"Kamu harus ingat ya, Maira, posisi kamu di rumah ini nggak lebih dari seorang pengasuh. Kamu nggak punya hak buat merubah apa pun di rumah ini!"
Sebuah kalimat yang membuat hati seorang Maira hancur berkeping-keping. Ucapan Arka seperti agar Maira tahu posisinya. Ia bukan istri yang diinginkan. Ia hanya istri yang dibutuhkan untuk merawat putrinya yang telah kehilangan ibu sejak lahir.
Tidak ada cinta untuknya di hati Arka untuk Maira. Semua hubungan ini hanya transaksional. Ia menikah karena ia butuh uang, dan Arka memberikan itu.
Akankah selamanya pernikahan transaksional ini bejalan sedingin ini, ataukah akan ada cinta seiring waktu berjalan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon annin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 20 Takut Terpesona
Maira langsung masuk ke kamar Arka pagi itu. Ia pikir Arka sudah pergi seperti biasanya. Tak ada niatan apa pun, hanya ingin menata baju-baju Arka yang sudah di laundry ke lemari.
Kamar itu sepi seperti biasanya. Pemiliknya sudah pergi seperti yang Maira duga. Santai, Maira menata baju-baju Arka ke dalam lemari. Saat ia akan memasukkan dasi ke dalam loker, ia melihat sebuah cincin di atas sebuah foto. Maira mengambilnya, melihat dua benda itu. Cincin dan sebuah foto pernikahan.
Ia tersenyum getir. Dua benda itu makin membuatnya mantap untuk pergi suatu hari nanti. Tak ada tempat di rumah ini, pun di hati seorang Arkana Syahlendra. Dunia pria itu sudah penuh dengan Raswa, tidak ada tempat lagi untuk dirinya.
"Sedang lihat apa?"
Maira terperanjat mendengar suara Arka. Ia bahkan hampir menjatuhkan cincin dan foto di tangannya. Untung saja refleknya bagus, hingga cincin itu tak sampai jatuh. Buru-buru Maira letakkan kembali dua benda itu. Menutup loker dan berbalik untuk pergi.
Sialnya, niatan untuk segera pergi itu terhalang tubuh Arka yang berdiri menjulang di depannya. Pria itu selesai mandi. Tubuh yang basah karena tetesan air dari rambutnya, dengan handuk melilit di pinggang membuat Maira berhenti spontan.
Ujian apa lagi ini, Tuhan?
Iya, Maira bilang ini ujian. Sebab ia belum pernah melihat secara nyata kondisi laki-laki setengah naked begini. Secara naluriah sebagai wanita dan istri, hati Maira mendadak berdesir. Terlebih, pria ini halal untuknya.
Arka melongok ke dalam lemari yang belum tertutup sempurna. Terlihat tumpukan baju-bajunya yang sudah rapi.
"Maaf," ujar Maira cepat. Ia gegas berlari keluar kamar. Menuju dapur untuk membantu Iis menyiapkan sarapan.
"Bikin apa, Mbak?" tanya Maira begitu sampai dapur.
"Ini, Bu, buat nasi goreng."
"Sini saya bantuin." Maira mengambil alih spatula dari tangan Iis. "Tinggal plating, kan?"
"Iya, Bu. Kalau gitu saya bikin kopi dulu buat Bapak," ujar Iis.
Maira meneruskan pekerjaan Iis menata nasi goreng.
Irama jantungnya belum juga normal, saat ia mendengar teriakan Arka dari dalam kamar.
"Maira!"
Maira pura-pura tak mendengar. Ia terus saja menata nasi goreng buatan Iis ke atas piring saji.
"Maira!" Sekali lagi teriakan itu menggema.
"Bu, itu dipanggil Bapak," ujar Iis memberitahu. Takut majikannya tak mendengar. "Sini, Bu, biar saya saja yang lanjutkan."
Maira ingin menolak, tapi Arka memanggil untuk ke tiga kalinya. Mau tak mau Maira segera pergi ke kamar Arka.
"Iya, Mas?" tanya Maira begitu masuk.
"Ini kenapa kancing kemeja aku nggak ada satu?" Arka menunjukkan kancing ke dua yang hilang.
Maira tak tahu, karena bukan ia yang mencuci dan setrika. Ia hanya membantu Iis membawa baju-baju Arka ke lemari.
"Nanti aku suruh Iis ke tukang jahit buat pasang kancing baru, Mas."
"Nggak bisa, aku mau pakai ini sekarang!"
