Adaptasi dari kisah nyata sorang wanita yang begitu mencintai pasangannya. Menutupi segala keburukan pasangan dengan kebohongan. Dan tidak mau mendengar nasehat untuk kebaikan dirinya. Hingga cinta itu membuatnya buta. Menjerumuskan diri dan ketiga anak-anaknya dalam kehidupan yang menyengsarakan mereka.
Bersumber, dari salah satu sahabat yang memberi ijin dan menceritakan masalah kehidupannya sehingga novel ini tercipta untuk pembelajaran hidup bagi kaum wanita.
Simak kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaQuin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20. Barang Hantaran
Bab 20. Barang Hantaran
POV Lola
2 minggu kemudian.
Lima juta uang buat acara nikah nanti itu sebenarnya nggak cukup untuk menutupi semua yang aku perlukan. Untungnya rumah ini bisa di gadaikan sertifikatnya, sehingga aku bisa menutupi kekurangannya.
Hari ini aku berbelanja dengan Jemin. Membeli apa saja barang yang aku butuhkan untuk di jadikan barang hantaran nanti. Juga mencoba gaun pengantin. Dan memesan dekor untuk acara nanti.
Senang rasanya dapat berbelanja. Yang tadinya hanya angan-angan semata.
Keluarga ku sudah pulang ke kampung. Satu minggu sebelum acara mereka akan datang lagi. Jadi untuk beberapa minggu ini, Jemin bebas kembali untuk tinggal di rumahku.
"Triiing... triiing!"
Handphone ku berdering. Airin menelpon diri ku. Hmm, ada apa ya?
"Halo Rin?"
"Assalamu'alaikum, La."
"Wa'alaikumsalam. Ada apa Rin?"
"Katanya kemarin kamu pengen rendang jengkol. Ini Umi ada masak. Ayo kesini."
Ah, iya. Waktu itu aku pernah bilang pengen jengkol. Mungkin bawaan bayi jadi pengen rendang jengkol. Kebetulan juga aku lapar habis berkeliling belanja. Sekalian saja aku singgah sekarang.
"Iya aku kesana. Mumpung juga lagi di luar."
"Ya udah. Di tunggu ya."
"Iya."
Panggilan pun berakhir.
"Ke rumah Airin dulu ya Yang, baru pulang."
"Ck! Malas aku."
"Jangan gitu lah, bayimu dari ke kemarin pengen rendang jengkol. Kebetulan hari ini Umi masak itu. Kesana yuk?!"
"Ck! Takhayul."
Meski terlihat malas, untungnya Jemin mau mengikuti keinginan ku. Dan kami pun pergi menuju rumah Airin, sepupuku.
Tiba disana aku pun menurunkan belanjaan ku dari motor ke teras rumah Airin. Repot juga kalau sampai hilang jika di tinggal gantung di atas motor. Maklum saja, disini rawan juga terhadap pencuri.
"Assalamu'alaikum." Salam ku dan melihat Airin mendekat pada pintu.
"Wa'alaikumsalam. Loh, kamu belanja? Banyaknya!"
"Iya dikit-dikit."
"Masuk La." Ujar Airin sembari melangkah ke dalam.
"Yang?"
"Kamu aja. Aku nggak."
Jemin memilih menunggu di luar. Aku pun melangkah masuk ke dalam mengikuti Airin menuju dapur.
Di dapur nggak ada siapa-siapa. Ragil dan Selvia ada di ruang tengah bersantai sambil main depan televisi. Dan aku pun duduk di meja makan setelah mengambil piring.
"Katamu Jemin nggak kerja lagi. Kok bisa belanja?"
Duh, jawab apa ya? Aku lupa pernah bilang ke Airin soal Jemin yang nggak kerja hotel lagi.
Awalnya, aku hanya bertanya padanya tentang lowongan kerja, supaya Jemin tergerak untuk bekerja dulu sembari menunggu keputusan final kami yang ingin berjualan. Tapi akhir membuatku bercerita kalau Jemin nggak kerja lagi.
Saat ini kami masih ragu untuk berjualan. Dan masih memikirkan hendak jualan apa yang mudah dan kira-kira diminati banyak orang. Alhasil, uangnya pun ku belanjakan sedikit untuk keperluan ku.
"Pakai uang gaji ku Rin."
Terpaksa aku berbohong. Kalau sampai Airin tahu uang belanja dari hasil gadai sertifikat rumah ku, bisa ngamuk setahun dia.
"Kok pakai gajimu?"
Nah kan, salah lagi.
"Dimana-mana kalau barang hantaran itu, laki-laki yang belanjain La."
"Kalau kaya, iya. Kalau seperti Jemin ya nggak mesti harus dia kan. Kalau akunya ada ya nggak apa-apa aku yang beli. Toh buat aku juga." Jawabku membela diri.
