Nayara dipaksa menghadapi Pengkhianatan menyakitkan dari suaminya, Ardan (Direktur Konstruksi), hanya untuk menyadari bahwa pengusiran itu adalah upaya putus asa Ardan untuk melindunginya dari konspirasi berbasis Hutang Karma masa lalu.
.
.
Didorong rasa cinta yang besar terhadap Ardan , Nayara berpacu melawan waktu memperebutkan 'Kunci Master' ke The Grid, sistem infrastruktur yang dikendalikan secara Biometrik oleh kesadaran seorang anak.
.
.
Setelah menyelamatkan Ardan dari transformasi digital, Nayara menemukan ancaman yang sebenarnya kini merasuki orang terdekatnya, menandakan bahwa perang melawan The Grid baru saja dimulai.
______________
Tolong dibantu untuk like , komen dan follow akun aku ya, bantuan kalian sangat berharga untuk aku🫶
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dgweny, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13. Pertemuan Yang Salah
Haiii Guys sebelum baca tolong di bantu klik like nya ya sama bolehhh komen nya dan follow nya jangan lupa hihihi. Bantuan kalian sangat berarti buat aku🫶
Happy reading 🌷🌷🌷
...****************...
Suara hujan ringan membasuh halaman rumah itu sore hari.
Nayara berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya yang diikat setengah, berusaha terlihat wajar. Di meja, undangan acara amal sudah tertata rapi — acara yang selama seminggu ini menguras tenaganya dan pikirannya.
Ia menarik napas panjang.
Hari ini bukan hanya soal acara sosial, tapi soal ketenangan hatinya yang mulai retak.
Mira akan hadir, tentu saja.
Dan kemungkinan besar, Ardan juga.
“Udah siap, Nay?”
Suara Ibu dari ruang tamu membuyarkan pikirannya. Nayara keluar dari kamar dengan senyum kecil.
“Udah, Bu. Ibu yakin mau ikut?”
“Yakin dong. Kan ini acara anakku. Siapa tahu bisa kenalan juga sama orang-orang kantoran kamu,” jawab sang ibu ringan, tapi di matanya ada sorot lembut yang tahu lebih banyak dari yang dikatakan.
Nayara hanya tersenyum.
Ada rasa nyaman, tapi juga getir di dalam dada. Ia tahu, di tengah ramai acara nanti, mungkin ia harus bertemu dengan sesuatu — atau seseorang — yang tidak pernah ingin ia hadapi.
Acara amal digelar di sebuah aula besar hotel. Dekorasi putih krem dengan bunga segar memberi kesan elegan.
Musik lembut mengalun dari sudut ruangan, sementara para tamu berdatangan, mengenakan pakaian terbaik mereka.
Nayara sibuk memastikan meja registrasi tertata rapi, mengecek daftar donatur, menyapa tamu satu per satu.
Ia tampak anggun dan profesional — senyum tetap terlukis di wajahnya, meski hatinya seperti diseret antara gugup dan cemas.
“Bu Nayara, tamu dari Lestari Group sudah datang,” ujar panitia muda di sampingnya.
Waktu seakan berhenti sepersekian detik.
Nayara menoleh perlahan.
Dan di sana, di antara kerumunan tamu, Mira muncul. Anggun dalam gaun biru tua, rambutnya disanggul rapi, langkahnya tenang. Di belakangnya — Ardan berjalan sambil berbicara dengan salah satu rekan bisnisnya.
Nayara terpaku, menatap pemandangan itu seperti mimpi buruk yang terlalu indah.
Ardan mengenakan jas abu-abu muda, tampak tampan seperti biasa. Tapi yang membuat perutnya mengeras adalah cara Mira berjalan begitu dekat dengannya, seolah keduanya adalah pasangan yang serasi.
“Selamat sore, Nayara.”
Suara Mira terdengar manis, tapi dingin. Ia menghampiri dengan senyum lebar, sementara Ardan tampak sedikit canggung — tapi tidak menjauh.
“Sore,” jawab Nayara, menahan nada suaranya agar tetap datar.
“Terima kasih sudah mengundang kami. Acara ini luar biasa,” kata Mira, pandangannya menusuk lembut.
“Ardan bahkan bilang dia bangga kamu bisa ngatur semua ini sendirian.”
“Terima kasih,” jawab Nayara lagi. Ia menoleh sebentar ke Ardan, yang hanya membalas dengan senyum singkat — senyum yang dulu hangat, tapi kini terasa kosong.
Beberapa menit berikutnya terasa seperti drama diam-diam di tengah keramaian.
Mira berbicara dengan beberapa tamu, berbaur dengan mudah.
Ardan ikut berbincang, sesekali menatap ke arah Nayara tapi tak pernah benar-benar menghampirinya.
Di sisi lain ruangan, Ibu Nayara memperhatikan dari jauh.
Ia berdiri dengan segelas air mineral, matanya tajam, seperti seorang ibu yang tahu sesuatu tak beres tapi memilih diam dulu.
Ketika Nayara akhirnya menghampirinya, Ibu menatap lekat wajah putrinya.
“Itu... yang tadi bareng Ardan?” tanyanya pelan.
Nayara menelan ludah. “Iya, Bu. Rekan bisnis.”
“Rekan bisnis?” Ibu menaikkan alis. “Kalau rekan bisnis, kenapa matanya ngikutin kamu terus, dan matanya juga kayak... ngomong sesuatu yang lain?”
Nayara terdiam. Ia tak tahu harus menjawab apa. Hanya tersenyum kecil, memalingkan wajah. “Mungkin cuma Ibu yang kebanyakan baca ekspresi.”
Tapi jauh di dalam hati, ia tahu ibunya benar.
