“Gajimu bulan ini mana, Ran? Orang tua butuh uang.”
“Adik butuh biaya kuliah.”
“Ponakan ulang tahun, jangan lupa kasih hadiah.”
Rani muak.
Suami yang harusnya jadi pelindung, malah menjadikannya mesin ATM keluarga.
Dari pagi hingga malam, ia bekerja keras hanya untuk membiayai hidup orang-orang yang bahkan tidak menghargainya.
Awalnya, Rani bertahan demi cinta. Ia menutup mata, menutup telinga, dan berusaha menjadi istri sempurna.
Namun semua runtuh ketika ia mengetahui satu hal yang paling menyakitkan: suaminya berselingkuh di belakangnya.
Kini, Rani harus memilih.
Tetap terjebak dalam pernikahan tanpa harga diri, atau berdiri melawan demi kebahagiaannya sendiri.
Karena cinta tanpa kesetiaan… hanya akan menjadi penjara yang membunuh perlahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shaa_27, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
rencana jahat Bu Marni dan Andi
Waktu menunjukkan pukul sembilan malam, langit gelap sempurna dan hanya suara jangkrik menemani langkah Rani yang baru saja tiba di depan rumah. Ia menghela napas panjang—lelah setelah seharian bekerja. Namun belum juga sempat melepaskan sepatu, suara kasar langsung menyambutnya.
“Dasar perempuan nggak tahu diri! Pulang malam terus, kayak nggak punya malu!” bentak Bu Marni, nada bicaranya tinggi dan menusuk.
“Pergi kerja aja gayanya kayak orang paling benar di dunia!” timpal Andi, dengan wajah masam dan mata penuh kebencian.
Rani hanya diam. Ia sudah terlalu sering mendengar ocehan itu. Malam ini, ia tak punya tenaga lagi untuk meladeni semua drama mereka. “Aku capek. Aku mau istirahat,” ucapnya pelan, lalu melangkah ke arah kamarnya.
Namun baru saja ia membuka pintu kamar… tubuhnya membeku.
Di dalam kamar yang gelap temaram, seorang pria berperut buncit sedang duduk santai di kursinya — Pak Surya. Tatapan matanya buas, senyum miring tersungging di wajahnya.
“Pak… Surya?” suara Rani tercekat. “Apa yang Bapak lakukan di sini?”
Pak Surya berdiri perlahan, mendekati Rani. Aroma parfum mahal bercampur bau alkohol menusuk hidungnya. “Tenang, Rani… Bapak cuma mau bersenang-senang sedikit malam ini.”
“APA?!” Rani mundur beberapa langkah. “Keluar dari kamar saya!”
Pak Surya justru terkekeh rendah. “Kamu nggak punya pilihan, Sayang. Semua sudah diatur. Ibumu dan suamimu itu… sudah sepakat. Kalau malam ini kamu nurut sama Bapak, mereka akan dapat rumah mewah dan uang lima ratus juta.”
Wajah Rani seketika pucat pasi.
“APA?!” teriaknya nyaris histeris.
Pak Surya mengangkat alis puas. “Mereka sangat mudah diajak kerja sama. Bapak cuma kasih penawaran… dan mereka langsung setuju.”
Rani berlari ke arah pintu, mencoba kabur—namun gagang pintu tak bisa digerakkan. Terkunci. Dari luar. Panik mulai memenuhi dadanya.
Pak Surya semakin mendekat. “Nggak usah teriak. Percuma. Mereka semua udah tahu,” ucapnya dengan tawa merendahkan.
“Jangan dekati aku!” seru Rani dengan napas tersengal. “Kalau kamu berani, aku laporin polisi!”
“Laporlah…” sahutnya dingin. “Tapi malam ini, kamu tetap jadi milik Bapak.”
Pak Surya melangkah cepat, mencoba meraih lengan Rani. Ia meronta, menepis sekuat tenaga, air matanya mulai jatuh. Dalam kepanikan, ia mencoba bernegosiasi. “Tolong… aku kasih apa pun, asal jangan sentuh aku…”
Namun pria itu hanya terkekeh kasar. “Yang Bapak mau cuma kamu, Rani.”
Rani menjerit sekeras-kerasnya. “TOLONG! TOLONG!!”
Teriakan itu menggema sampai keluar rumah, membuat beberapa warga sekitar mendekat. Namun ketika mereka bertanya, Andi dan Bu Marni berdiri di depan kamar, menghadang, berusaha menutupi kebenaran.
“Ah, itu anak cuma lihat ular di kamarnya!” kata Bu Marni tergesa. “Nggak ada apa-apa!”
“Bener, nggak ada orang lain di dalam!” sambung Andi, meski peluh dingin tampak di dahinya.
Tapi Rani tak menyerah. Dari balik pintu, suaranya terdengar parau tapi kuat.
“ADA ORANG DI DALAM!! PAK SURYA ADA DI SINI!! TOLONG AKU!!!”
Teriakan itu membuat warga saling berpandangan curiga. Mereka mulai mendesak masuk, mengabaikan Bu Marni dan Andi yang mencoba menghalangi.
Tiba-tiba, terdengar suara “BLAKK!” keras dari dalam kamar.
Pak Surya, panik karena Rani terus berteriak, memukul keras kepala Rani hingga gadis itu terjatuh dan tak sadarkan diri.
Warga yang mendengar benturan itu tak bisa lagi ditahan—pintu kamar didobrak dengan paksa. “BUKAA!!!” teriak salah satu warga laki-laki.
Begitu pintu terbuka, pemandangan mengerikan menyambut mereka: Rani tergeletak di lantai dengan darah tipis di pelipis, wajah pucat. Pak Surya masih berdiri di samping tempat tidur, bajunya kusut, wajahnya panik.
“YA ALLAH!” jerit salah satu ibu-ibu. “Itu Pak Surya?!”
“Dia ngapain di kamar Rani?!” sahut yang lain, nada suara penuh kemarahan.
Wajah para warga langsung berubah merah padam. Murka. Mereka tak butuh penjelasan lebih jauh.
“Bangs*t! Berani-beraninya lo ngelakuin ini!” salah satu warga pria langsung menarik kerah baju Pak Surya.
“Lepasin gue!” teriak Pak Surya panik, tapi tak ada yang peduli. Beberapa warga perempuan bergegas mengangkat tubuh Rani yang pingsan.
Sementara itu, Bu Marni dan Andi hanya berdiri pucat pasi, tubuh mereka kaku seperti patung. Mereka tak menyangka rencana kotor mereka terbongkar secepat itu.
“Pak RT harus tahu ini!” seru salah satu warga.
“Lapor polisi sekarang!” sahut yang lain.
Suasana malam itu mendidih. Jeritan, kemarahan, dan suara langkah tergesa memenuhi rumah kecil itu.
Dan di tengah semua kekacauan itu, satu hal pasti—kejahatan keluarga Andi dan Pak Surya akhirnya terbongkar di depan mata warga.
bukan ada apanya🤲🤲🤲
apa dibilang temanmu n tetanggamu itu betul sekali sayangila dirimu sendiri
kamu itu kerja banting tulang kok gak perna dihargai sih
mendingan pisa ajah toh blm punya anak
Nasibmu bakal tragis marni andi ma melati