Seorang wanita modern Aira Jung, petinju profesional sekaligus pembunuh bayaran terbangun sebagai Permaisuri Lian, tokoh tragis dalam novel yang semalam ia baca hingga tamat. Dalam cerita aslinya, permaisuri itu hidup menderita dan mati tanpa pernah dianggap oleh kaisar. Tapi kini Aira bukan Lian yang lembek. Ia bersumpah akan membuat kaisar itu bertekuk lutut, bahkan jika harus menyalakan api di seluruh istana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja Bulan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20, Surat dari Utara
Fajar belum sepenuhnya muncul ketika lonceng istana berdentang tiga kali tanda ada pesan diplomatik dari luar kerajaan.
Di ruang utama, para pejabat berkumpul dengan wajah tegang. Di tengah mereka, sebuah gulungan surat dengan segel naga merah diletakkan di atas meja batu.
Kaelith menatap surat itu lama, seolah bisa menembus maknanya hanya dengan tatapan.
“Segel ini…” gumamnya. “Dari Benteng Lethra.”
Elara berdiri di sisi kanan ruangan, mengenakan jubah hitam berkerah tinggi. Ia baru saja selesai membalut lukanya, tapi tidak sedikit pun terlihat lemah.
“Mereka akhirnya menunjukkan diri,” katanya pelan. “Berarti mereka sudah siap bermain terbuka.”
Kaelith membuka segel itu dengan hati-hati. Isinya singkat, tapi mengguncang seluruh ruangan:
‘Salam untuk Kaisar Kaelith dari Utara. Kami menuntut pengembalian sesuatu yang bukan milikmu.
Jika tidak, maka matahari tidak akan terbit lagi untukmu.
— N.’
Ruangan hening. Semua pejabat saling berpandangan.
Elara melangkah maju.
“‘Sesuatu yang bukan milikmu’… itu bisa berarti apa saja. Tanah, senjata, bahkan seseorang.”
Kaelith meliriknya sekilas.
“Atau seseorang yang dulu kabur dari mereka.”
Elara menatapnya balik, dingin.
“Kau pikir aku?”
Kaisar tidak menjawab, tapi tatapannya cukup membuat udara di antara mereka menegang.
“Aku tidak lahir di Utara, Kaelith. Kau tahu itu.”
“Aku tahu… tapi aku juga tahu kau pernah tinggal di sana beberapa waktu sebelum datang ke istana.”
Elara tertawa sinis.
“Jadi kau mulai meragukanku sekarang? Setelah semua yang kulakukan?”
“Aku tidak meragukanmu,” suaranya pelan tapi dalam. “Aku takut kau menyembunyikan sesuatu.”
Mata Elara berkilat tajam.
“Setiap orang menyembunyikan sesuatu. Bahkan kau, Kaisar.”
Keduanya saling menatap tidak ada yang menyerah.
Kaen yang berdiri di dekat pintu menunduk dalam-dalam; atmosfer di ruangan itu nyaris seperti medan perang.
Beberapa jam kemudian, Elara duduk di taman istana yang sunyi. Daun gugur beterbangan, menempel di rambutnya yang berwarna hitam keperakan. Ia membuka surat itu sekali lagi, memperhatikan tanda tangan di bawahnya.
Huruf “N” itu ditulis dengan goresan tajam, ia mengenal gaya tulis itu.
“Nereth…” gumamnya.
Nama itu membuat darahnya dingin. Ia mengenal pria itu dulu jenderal muda dari Benteng Lethra, dingin dan ambisius. Seseorang yang pernah melatihnya dalam hal-hal yang tak seharusnya diketahui seorang perempuan istana.
“Aku mengajarkanmu cara membunuh tanpa meninggalkan bekas, Elara.”
Suara masa lalu bergema di pikirannya.
“Tapi kau gagal menebak satu hal, Nereth,” bisiknya pada diri sendiri.
“Aku juga tahu bagaimana menghapus orang yang mengajarkanku itu.”
Kaen datang menghampiri, membawa secangkir teh.
“Kau terlihat seperti sedang menahan sesuatu.”
“Aku tidak menahan,” jawab Elara datar. “Aku mengingat.”
“Tentang dia?”
“Ya. Tentang dia… dan tentang utara yang selalu lapar kekuasaan.”
Kaen duduk di sebelahnya.
“Kalau benar Nereth yang mengirim surat itu, berarti dia tidak hanya ingin ancaman. Dia ingin kau.”
“Dan aku akan memberinya sesuatu yang lebih.”
Kaen menatap heran.
“Apa maksudmu?”
“Aku akan pergi ke Benteng Lethra sendiri.”
“Apa? Kau gila?” Kaen hampir menjatuhkan cangkirnya.
“Kau baru saja lolos dari percobaan pembunuhan! Kau pikir mereka akan menyambutmu dengan karpet merah?”
Elara menatap jauh ke arah utara, tempat pegunungan hitam menjulang di cakrawala.
“Justru karena mereka ingin aku mati, aku harus datang lebih dulu. Tidak ada yang lebih menakutkan bagi musuh daripada mangsa yang berjalan ke sarangnya dengan senyum di wajahnya.”
“Dan kalau Kaisar tahu?”
Elara tersenyum tipis.
“Dia tidak akan tahu. Setidaknya, belum.”
Di malam yang sama, Kaelith berdiri di balkon menara tertinggi, memandang langit berawan. Di tangannya, ia memegang medali perak bertanda naga hadiah lama dari seorang sekutu yang kini menjadi musuh.
“Lethra…” bisiknya. “Aku pikir aku sudah mengubur masa itu.”
Langkah pelan terdengar di belakangnya.
Penasihat istana membungkuk dalam-dalam.
“Yang Mulia, Permaisuri tampak menghilang dari kamarnya.”
Kaisar menoleh cepat.
“Apa maksudmu?”
“Tak ada penjaga yang melihat ke mana dia pergi. Tapi salah satu pelayan menemukan ini di balkon kamar beliau.”
Ia menyerahkan sepotong kertas kecil. Tulisan tangan Elara.
‘Jangan khawatir. Aku hanya menjemput sesuatu yang seharusnya tidak pernah dibiarkan pergi.’
Kaelith menggenggam surat itu erat. Tatapannya berubah tajam, dingin, dan gelap.
“Elara…” katanya pelan, hampir seperti ancaman.
“Kalau kau berani pergi tanpa izinku… maka aku akan datang menjemputmu entah sebagai suamimu, atau sebagai Kaisar.”