📌 Pembuka (Disclaimer)
Cerita ini adalah karya fiksi murni. Semua tokoh, organisasi, maupun kejadian tidak berhubungan dengan dunia nyata. Perselingkuhan, konflik pribadi, dan aksi kriminal yang muncul hanya bagian dari alur cerita, bukan cerminan institusi mana pun. Gaya penulisan mengikuti tradisi novel Amerika Utara yang penuh drama dan konflik berlapis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ardin Ardianto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TANGGUNG JAWAB YANG DI PAKSAKAN
Marcno melangkah masuk ke ruangan dengan langkah tegap, sepatu boots militernya berderit pelan di lantai keramik yang mengkilap di bawah cahaya lampu neon putih yang menyinari ruang kerja instruktur. Udara di ruangan itu masih terasa tegang, aroma kopi instan yang mulai dingin menguar dari cangkir di meja Elesa, bercampur dengan bau kertas laporan yang baru dicetak dari printer di sudut. Sinar matahari pagi yang menyusup melalui jendela kaca buram memantul di dinding hijau militer, menciptakan bayangan panjang dari rak besi penuh map dan dokumen. Marcno, dengan seragam lorengnya yang rapi dan lencana pangkat di bahu, memegang map tebal di tangan kanan, ekspresinya netral tapi matanya menyapu ruangan dengan cepat, menangkap ketegangan antara Rom dan Elesa yang pura-pura sibuk dengan layar komputer masing-masing. “Selamat pagi lagi, Instruktor Elesa, Rom,” katanya, suaranya dalam dan berwibawa, tangannya meletakkan map di meja dengan gerakan mantap. “Rapat kecil ini bisa ditunda sebentar. Rom, kamu dipanggil ke lantai dua, ruang tamu Militaryum. Ada pihak dari Air-rium yang mau ketemu kamu sekarang juga.”
Rom menoleh cepat, alisnya terangkat karena kaget, tangannya yang tadi memainkan pena di meja langsung berhenti, ekspresinya berubah dari tegang menjadi waspada. Ia melirik Elesa sekilas, tapi gadis itu menghindari tatapannya, matanya tetap tertuju ke layar, bibirnya mengerucut ketat seperti menahan kata-kata. “Air-rium? Kenapa tiba-tiba, Pak?” tanya Rom, suaranya tenang tapi ada nada penasaran, tubuhnya bangkit dari kursi dengan gerakan pelan, tangan kanannya meraih map laporannya sendiri dari meja.
Marcno mengedikkan bahu sedikit, tangannya menyilang di dada, ekspresinya tetap netral tapi ada kerutan kecil di dahinya. “Nggak tahu detailnya, tapi sepertinya soal pinjaman helikopter kemarin. Mereka bilang penting, jadi buruan kesana. Aku tunggu laporannya nanti.” Suaranya tegas, seperti perintah halus, matanya menatap Rom dengan tatapan yang tak bisa dibantah, gesturnya menunjuk ke arah pintu dengan kepala.
Rom mengangguk pelan, tangannya memegang map lebih erat, ekspresinya campur antara penasaran dan khawatir, napasnya dalam untuk menenangkan diri. “Baik, Pak. Aku langsung ke sana.” Ia melangkah keluar ruangan dengan cepat, sepatu bootsnya berderit di koridor, meninggalkan Elesa dan Marcno yang mulai membahas rapat kecil itu. Pikirannya berputar—Air-rium, helikopter, pertanggungjawaban. Apa lagi ini? Langkahnya semakin cepat saat turun tangga ke lantai dua, tangan kirinya menyentuh pegangan tangga besi yang dingin, udara di koridor terasa lebih sejuk karena AC yang baru dinyalakan pagi itu.
Ruang tamu Militaryum di lantai dua terasa lebih formal, dindingnya dilapisi panel kayu cokelat dengan lambang TNI di tengah, karpet merah tipis menutupi lantai, dan sofa kulit hitam mengelilingi meja kopi kaca yang rapi. Aroma teh hangat menguar dari cangkir yang disiapkan staf, bercampur dengan bau cat baru di sudut ruangan, cahaya matahari pagi menyusup melalui tirai putih setengah terbuka, memantul di lantai marmer yang mengkilap. Saat Rom membuka pintu dengan bunyi *klik* pelan, ia disambut tiga orang TNI Angkatan Udara dari Air-rium yang sudah duduk di sofa, seragam biru langit mereka rapi dengan lencana sayap emas di dada. Yang di tengah, seorang Jenderal dengan pangkat tinggi—bintang empat di bahu, rambut pendek beruban, dan ekspresi tegas tapi dingin—berdiri lebih dulu, tangannya terulur untuk bersalaman. Dua lainnya, perwira menengah dengan pangkat kolonel, tetap duduk, mata mereka menyapu Rom dengan tatapan evaluatif.
“Selamat pagi, Letnan Rom,” kata Jenderal itu, suaranya dalam dan berwibawa, tangannya memegang tangan Rom dengan genggaman kuat sebelum dilepas, ekspresinya tak berubah, alisnya sedikit terangkat seperti menilai. “Saya Jenderal Arif dari Air-rium. Ini Kolonel Budi dan Kolonel Santi. Duduklah, kita bicara langsung.” Gesturnya menunjuk sofa di depan mereka dengan tangan kanan, tubuhnya kembali duduk dengan postur tegak, tangan kirinya menyentuh map tebal di meja.
