Dikhianati dan dijebak oleh suami dan kekasih gelapnya, seorang wanita polos bernama Megan secara tak terduga menghabiskan malam dengan Vega Xylos, bos mafia paling berkuasa di dunia malam. Hingga akhirnya, dari hubungan mereka malam itu, menghasilkan seorang putra jenius, Axel. Tujuh tahun kemudian, Vega yang terus mencari pewarisnya, tapi harus berhadapan dengan Rommy Ivanov, musuh lamanya, baru mengetahui, ternyata wanita yang dia cari, kini telah dinikahi musuh besarnya dan berniat menggunakan kejeniusan Axel untuk menjatuhkan Kekaisaran Xylos. Bagaimana Vega akan menghadapi musuh besarnya dan apakah Megan dan putranya bisa dia rebut kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20: Kelahiran Sang Pewaris di Kegelapan malam tak berbintang...
Gubuk kayu itu berbau apak dan debu, tetapi bagi Megan, itu adalah istana terakhir. Ia tersungkur ke lantai tanah yang dingin, punggungnya bersandar pada dinding kayu yang rapuh. Matahari belum sepenuhnya terbit, dan dinginnya fajar menusuk tulang. Tetapi rasa dingin itu tidak sebanding dengan api yang kini membakar di perutnya.
Kontraksi itu datang, bukan sebagai gelombang, melainkan sebagai palu godam yang menghantam tanpa ampun. Megan menggigit bibirnya hingga berdarah, menahan jeritan agar tidak menarik perhatian siapa pun yang mungkin tersisa di hutan karet itu. Ia sendirian. Tidak ada Jose yang lembut (yang kini ia tahu adalah kepalsuan), tidak ada Wina yang jahat, dan yang paling penting, tidak ada Vega Xylos yang berkuasa.
“Tidak… bukan sekarang,” Megan berbisik, memaksakan diri untuk bernapas. Ia merangkak sedikit, mencari sehelai kain bersih yang bisa ia gunakan, tetapi gubuk itu benar-benar kosong. Ia merobek ujung roknya, menyiapkan alas seadanya.
Saat kontraksi berikutnya melanda, rasa sakit itu begitu hebat hingga realitasnya terdistorsi. Matanya terpejam, dan tanpa ia sadari, ingatannya menyeretnya kembali ke ruangan VIP yang mewah dan temaram delapan bulan lalu. Malam yang seharusnya menjadi malapetaka, tetapi kini melahirkan kehidupan di antara kakinya.
Ia ingat suhu dingin ruangan itu, kontras dengan panas yang dipancarkan oleh tubuh Vega. Bukan sentuhan yang penuh kasih, melainkan sentuhan kepemilikan. Setiap sentuhan Vega adalah sebuah pernyataan: Aku mengambil ini. Aku memiliki ini.
Kenangan itu bagai racun dan penawar sekaligus. Rasa sakit fisik karena persalinan bercampur dengan memori trauma yang bersifat sangat pribadi. Pria itu, Vega Xylos, tidak pernah meminta. Ia hanya mengambil. Dan sekarang, buah dari pengambilan paksa itu menuntut jalan keluar ke dunia.
Megan mengejan, tubuhnya bergetar hebat. Keringat dingin membasahi dahinya. Ia merasakan tekanan yang luar biasa, seolah-olah seluruh tubuhnya terkoyak. Dalam kegelapan dan rasa sakit yang murni, hanya ada satu pikiran yang membuatnya bertahan: melindungi anak ini. Anak yang lahir dari kekuasaan mafia, tetapi harus tumbuh dalam kedamaian seorang ibu.
“Aku membencimu, Vega,” desisnya di antara erangan. Tetapi di sisi lain, ia juga merasakan koneksi primal yang tak terbantahkan. Anak ini adalah bagian dari kegelapan yang menawan, bagian dari kekuatan yang ia tolak mati-matian.
Ia mengejan lagi. Rasa sakit mencapai puncaknya. Ia berteriak, jeritan yang tertahan oleh ketakutan dan kelelahan. Dalam pandangan mata yang sayu, ia melihat bayangan gelap, besar, yang mirip dengan bayangan Vega, berdiri di atasnya, mengawasi proses ini dengan mata elang yang tak terhindarkan. Itu hanya halusinasi, tetapi rasa kehadiran Vega begitu nyata, seolah-olah bos mafia itu mengklaim kelahiran ini bahkan dari jarak ribuan kilometer.
Tiba-tiba, ia mendengar suara lain, suara mobil tua yang berhenti mendadak di luar gubuk. Sesaat, ketakutan akan The Serpent kembali menyerangnya. Apakah mereka menemukannya?
Pintu kayu yang reyot itu berderit terbuka, menampakkan siluet seorang wanita paruh baya yang membawa senter dan mengenakan pakaian kerja sederhana. Wanita itu, Nyonya Asih, majikan yang menunggu pekerja baru di peternakannya, mematung di ambang pintu.
“Ya Tuhan! Nak, apa yang terjadi?” Nyonya Asih menjatuhkan senternya, dan cahaya itu bergulir, menerangi pemandangan mengerikan di dalam gubuk.
