 
                            Leonardo, seorang pria berusia 30 tahun pengusaha kaya raya dengan aura gelap. Dari luar kehidupan nya tampak sempurna.
Namun siapa yang tahu kalau pernikahannya penuh kehampaan, bahkan Aurelia. Sang istri menyuruhnya untuk menikah lagi, karna Aurelia tidak akan pernah bisa memberi apa yang Leo inginkan dan dia tidak akan pernah bisa membahagiakan suaminya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nura_12, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nyonya Sandra
Mobil mewah berwarna hitam dengan model unik dan bernuansa klasik modern itu berhenti tepat di halaman depan rumah besar milik keluarga Leon. Suara mesin mobil yang halus namun berwibawa membuat seluruh bodyguard yang berjaga otomatis menundukkan kepala penuh hormat.
Seorang wanita paruh baya keluar dari mobil dengan langkah elegan. Gaunnya sederhana namun berkelas, ditambah dengan perhiasan yang tak berlebihan, menambah kesan anggun sekaligus berwibawa. Wanita itu melepas kacamata hitamnya perlahan, matanya tajam seolah mampu menembus setiap sudut rumah itu.
Arsena, kepala pelayan rumah besar itu, segera melangkah cepat menyambut sang tamu istimewa. Dengan sopan ia menunduk dalam.
“Selamat datang, Nyonya,” ucapnya dengan suara rendah penuh hormat.
Wanita itu menatapnya dengan dingin lalu bertanya, suaranya tegas dan berwibawa,
“Di mana Aurelia, Arsen?”
Arsena mengangkat wajahnya perlahan, menahan napas sebelum menjawab.
“Nyonya Aurelia belum kembali dari Bali, Nyonya. Kemungkinan beliau baru pulang besok.”
Wanita paruh baya itu langsung menghela napas panjang, terdengar kasar. Tangannya yang halus memegang tasnya erat, seolah menahan kesal.
“Dasar anak itu… tahunya liburan terus. Tidak pernah bisa benar-benar tinggal diam. Padahal banyak hal penting yang harus ia urus di sini.”
Nada kecewanya begitu jelas. Matanya menyapu ruangan dengan tatapan penuh wibawa, membuat para pelayan yang berdiri di sekitar merasa terintimidasi.
Arsena tetap menunduk hormat, tidak berani menanggapi lebih jauh. Ia tahu, wanita ini bukan sembarangan—dia adalah orang tua dari Aurelia.
Suasana rumah besar itu begitu tenang sore itu. Matahari sudah condong ke barat, cahaya keemasan menembus kaca-kaca besar dan memantul di lantai marmer yang mengilap. Aroma bunga segar dari vas-vas kristal yang tersebar di ruang tamu membuat suasana semakin elegan. Para pelayan berjalan dengan langkah ringan, seolah takut menimbulkan suara yang bisa mengganggu ketenangan rumah megah tersebut.
Di salah satu sudut ruang tamu, seorang wanita paruh baya tampak duduk anggun. Dialah Sandra, ibu kandung dari Aurelia—wanita muda yang selama ini dikenal manja, keras kepala, dan gemar menghabiskan waktunya untuk berlibur. Sandra duduk dengan sikap penuh wibawa, meskipun wajahnya memancarkan sedikit kelelahan. Usianya memang sudah melewati separuh abad, namun aura kecantikannya masih jelas terlihat. Rambut hitamnya yang sudah dihiasi sedikit uban ditata rapi dengan sanggul modern, dipadukan dengan setelan elegan berwarna krem lembut yang semakin menambah pesonanya.
Di meja rendah di hadapannya, segelas jus jeruk dingin tersaji, diletakkan oleh salah satu pelayan beberapa menit lalu. Sandra memegang gelas itu dengan jemari lentiknya, lalu menyesap perlahan. Matanya sesekali melirik layar ponsel mewah yang ada di tangannya. Ada beberapa pesan masuk dari teman-teman arisannya, juga pesan dari seorang kerabat jauh yang mengabarkan acara keluarga minggu depan. Namun pikiran Sandra sebenarnya tidak fokus ke sana.
Sejak tadi, ia masih memikirkan jawaban dari Arsena, kepala pelayan rumah itu.
“*Aurelia belum pulang, kemungkinan besok baru pulang dari Bali*.”
Sandra menghela napas untuk kesekian kali. “Anak itu… selalu saja. Hanya tahu bersenang-senang, tanpa memikirkan hal yang lebih penting,” gumamnya lirih, namun penuh kekesalan.
Sandra memang selalu keras terhadap Aurelia. Bukan karena tidak sayang, tetapi justru karena rasa cinta seorang ibu yang ingin melihat putrinya memiliki masa depan yang lebih terarah. Sandra tahu, pernikahan Aurelia dengan Leo bukanlah pernikahan yang biasa. Ada tanggung jawab besar, ada prinsip yang harus dipatuhi, juga ada harga diri keluarga besar yang dipertaruhkan. Namun sayangnya, Aurelia terlalu dimanja sejak kecil.