Acara berjalan lancar.
Para tamu bertepuk tangan, kamera mengambil gambar, dan ucapan terima kasih bergema di seluruh aula.
Namun di balik semua kesempurnaan itu, ada ketegangan yang terasa — seperti dua gelombang yang saling mendekat tanpa suara.
Ketika tamu mulai berkurang, Nayara berjalan ke arah balkon untuk menghirup udara.
Ia berdiri di sana, memandangi kota malam dengan lampu-lampunya yang berkilau.
Suara langkah sepatu terdengar mendekat pelan.
“Nayara.”
Suara itu lembut, tapi dingin — milik Mira.
Nayara tak berbalik. “Ada apa, Mira?”
Mira berhenti di belakangnya, jarak mereka hanya beberapa langkah. “Aku cuma mau bilang... kamu hebat malam ini. Semua orang kagum.”
“Terima kasih.”
“Termasuk Ardan,” lanjut Mira pelan. “Dia bilang kamu terlihat sangat... kuat.”
Nada itu membuat Nayara berbalik, menatap Mira langsung. “Apa maksudmu?”
Mira tersenyum samar. “Cuma komentar, kok. Tapi kadang kekuatan itu datang dari rasa kehilangan, ya?”
“Dan kamu pikir aku kehilangan?” Nayara menatapnya tajam.
Mira mengangkat bahu ringan. “Aku nggak bilang begitu.”
Hening.
Hanya suara hujan yang mulai turun lagi di luar balkon.
Mereka berdiri saling menatap — dua perempuan yang terikat oleh satu nama, satu rahasia, satu luka.
Tiba-tiba suara lain datang dari arah pintu balkon. “Sayang, kamu di sini?”
Nayara menoleh cepat — Ardan berdiri di sana. Suaranya lembut, tapi panggilannya... membuat Mira menahan senyum samar.
“Oh,” katanya, pura-pura salah tingkah. “Kupikir kamu manggil aku.”
Ardan tampak kaget, lalu tersenyum kaku. “Heh... maaf, kebiasaan.”
Nayara menatapnya lama. Ada sesuatu yang retak di dadanya, halus tapi dalam.
Ia tahu — cara Ardan menjawab terlalu terbiasa, terlalu cepat.
“Gak apa-apa,” ucapnya datar, menatap keduanya bergantian. “Kalian berdua sepertinya makin sering kerja bareng, ya?”
Mira menatap Ardan, lalu kembali ke Nayara. “Iya, banyak proyek yang butuh koordinasi langsung. Tapi tenang aja, Nay, semua murni profesional.”
Nayara tersenyum kecil, getir. “Profesional. Kata yang indah untuk menutupi banyak hal.”
Ardan menatap istrinya, tapi tak berkata apa pun. Sementara Mira melirik jam tangannya, lalu berkata pelan, “Aku pamit dulu, ya. Senang bisa ngobrol, Nay.”
Ia berbalik, meninggalkan mereka berdua di balkon. Langkahnya ringan, tapi setiap langkah terdengar seperti gema pengkhianatan yang samar.
Hening menyelimuti balkon.
Hujan turun semakin deras, aroma tanah basah memenuhi udara.
Nayara memeluk lengannya sendiri.
“Ardan,” katanya pelan, “kamu nggak akan bilang apa-apa?”
Ardan menatapnya, bingung. “Bilang apa?”
“Apapun,” bisik Nayara. “Tentang kamu, tentang dia, tentang... kita.”
Ardan menarik napas panjang, menatap ke arah lampu kota.
“Aku nggak tahu harus mulai dari mana, Nay. Semua ini rumit.”
“Iya rumit , kamu yang bikin semuanya jadi rumit,” jawab Nayara cepat. “Kamu cuma tinggal jujur, Dan. Aku bukan musuhmu.”
Ardan terdiam lama.
Wajahnya menegang, seolah ada banyak hal di kepalanya tapi tak ada satu pun yang berani keluar.
“Boleh aku minta waktu?” katanya akhirnya. “Aku lagi banyak pikiran, Nay.”
Nayara menatapnya lama, lalu mengangguk perlahan. “Ambil waktu sebanyak yang kamu mau,” ucapnya lirih. “Cuma jangan salah arah waktu kamu cari tenang.”
Ia melangkah pergi melewati Ardan, meninggalkannya berdiri di tengah balkon yang dingin.
Untuk pertama kalinya, Ardan merasa kesunyian yang ia ciptakan sendiri mulai menelannya.
Sementara itu, di lobby hotel, Mira berdiri di depan kaca besar.
Ia menatap bayangannya sendiri, lalu tersenyum samar.
Seorang pria tua — ayah Mira, yang datang menjemput — menghampiri.
“Sudah selesai, Nak?” tanyanya lembut.
Mira mengangguk. “Sudah, Ayah. Aku cuma sedikit... ketemu masa lalu.”
Sang ayah menatapnya penuh arti. “Kamu yakin ini jalan yang benar?”
Mira menatap pantulan wajahnya di kaca — lalu menjawab pelan,
“Benar atau salah... kadang cuma soal siapa yang lebih kuat bertahan.”
Malam itu berakhir dengan keheningan panjang.
Di rumah, Nayara menatap tempat tidur kosong di sebelahnya, sementara Ardan masih di luar dengan alasan urusan kantor.
Di sisi lain kota, Mira berbaring di tempat tidurnya sendiri — senyum samar di bibir, tapi mata terbuka lebar, tak bisa tidur.
Tiga hati di bawah langit yang sama.
Semua berpura-pura baik-baik saja.
Padahal, setiap dari mereka tahu... sesuatu telah berubah, dan tidak akan pernah sama lagi.
Bersambung....