Alamak! Macam anak kecil saja. Kemeja dia kan banyak, kenapa disuruh ganti saja nggak mau.
"Kamu cari kancing dan jarum sekarang juga, terus pasang kancingnya."
"Iya, Mas." Maira lari ke luar, menanyakan pada Iis apa punya alat jahit yang diminta Arka.
Untung saja, Iis ada alat-alat itu. Ia kembali pada Arka dengan lega.
"Tolong kemejanya dilepas, Mas," ujar Maira.
"Gini aja langsung di pasang, aku buru-buru soalnya," jawab Arka sambil mengecek ponselnya.
Maira tak bisa berdebat. Ia ikuti apa yang Arka mau. Ia menjahit kancing baju yang masih Arka kenakan.
Saat Maira sibuk menjahit, Arka sibuk dengan ponselnya. Aroma wangi tubuh Arka begitu menggoda indera penciuman Maira. Ini pertama kalinya ia sedekat ini dengan sang suami.
Debar jantung yang sebelumnya sudah normal, kini kembali tak beraturan. Arka memang begitu tampan, tak bisa Maira pungkiri.
Ah, setampan apa pun Arka, dia bukan suami yang tepat untuk Maira. Pria itu tidak akan pernah jadi miliknya.
Maira menepis segala rasa kagum akan Arka. Ia harus kembali pada realita, jika ia sudah merencanakan masa depan tanpa Arka.
Sama seperti Maira yang sempat mencuri pandang, Arka pun melakukannya. Meski terlihat sibuk dengan ponselnya, ia sempat melirik ke arah wanita yang hampir tiga bulan lalu ia nikahi.
Maira manis. Arka mengakuinya. Lesung pipi wanita itu menambah daya tarik tersendiri. Selain itu, Maira merupakan istri yang baik dan penurut. Ia wanita yang tulus. Terbukti dari ia rela mengorbankan masa depannya untuk masuk dalam pernikahan yang tak pernah ia inginkan. Mendapat perlakuan tak semestinya dari suami, tapi tetap bersikap baik. Setidaknya begitu Arka menilai, selama ia tinggal bersama.
Ah, kalau boleh jujur, banyak sekali pujian untuk Maira. Namun, Arka enggan mengakuinya. Ia takut jatuh dalam pesona Maira. Itu juga yang menjadi alasan ia menghindari Maira selama ini.
Selain itu, ia tak mau semakin menyakiti Maira lebih jauh. Ketulusan Maira pantas dibayar dengan kebahagiaan, hal yang tak bisa Arka berikan.
Setiap kali menjauh, setiap kali juga Arka merasa begitu bersalah pada Maira. Terlebih setelah kejadian itu, ia merasa semakin tak pantas untuk Maira.
"Sudah selesai, belum?"
"Eh, i-iya, Mas. Ini sudah selesai kok." Maira membuat simpul di akhir jahitan agar tak lepas.
Ia mencari-cari gunting untuk memotong benang, tapi nampaknya ia lupa membawa gunting tadi. Tak mau repot pergi untuk ambil gunting, Maira menggunakan giginya untuk memotong benang. Arka yang melihat itu hanya bisa menatap aneh.
"Maaf, Mas, aku lupa bawa gunting." Maira segera membereskan alat jahitnya dan langsung ingin pergi.
"Maira," panggil Arka.
Maira berhenti di ambang pintu dan menoleh.
"Terima kasih."
Maira tak menjawab, pun tak membalas dengan senyum. Ia langsung pergi begitu saja.
Kembali ke dapur, memastikan sarapan sudah siap.
"Semua sudah siap, kan, Mbak?"
"Sudah, Bu."
"Kalau gitu, aku ke kamar dulu lihat Zara."
Niatnya ingin melihat putrinya, tapi karena Zara masih tidur, Maira memutuskan untuk mengambil ponsel miliknya. Ada pesan yang ia tunggu dari temannya.
Maira sempatkan untuk duduk di tepi ranjang sembari membuka ponsel. Tak ada pesan dari teman yang ia harapkan. Justru ada pesan masuk dari nomor tak dikenal. Sebuah pesan berisi vidio.
Maira membukanya. Menatap tak percaya akan vidio yang dikirimkan oleh nomor tak dikenal.
"Astagfirullah hal'adzim!" pekik Maira. Ia langsung menutup ponselnya, tak mau lagi melanjutkan melihat apa yang terjadi dalam vidio.