Setelah beberapa saat duduk, Sandra bangkit berdiri. Langkahnya mantap, meski pelan. Ia mulai menyusuri ruang-ruang luas di rumah itu, seolah ingin mengenal setiap sudut. Rumah besar itu sebenarnya sudah beberapa kali ia kunjungi, tetapi selalu saja membuatnya kagum. Interior megah, desain klasik bercampur modern, dan tata ruang yang begitu detail menunjukkan selera tinggi sang pemilik—Leo.
Tangannya sesekali menyentuh bingkai foto yang terpajang di dinding lorong lantai dua. Foto-foto itu memperlihatkan berbagai pencapaian Leo: potret saat menerima penghargaan bisnis, dokumentasi bersama tokoh-tokoh besar, hingga lukisan potret wajahnya yang terpajang megah. Sandra terdiam sejenak, menatap salah satu foto besar itu. “Menantu yang penuh wibawa dan berprinsip…” gumamnya dalam hati. Ada rasa hormat sekaligus kagum terhadap Leo.
Ketika hendak melangkah ke arah tangga menuju lantai tiga, tiba-tiba suara berat yang penuh wibawa terdengar.
“Mohon maaf, Nyonya Sandra,” ucap Arsena, kepala pelayan, yang sejak tadi memperhatikan gerak-geriknya.
Sandra menoleh, menatap lelaki setengah baya itu. “Ada apa, Arsena?” tanyanya tenang.
Arsena menunduk sedikit, sikapnya penuh hormat. “Tuan berpesan dengan sangat tegas, tidak ada seorang pun yang diperkenankan naik ke lantai tiga. Itu adalah area pribadi Tuan. Bahkan para pelayan sekalipun tidak ada yang diperbolehkan ke sana tanpa izin langsung.”
Sandra terdiam sesaat. Pandangannya sempat melirik ke arah tangga megah itu, lalu kembali menatap Arsena. Ada sedikit rasa penasaran, karena sejak dulu ia memang heran mengapa Leo sangat menjaga lantai tiga rumahnya. Namun, Sandra bukan tipe wanita yang lancang. Ia paham benar arti sebuah prinsip.
“Aku mengerti,” ucap Sandra akhirnya, sambil mengangguk pelan. “Aku tidak akan melanggar aturan rumah ini. Aku tidak suka mencampuri sesuatu yang sudah jelas bukan bagianku.”
Arsena tersenyum sopan. “Terima kasih, Nyonya. Tuan pasti akan menghargai sikap Nyonya.”
Sandra menarik napas panjang, lalu kembali berjalan menuruni tangga. Ia kembali ke ruang tamu, mengambil ponselnya, dan duduk sejenak. Jemarinya sibuk membuka beberapa pesan lagi, tetapi pikirannya tetap penuh.
Tak lama, Sandra kembali bertanya. Suaranya terdengar tegas, meskipun tetap dijaga agar tidak mengintimidasi.
“Arsena, di mana Leo sekarang?”
Arsena yang berdiri tidak jauh darinya segera menjawab. “Tuan sedang berada di Singapura, Nyonya. Ada urusan bisnis mendesak yang harus diselesaikan. Kemungkinan, beliau akan pulang dua atau tiga hari lagi.”
Sandra mengangguk kecil, ekspresinya tidak berubah banyak. “Leo memang selalu sibuk dengan bisnisnya. Aku hanya berharap, di balik semua kesibukan itu, ia tetap bisa memperhatikan keluarganya.”
Kepala pelayan itu tidak berani menanggapi lebih jauh. Ia hanya menunduk hormat. Namun dalam hatinya, Arsena tahu betul, Leo adalah sosok yang sangat menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan rumah tangganya. Hanya saja, tidak semua orang bisa memahami caranya.
Sandra menyesap jusnya sekali lagi, lalu perlahan bangkit berdiri. Ia merapikan tasnya, lalu berjalan menuju pintu utama. Beberapa bodyguard yang sejak tadi berjaga langsung sigap membuka pintu untuknya.
“Aku pamit dulu, Arsena,” ucap Sandra, suaranya terdengar tegas namun tetap anggun. “Jika Aurelia sudah kembali, sampaikan padanya bahwa aku ingin berbicara dengannya. Ada banyak hal yang harus kami bahas, terutama mengenai sikapnya yang akhir-akhir ini membuatku gelisah.”
“Baik, Nyonya. Akan saya sampaikan begitu Nyonya Aurelia tiba,” jawab Arsena penuh hormat.
Sandra menatap rumah besar itu sekali lagi sebelum melangkah keluar. Ada perasaan aneh di hatinya—antara kagum dan khawatir. Ia tahu, menjadi bagian dari keluarga besar ini bukan hal mudah. Apalagi dengan Leo, menantu yang begitu berprinsip, keras, namun sekaligus penuh tanggung jawab.
Mobil pun perlahan meninggalkan pekarangan rumah megah itu. Sore semakin redup, dan rumah besar itu kembali tenggelam dalam ketenangannya. Namun di balik ketenangan itu, tersimpan begitu banyak rahasia yang belum terungkap—rahasia yang bahkan Sandra pun belum mengetahuinya.
 
                    