Nathan mengira ia hanya mengambil jeda, sedikit waktu untuk dirinya sendiri, untuk menyusun ulang hidup yang mulai tak terkendali.
Kayla mengira ia ditinggalkan. Lagi-lagi diabaikan, disisihkan di antara tumpukan prioritas kekasihnya.
Saat jarak berubah jadi luka dan diam jadi pengabaian, cinta yang semula kokoh mulai goyah.
Tapi cinta tak selamanya sabar.
Dan Nathan harus bertanya pada dirinya sendiri.
Masih adakah yang bisa ia perjuangkan saat semuanya nyaris terlambat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wiji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20
Hujan belum juga reda sejak pagi. Langit terlihat lesu, tapi hangat di dalam apartemen Kayla membuat suasana terasa nyaman. Nathan duduk di sudut sofa, sebuah mug berisi teh di tangannya, dan selimut yang sama masih menyelimuti mereka sejak film dimulai.
Kayla tertidur di sebelahnya. Napasnya teratur, pipinya sedikit merona karena suhu ruangan yang hangat. Rambutnya sedikit berantakan, tapi Nathan tidak tergoda untuk membetulkannya. Ia hanya menatap, mencoba merekam semuanya dalam ingatan.
Jam di dinding berdetak pelan. Sudah hampir dua siang. Nathan belum ingin pergi, tapi pikirannya mulai penuh, bukan oleh pekerjaan yang menumpuk, melainkan oleh pertemuan yang terjadi tiga hari lalu.
***
Tiga Hari Sebelumnya.
Kantor terasa lebih sunyi dari biasanya ketika Pak Jatmiko datang. Pria paruh baya itu selalu datang tanpa banyak basa-basi. Dengan jas abu-abu dan tas kulit usang yang selalu ia bawa sejak dulu, langkahnya tenang tapi penuh maksud.
Nathan menghentikan kerjaannya begitu sekretaris memberi tahu tamu yang datang. Ia mempersilakan Pak Jatmiko masuk, dan seperti biasa, pria itu langsung duduk tanpa menunggu.
"Ada yang penting, Pak?" tanya Nathan, mencoba terdengar tenang.
Pak Jatmiko membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah map besar berwarna gelap. Ia meletakkannya perlahan di atas meja kerja Nathan.
"Ini proyek luar negeri milik ayahmu. Proses pembangunan akhirnya selesai. Semua legalitasnya juga sudah lengkap. Sekarang tinggal dibuka dan dijalankan."
Nathan mengernyit. Tangannya tak langsung membuka map itu.
"Kenapa saya baru tahu sekarang?"
Pak Jatmiko menyandarkan punggungnya. Tatapannya tetap tajam namun tak menghakimi.
"Karena baru sekarang kamu siap."
Nathan menghela napas, berat.
"Dari awal nggak ada satu pun yang bilang soal ini, Pak. Bahkan waktu saya mulai ngurus perusahaan... nggak ada yang nyebut proyek ini."
"Memang sengaja tidak kami sampaikan. Waktu itu kamu belum bisa berdiri sendiri. Perusahaan pusat saja masih jadi beban berat buat kamu. Lagipula, pembangunan di sana juga belum selesai. Baru beberapa bulan terakhir semuanya berjalan cepat."
Nathan menunduk, menatap tangannya yang menggenggam ujung meja. Hatinya campur aduk. Ada marah, ada bingung, dan sedikit merasa ditinggalkan.
"Pak," katanya akhirnya. Suaranya rendah tapi tegas. "Saya baru setahun lebih megang perusahaan ini. Bahkan baru akhir-akhir ini saya merasa benar-benar bisa kerja dengan kepala dingin. Dan sekarang, saya harus ninggalin semua?"
Pak Jatmiko tetap diam. Ia membiarkan Nathan meluapkan pikirannya.
"Waktu saya masuk ke ruangan ini setahun lalu, saya bahkan nggak tahu mana laporan mingguan dan mana rencana strategi. Saya butuh waktu buat ngerti, buat nyari ritme, buat bisa dihargai sama karyawan saya sendiri."
Nathan mendongak, menatap pria yang sejak dulu dekat dengan ayahnya itu.
"Dan sekarang, saat saya baru bisa ngerasa stabil... saya malah diminta ninggalin semua ini buat buka cabang luar negeri?"
