengan rapi, lalu memanggil suaminya dari ruang tengah,
“Kak, ayo makan dulu.”
Dari balik pintu kamar, hanya terdengar sahutan pendek,
“Ya.”
Beberapa menit kemudian, Rayno keluar. Ia duduk di kursinya, menatap hidangan tanpa banyak bicara. Saat Vexia mengambil piringnya untuk membubuhkan nasi dan lauk, Rayno langsung menahan tangan istrinya.
“Aku ambil sendiri. Tak perlu kau layani.”
Gerakan Vexia terhenti. Sesaat matanya memandangi Rayno, lalu ia menunduk pelan dan kembali duduk di kursinya. Mereka makan dalam diam. Hanya dentingan sendok dan garpu yang terdengar.
Dalam hati Vexia bergemuruh hebat.
Semua yang ia tahan selama ini akhirnya pecah juga.
“Kusiapkan pakaian, kau menolak. Kubantu memakaikannya, kau menepis. Bahkan sekarang, sekadar makan pun tak mau dilayani lagi. Kita memang sudah pisah rumah dari orang tuamu, tapi jarak di antara kita justru makin jauh…”
Suasana meja makan mendadak membeku.
Hanya suara detik jam di dinding yang terdengar di antara mereka.
Rayno menghentikan gerakan tangannya, menatap piring di depannya seolah mencari kata yang tak juga datang.
Ia mengunyah pelan, berusaha menjaga napasnya tetap stabil, meski hatinya terasa dicekik oleh kalimat itu.
Vexia meletakkan sendoknya perlahan.
Tatapannya menembus meja, lalu naik menatap Rayno. Matanya bergetar, tapi penuh keputusan.
“Ceraikan aku. Sekarang.”
"Uhuk..uhuk..."
Rayno terbatuk keras, menelan makanan yang belum sempat ia kunyah sempurna. Ia buru-buru meneguk air, menatap Vexia tak percaya.
Vexia bergeming. Tak berniat menolong.
Hanya memandangnya diam, dingin. Seolah tak lagi tersisa kelembutan yang dulu pernah ia kenal.
Rayno menghapus sisa air di sudut bibirnya dengan tisu, berusaha menenangkan diri.
Tatapannya perlahan naik menatap istrinya.
“Xia… apa yang kau bicarakan?”
Vexia tak mengalihkan pandang. “Yang selama ini seharusnya kita bicarakan.”
Rayno terdiam. Genggaman tangannya di meja mengeras, urat di lehernya menegang.
Kata “cerai” menggema di telinganya, menusuk seperti belati yang ia sendiri tak sanggup cabut.
“Kau menjaga jarak, menolak semua kedekatan. Aku tahu,” suara Vexia bergetar tapi tegas. “Pernikahan ini cuma formalitas. Janji keluarga. Kalau hanya begitu, buat apa aku bertahan?”
Rayno menarik napas dalam, lalu mengembuskannya berat. “Vexia, tolong… bertahan sedikit lagi.”
“Untuk apa?”
“Untuk Mama dan Papa.”
“Jangan bawa mereka. Aku bicara tentang kita,” potong Vexia cepat, matanya mulai berkaca. “Kita bahkan belum pernah menjadi ‘kita’.”
Rayno menunduk, menatap meja seolah di sana ia bisa menemukan alasan untuk tetap diam. Tapi akhirnya, suaranya keluar juga. Serak, berat, seolah menahan sesuatu yang tak boleh diketahui istrinya.
“Enam bulan lagi.”
Ia menatap Vexia penuh getir. “Setelah itu, aku akan menceraikanmu.”
Vexia terdiam. Detik terasa panjang.
Lalu bibirnya melengkung kecil, bukan senyum, tapi luka yang disamarkan.
“Kenapa harus menunda sesuatu yang sudah pasti?”
“Karena aku—” Rayno menahan lidahnya. “Karena aku belum siap.”
“Belum siap melepaskan… atau belum siap jujur pada dirimu sendiri?” tanya Vexia lirih.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
jangan ganggu Xia Rayno,,kamu makan saja sendiri masih bersyukur Xia mau nyiapin makan malam,,mungkin Xia lagi istirahat katena lelah....
awas saja jika si Vega berhasil menjebak Vexia
Abaikan dulu Rayno yang sok jaim gengsi tinggi egonya melangit
Kepo banget sampai mengecek rekaman lain. Bukan urusan Dani - apa yang terjadi diantara Rayno dan Vexia.
Rayno sekarang silahkan menikmati sikap Vexia yang dingin, tak begitu peduli dengan keberadaanmu.
Istri yang dulu begitu ia abaikan - sekarang mengabaikan Rayno.
Vexia masak di dapur - Rayno tertegun - matanya tak berkedip terpaku melihat tampilan istrinya yang sedang memasak.
Rasain - memang enak makan sendiri.
Vexia sudah makan - pemberitahuan lewat kertas - tak mau bicara sama Rayno.
Hari ini gajian pertama Vexia.
Salah satu staf menanyakan janjinya Vexia yang mau traktir makan setelah gajian.
Vexia bilang tak akan ingkar janji.
Vega semakin sirik ajah.
Vega punya rencana jahat apa ini kepada Vexia.
Yang benar motor sport hitam berkilat atau motor sport merah nih Author 😄.
Dani jadi kepo - menyelidiki Bos-nya yang belakangan ini, sebelum jam kantor berakhir sudah pergi.
Dani mengekor mengikuti mobil Rayno - sayangnya dia tak tahu siapa yang di kejar Rayno. Tak tahu siapa pemilik motor sport.
Rayno, rasakan - Vexia bersikap dingin sekarang.
Dani kaget juga kagum tak percaya - setelah mengecek CCTV kantor ternyata yang membawa motor sport - Vexia.