Rom mengangguk hormat, tangannya menyentuh dada untuk salut singkat sebelum duduk, ekspresinya tetap tenang meski hatinya berdegup lebih cepat, tangan kanannya meletakkan map laporannya di meja dengan gerakan pelan. “Pagi, Jenderal. Ada apa ini? Soal pinjaman helikopter?” tanyanya langsung, suaranya stabil, matanya menatap Jenderal Arif dengan tatapan lurus, tubuhnya rileks di sofa tapi bahunya sedikit tegang.
Jenderal Arif mengangguk pelan, tangannya membuka map dengan gerakan mantap, ekspresinya serius, bibirnya mengerucut ketat seperti menahan kata-kata. “Benar. Kami dari Air-rium meminjamkan helikopter ke Militaryum atas permintaan resmi kemarin. Tapi sekarang, kami minta pertanggungjawaban penuh dari Anda, Letnan Rom. Anda yang handle operasi ini, kan?” Suaranya tegas, gesturnya menunjuk Rom dengan jari telunjuk, mata cokelatnya menatap tajam, seperti tak memberi ruang untuk bantah.
Rom mengangguk lagi, tangannya terlipat di pangkuan, ekspresinya tetap waspada, alisnya berkerut sedikit. “Iya, Jenderal. Saya yang koordinasi. Tapi pertanggungjawaban seperti apa yang dimaksud?”
Kolonel Budi, yang duduk di sebelah kiri, condong ke depan, tangannya menyentuh meja dengan jari-jari yang mengetuk pelan, ekspresinya netral tapi matanya menyipit. “Kami ingin Anda ambil kendali penuh atas helikopter itu. Penugasan pilot, penugasan misi helikopter—semua di tangan Anda. Tidak ada campur tangan lain dari Militaryum tanpa laporan ke kami.”
Jenderal Arif melanjutkan, tangannya menunjuk dokumen di map, suaranya naik sedikit untuk menekankan, gesturnya tegas seperti perintah. “Helikopter yang resmi kami pinjamkan: dua helikopter tempur tanpa rudal, dan satu Apache. Sampai peluncuran peluru rudal dari Apache itu, harus Anda yang handle langsung. Tidak boleh sembarangan. Setelah penggunaan, Anda wajib lapor ke Air-rium—misalnya, kalau rudal diluncurkan, detailnya harus dilaporkan. Begitu juga hal penting lain, seperti kerusakan atau insiden.”
Rom mendengarkan dengan ekspresi semakin tegang, tangannya mengepal di pangkuan, matanya menyipit karena memproses kata-kata itu, napasnya dalam untuk menahan reaksi. “Jenderal, maaf... tapi saya cuma tentara biasa di lapangan. Kalau Air-rium ingin saya handle semua itu—kendali penuh, pilot, misi, sampai rudal—setidaknya posisi saya diganti dulu. Saya bukan perwira tinggi. Dan gaji juga harus naik dari atasan, kalau tanggung jawabnya sebesar ini.” Suaranya tegas tapi hormat, gesturnya menunjuk dirinya sendiri dengan tangan kanan, ekspresinya penuh keyakinan, alisnya berkerut dalam seperti tak mau mundur.
Jenderal Arif tersenyum tipis, tapi bukan senyum ramah—lebih seperti tantangan, tangannya menyilangkan di dada, tubuhnya condong ke belakang di sofa. “Letnan, ini bukan nego. Kami percaya Anda karena rekam jejak operasi kemarin. Tanggung jawab ini harus diambil sekarang. Kalau tidak, pinjaman helikopter bisa kami tarik.”
Kolonel Santi angkat bicara, tangannya memegang cangkir teh dengan gerakan pelan, ekspresinya lebih lembut tapi suaranya tegas. “Kami paham posisi Anda, tapi ini urgensi nasional. Laporan rudal dan misi harus langsung dari Anda ke kami. Tidak ada ruang untuk kesalahan.”
Rom menggelengkan kepala pelan, tangannya terangkat seperti menolak, ekspresinya tetap tegas, bibirnya mengerucut ketat. “Saya hormati, Jenderal. Tapi saya nggak setuju kalau tanpa penyesuaian. Saya tentara lapangan, bukan komandan divisi. Kalau tanggung jawab sebesar ini—handle Apache, rudal, pilot—minimal posisi naik ke kapten atau lebih, dan gaji disesuaikan. Kalau tidak, saya nggak bisa ambil resiko sendirian.”
Perdebatan berlanjut beberapa menit, suara mereka naik-turun di ruangan yang mulai terasa panas, tangan Jenderal Arif menepuk meja pelan untuk menekankan poin, sementara Rom tetap bertahan dengan gestur defensif, tangannya menyilangkan di dada. Kolonel Budi dan Santi ikut angkat bicara, menjelaskan detail teknis helikopter—dua tempur tanpa rudal untuk misi pengintaian, Apache untuk dukungan tempur—tapi Rom tak bergeming, ekspresinya penuh keteguhan, matanya menatap Jenderal tanpa gentar.
Akhirnya, Jenderal Arif menghela napas panjang, tangannya menutup map dengan gerakan tegas, ekspresinya campur antara kesal dan mengalah. “Baiklah, Letnan. Kami paham. Kami akan hubungi Komandan Marcno soal posisi dan gaji Anda. Tapi ingat, pinjaman helikopter tetap berjalan, dan laporan harus tepat waktu.” Ia berdiri, diikuti dua kolonel, tangannya terulur untuk bersalaman lagi, suaranya dingin tapi profesional.
Rom berdiri juga, menyalami mereka dengan genggaman kuat, ekspresinya lega tapi masih tegang, napasnya panjang saat mereka keluar ruangan. Pintu tertutup dengan bunyi pelan, meninggalkan Rom sendirian di ruang tamu, tangannya mengusap dagu, pikirannya berputar tanpa kejelasan—apa yang akan terjadi selanjutnya?