Pak Jatmiko mengangguk pelan. "Saya mengerti itu, Mas Nathan. Tapi keputusan ini bukan sekedar instruksi. Ini bagian dari warisan ayahmu. Proyek ini dia mulai sejak dua tahun sebelum meninggal. Ia tahu suatu saat akan selesai, dan hanya kamu yang bisa meneruskannya."
Nathan menyandarkan tubuh ke kursi. Bahunya menegang.
"Saya bukannya menolak, Pak. Tapi… saya bahkan belum tahu apakah saya layak disebut CEO yang benar. Baru juga setahun lebih, dan saya masih banyak belajar."
"Justru karena itu, kamu perlu tantangan baru. Kami semua lihat perubahanmu. Bahkan Dewan Direksi pun tak punya alasan lagi untuk meragukanmu," jawab Pak Jatmiko tenang. "Tapi kalau kamu memang belum siap, bilang saja. Tidak ada paksaan."
Nathan terdiam. Hatinya mengaduk-aduk.
"Bukan soal siap atau enggak, Pak. Tapi… di sini ada yang sedang saya bangun. Bukan cuma perusahaan. Tapi juga… seseorang yang saya perjuangkan."
Pak Jatmiko tak bertanya siapa yang dimaksud. Ia hanya mengangguk, seperti paham tanpa harus dijelaskan.
"Kalau kamu butuh waktu, ambil. Tapi proyek ini tidak bisa ditunda selamanya. Di luar sana, sudah banyak yang menunggu. "
***
Kembali ke saat ini.
Nathan menatap jendela yang mulai mengembun. Hatinya terasa sempit. Ia memandangi wajah Kayla yang damai, lalu menunduk. Ia tahu ia tidak bisa menyembunyikan ini terlalu lama. Tapi ia juga belum tahu cara yang tepat untuk mengatakannya.
Bukan karena ia tidak percaya pada Kayla. Tapi karena ia takut… apa yang sudah mereka bangun dengan susah payah akan kembali goyah hanya karena satu keputusan yang tak pernah ia minta.
Ponselnya bergetar pelan di atas meja. Sebuah pesan dari Pak Jatmiko.
[Jangan terlalu lama berpikir. Jadwal pembukaan menunggu persetujuanmu.]
Nathan mengetik balasan singkat, lalu menghapusnya lagi. Ia menatap layar kosong beberapa detik sebelum akhirnya mematikan layar.
Tangannya bergerak pelan merapikan selimut Kayla. Sesaat, ia memejamkan mata.
Kalimat itu kembali terngiang di kepalanya. Yang masih tertahan di tenggorokannya bahkan sampai sekarang.
'Gimana caranya aku ngomong ke kamu, Kay?'
Nathan berdiri pelan dari sofa. Ia melangkah ke dapur, menyalakan air untuk membuat teh lagi. Lebih untuk menenangkan pikirannya daripada karena haus. Di tangannya, ponsel itu masih ia genggam, berat seperti batu.
Matanya menerawang keluar jendela. Titik-titik air menempel di kaca, membentuk garis-garis tak beraturan, seperti pikirannya sendiri saat ini.
Ia menunduk, menyandarkan tangan di meja, lalu menghembuskan napas pelan. Hampir tak terdengar. Lalu, bibirnya bergerak. Bukan untuk bicara lantang, tapi lebih mirip gumaman, lembut, nyaris seperti rintihan.
"Kalau suatu hari nanti aku harus pergi untuk sementara, kamu... bakal ngerti, kan?"
Suaranya lemah. Tak ada yang menjawab, dan Nathan pun tak berharap ada jawaban. Ia hanya menunduk dalam diam, matanya menatap kosong permukaan teh yang bergerak karena ia mengaduknya.
Tapi dari arah sofa, suara lembut terdengar.
"Nathan?"
Nathan tersentak. Ia menoleh cepat. Kayla sudah bangun. Rambutnya kusut, wajahnya masih mengantuk, dan sorot matanya sedikit bingung.
Nathan cepat-cepat menguasai ekspresinya. "Eh… udah bangun?"
Kayla mengangguk pelan. "Aku denger kamu ngomong sesuatu tadi... kamu ngomong apa?"
Nathan tertawa kecil, terlalu cepat. "Nggak kok, aku cuma... ngomong sendiri. Mikirin kerjaan yang belum kelar."
Kayla memperhatikan wajah Nathan dengan alis sedikit berkerut. Seperti mencoba mengingat kata-kata yang ia tangkap setengah sadar.
"Tadi kayaknya kamu nyebut... ‘pergi’?"