"Kamu terlalu menyepelekan prinsip La. Kalau apa-apa kamu permudah, Jemin semakin nggak mau berusaha."
Ish Airin ini! Biarin napa?! Toh aku yang jalani. Aku yang lebih tahu soal Jemin. Cerewet banget sepupu ku ini!
"Mesti lihat keadaan juga kali Rin. Kalau dia nggak mampu, gimana mau maksain dia buat belanja."
"Kalau begitu nggak usah belanja. Seenggaknya kalian patungan buat belanja. Bukan dari kamu semua yang keluar uang belanja. Jadi wanita itu, harus ada harga dirinya sedikit La, biar nggak mudah di permainankan."
Apa sih?! Nggak mungkin lah Jemin begitu. Justru kalau kita selalu baik, dia pasti akan ketergantungan dengan kita. Dan akan sulit bagi dia kalau mau macam-macam apalagi ninggalin. Toh nanti belum tentu dapat wanita yang lebih baik dari aku. Dan belum tentu si wanita itu mau berkorban banyak seperti aku. Itu prinsip ku.
Labih baik masuk kanan keluar kiri saja. Nasehat Airin, nggak cocok buat aku. Diamin aja lah. Nanti juga berhenti sendiri.
Aku menikmati makan rendang jengkol sembari mendengarkan Airin.
"Kalau nanti sudah menikah dan punya anak, pasti akan banyak keperluan dari pada saat masih sendiri. Harus pandai-pandai ngatur keuangan loh La, jangan sering jajan di luar. Masak di rumah lebih irit. Dan kalau bisa Jemin kerja. Terus gajinya jangan semua dia yang pegang. Kalian diskusi soal gaji kalian. Atur pengeluaran bersama dan nabung kalau bisa. Nanti anak mau sekolah lebih besar lagi biayanya. Oh ya, kalau udah lahiran nanti, cepat pasang IUD. Jangan nambah anak dulu. Kalau bisa kamu tetap kerja aja, biar ada penghasilan tambahan. Soal ngasuh, kamu bisa percayakan sama aku. Gaji pengasuh 400 sampai 600 boleh juga. Hehehe...
Gila apa?! Mana mampu aku gaji pengasuh. Masa sama sepupu sendiri perhitungan sih?! Mending uangnya aku belikan barang yang aku butuhkan.
"Nggak nambah lagi La? Itu jengkolnya masih banyak." Tanya Airin. Mungkin karena melihat aku menutup sendok makan ku.
Barulah aku selesai makan, Airin pun selesai menceramahiku. Nggak bisa lama-lama disini. Ocehan Airin membuatku pusing. Jemin juga pasti sudah menunggu lama.
"Kenyang. Aku nggak bisa lama-lama ya."
"Langsung pulang? Apa belanja lagi?"
"Pulang lah... udah remuk rasanya badan ku."
"Iya deh. Hati-hati. Lebih baik jangan terlalu banyak belanja La. Secukupnya aja. Mending duitnya buat persiapan kamu lahiran nanti. Pasti juga pake' banyak biaya."
"Iya tahu."
Ah, bener juga. Lahiran pasti butuh biaya. Tapi nggak apa lah, uang rumah kan ada, masih banyak. Ngapain aku pusing mikirinnya.
"Yuk, Yang." Ajakku pada Jemin yang menunggu di teras.
Kasihan dia, pasti dia juga lapar. Nggak apa, setelah ini biar dia pilih saja makan dimana. Kan ada uang rumah.
"Sudah?"
"Iya sudah. Airin aku pulang ya? Mi, Lola pulang."
Pamit ku kepada Airin yang mengantar sampai depan pintu, juga melihat Umi yang sudah ikut mengantar juga.
"Iya, hati-hati."
Aku dan Jemin pun pulang setelah bersalaman dengan mereka.
"Yang, mau makan apa?"
"Tahu juga kamu aku lapar?!"
"Iya maaf. Aku kan ngidam Yang tadinya pengen makan sama kamu juga. Jadi mau makan dimana?"
"Ayam pedes yang jalan Xxx."
"Ya sudah, kita kesana."
Apalah arti uang 100 ribu. Yang penting Jemin nggak marah padaku. Selama masih ada uang rumah, masih aman.
Tapi sepertinya, Jemin memang harus bekerja setelah menikah nanti. Karena kami kan harus bayar cicilan gadai sertifikat rumah. Nggak mungkin aku yang kerja, lagi hamil ini.
Bersambung...
Jangan lupa dukung Author dengan like dan komen ya, terima kasih 🙏😊
mayan buat iklan biar gk sepaneng kebawa pikiran yg lg ruwet🤭🤣