Megan, yang sudah berada di ambang batas kesadarannya, hanya bisa mengulurkan tangan yang gemetar. “Tolong… anakku…”
Nyonya Asih, meskipun terkejut, adalah wanita yang tangguh, terbiasa menghadapi kelahiran ternak di peternakannya. Naluri keibuannya segera mengambil alih. Ia bergegas masuk, menyingkirkan senter yang berguling, dan berlutut di sisi Megan.
“Jangan takut, Nak. Aku di sini. Tarik napas. Jangan mengejan dulu. Aku harus melihat bagaimana posisinya,” ujar Nyonya Asih, suaranya tenang namun tegas. Ia memeriksa Megan dengan cepat.
“Ini sudah dekat sekali. Jangan khawatir, aku akan membantumu. Nama saya Asih. Kau akan baik-baik saja.”
Nyonya Asih dengan cekatan mengatur posisi Megan dan membimbingnya melalui proses persalinan. Megan, yang sudah kehabisan tenaga, bergantung sepenuhnya pada suara Nyonya Asih yang menenangkan.
“Satu lagi, Nak! Kuat! Demi putramu!” teriak Nyonya Asih.
Dengan erangan terakhir yang merobek tenggorokannya, Megan merasakan beban yang luar biasa terlepas. Dunia mendadak hening, kecuali suara tangisan yang lemah, tetapi jelas.
Nyonya Asih menangkap bayi itu, membersihkannya dengan kain robek milik Megan, dan segera meletakkannya di dada ibunya.
Megan membuka matanya, menatap makhluk kecil yang kini terengah-engah di atasnya. Air mata kelegaan dan cinta yang tak terukur mengalir. Ini dia. Axel. Kekuatannya. Alasannya untuk bertahan hidup.
“Dia laki-laki. Dia kuat sekali, Nak,” kata Nyonya Asih, tersenyum haru sambil membantu membersihkan sisanya.
Ketika Nyonya Asih memegang bayi itu untuk memotong tali pusat, ia menolehkan wajah bayi itu ke arah cahaya fajar yang menyelinap masuk melalui celah dinding.
Saat itu, Nyonya Asih terdiam. Senyumnya lenyap. Mata bayi itu, sepasang mata biru keabu-abuan yang sangat tajam, dingin, dan intens, menatap lurus ke arahnya. Itu adalah tatapan yang tidak mungkin dimiliki oleh bayi biasa. Itu adalah tatapan yang memancarkan otoritas dan kekuatan yang menakutkan, bahkan di wajah yang mungil dan baru lahir.
“Ya Tuhan,” gumam Nyonya Asih, merasakan getaran aneh menjalari tubuhnya. Ia telah melihat banyak bayi, tetapi tidak pernah mata setajam ini. Mata itu terlalu tua, terlalu mengklaim. Mata itu, tanpa diragukan lagi, adalah warisan dari darah yang sangat kuat dan berbahaya.
Megan, yang kelelahan, hanya bisa tersenyum lemah. “Axel,” bisiknya, memanggil nama putranya.
Nyonya Asih menatap Megan, lalu ke mata bayi itu lagi. Ia menyadari bahwa ia baru saja menyelamatkan bukan hanya seorang wanita yang kabur, tetapi seorang ibu yang membawa pewaris dari dunia yang jauh lebih gelap daripada yang pernah ia bayangkan. Namun, ia tidak bisa meninggalkan mereka.
“Kita harus segera membawamu pergi dari sini, Nak,” kata Nyonya Asih, segera membungkus bayi Axel. “Aku harus membawamu ke peternakanku. Tidak ada yang akan mencarimu di sana. Tidak ada yang akan tahu.”
Ia menggendong Axel di satu tangan dan membantu Megan berdiri. Megan bersandar pada bahunya, lemah, tetapi tekadnya kini kembali penuh. Ia telah selamat. Ia memiliki Axel. Rahasia terbesar dan paling berbahaya di dunia kini ada dalam pelukannya.
Mereka berjalan perlahan menuju mobil Nyonya Asih. Sementara itu, ratusan kilometer jauhnya, di Zurich, Vega Xylos, yang belum tidur semalaman, menerima laporan intelijen terbaru. Tim pelacak telah menemukan jejak darah dan kain robek di gubuk tua di hutan karet itu. Mereka terlambat. Target telah bergerak, tetapi Vega kini yakin. Megan telah melahirkan.
Vega memejamkan mata, memvisualisasikan mata tajam putranya, mata yang ia yakini sama persis dengannya. “Dia telah tiba. Selamat datang, Pewaris Xylos,” bisiknya. “Pencarianmu baru saja dimulai, Megan. Kali ini, aku tidak akan gagal.”
Di dalam mobil tua yang melaju pelan, Nyonya Asih mengamati bayangan Megan dan bayi Axel di kursi sampingnya. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk melindungi mereka. Ia tidak tahu bahwa dengan membawa Megan ke peternakan terpencilnya, ia baru saja menyembunyikan Ratu dan Pewaris dari dua kerajaan mafia yang kini siap saling menghancurkan demi satu nyawa kecil.
Axel membuka mata tajamnya, menatap ke arah cahaya pagi, seolah-olah ia sudah memahami bahwa dunia ini adalah medan perang, dan ia adalah hadiah utama.
"Axel... sayangku," ucap megan dengan mengecup kening bayi mungilnya yang tampan dan sehat. Senyum tulus penuh cinta menghiasi wajah pucat pasi Megan....