NovelToon NovelToon
Incase You Didn'T Know

Incase You Didn'T Know

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / Pernikahan Kilat / Nikahmuda / Dijodohkan Orang Tua / Nikah Kontrak / Cintapertama
Popularitas:796
Nilai: 5
Nama Author: Faza Hira

Demi meraih mimpinya menjadi arsitek, Bunga, 18 tahun, terpaksa menyetujui pernikahan kontrak dengan pria yang ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Mereka setuju untuk hidup sebagai "teman serumah" selama empat tahun, namun perjanjian logis mereka mulai goyah saat kebiasaan dan perhatian tulus menumbuhkan cinta yang tak pernah mereka rencanakan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faza Hira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21

Bunga menutupi wajahnya dengan selimut. Arga tidak hanya seorang arsitek. Dia adalah seorang sutradara. Dan Bunga adalah aktris utamanya dalam sandiwara besar ini. Dan yang paling menakutkan adalah... Bunga tidak tahu di mana batas antara akting dan kenyataan akan dimulai.

Dua minggu terasa seperti dua jam. Hitungan mundur itu mendominasi setiap aspek kehidupan mereka. Apartemen lantai 21 itu kini bukan lagi sekadar co-living space yang damai; ia telah berubah menjadi panggung teater yang sedang disiapkan untuk pertunjukan besar.

Pagi pertama setelah Bunga resmi "pindah kamar" adalah pagi yang paling canggung dalam hidupnya.

Ia terbangun oleh alarm Arga. Ia membuka matanya dan hal pertama yang ia lihat adalah punggung Arga yang tegap. Laki-laki itu sudah duduk di tepi ranjang, membelakanginya, sedang memandangi ponselnya. 'Benteng Guling' itu masih kokoh di antara mereka.

"Pagi, Mas," sapa Bunga dengan suara serak.

Arga sedikit terlonjak. Jelas ia tidak menyangka Bunga akan menyapanya. "Pagi," balasnya kaku. "Mas mau lari."

Ia segera bangkit, mengambil pakaian olahraganya, dan menghilang ke kamar mandi.

Saat Bunga duduk, ia bisa mencium aroma Arga yang tertinggal di bantal di sebelahnya. Aroma kopi dan sabun musk. Ia menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir pikiran aneh itu.

Puncak kecanggungan terjadi lima belas menit kemudian. Bunga sedang menyikat giginya di wastafel kamar mandi, saat Arga masuk. Laki-laki itu, yang baru kembali dari gym dan masih berpeluh, berjalan ke wastafel di sebelahnya—kamar mandi Arga memiliki dua wastafel—dan mulai mencuci mukanya.

Mereka berdiri berdampingan di depan cermin besar. Bunga dengan busa pasta gigi stroberinya, Arga dengan busa sabun cuci muka mint-nya.

Bunga melirik ke cermin. Pantulan mereka terlihat... seperti pasangan suami-istri sungguhan. Pemandangan itu begitu domestik, begitu normal, hingga terasa sangat salah.

"M... Maaf, Mas," kata Bunga di sela-sela kumurnya, "Sabun Bunga baunya stroberi banget, ya? Jadi menuhin kamar mandi."

Arga mengeringkan wajahnya dengan handuk. Ia menatap Bunga lewat cermin. "Nggak apa-apa," katanya. "Lebih baik daripada bau Parthenon."

"Mas Arga!"

Arga tersenyum tipis. "Cepat. Kamu menghalangi rak handuk."

Rutinitas baru mereka terbentuk. Bangun di kamar yang sama. Berbagi kamar mandi. 'Jam Bimbingan' di malam hari. Dan 'Benteng KRL' di pagi hari, yang kini terasa semakin intim karena Bunga tahu ia akan kembali tidur di kamar yang sama dengan laki-laki itu.

Tepat satu minggu sebelum kedatangan Ibu dan Ayah Arga, Arga memulai "fase latihan" mereka.

Malam itu, 'Jam Bimbingan' mereka baru saja selesai. Bunga sedang membereskan buku-bukunya, sementara Arga menutup laptopnya.

"Bunga," panggil Arga. Nadanya serius.

"Ya, Mas?"

"Kita punya masalah."

Bunga langsung tegang. "Masalah apa lagi? Kak Reza?"

"Bukan dia," kata Arga, mengabaikan nama itu. "Masalah kita. Kita... terlalu kaku."

Bunga mengernyit. "Kaku?"

"Iya. Kita duduk di meja ini jaraknya dua meter. Kita jalan di lorong apartemen selalu jaga jarak. Kita nggak pernah... bersentuhan."

Wajah Bunga memanas. "Ya... kan, perjanjiannya..."

"Perjanjian kita nggak berlaku di depan orang tua Mas," potong Arga. "Ibuku itu orang Jawa tulen. Beliau sangat jeli. Beliau bisa tahu kita bohong hanya dari cara kamu menyodorkan cangkir teh ke Mas. Kalau kita kaku begini, kita akan ketahuan dalam lima menit pertama."

Bunga terdiam. Arga ada benarnya.

"Jadi...?"

"Jadi," kata Arga, "kita harus latihan. Biar terbiasa. Biar terlihat natural."

"Latihan... apa?" tanya Bunga ngeri.

"Latihan bersentuhan," kata Arga datar, seolah sedang bicara soal struktur bangunan.

Sebelum Bunga sempat memprotes, Arga berkata, "Ayo, ke ruang tamu. Berita malam sudah mulai."

Ini adalah ritual mereka yang lain. Kadang, setelah 'Jam Bimbingan', mereka akan menonton TV sebentar sebelum tidur. Arga akan menonton berita bisnis, Bunga akan pura-pura tertarik sambil memainkan ponselnya.

Mereka duduk di sofa. Seperti biasa, Bunga di ujung kiri, Arga di ujung kanan. Jarak mereka satu meter penuh.

Arga menatap Bunga. "Ini. Ini masalahnya," katanya, menunjuk jarak di antara mereka. "Nggak ada pengantin baru yang duduknya kayak mau musuhan."

Arga menghela napas, seolah sedang mengumpulkan keberanian. "Geser."

"Eh?"

"Geser. Sini," Arga menepuk-nepuk bantal sofa di sebelahnya.

Dengan ragu, Bunga menggeser duduknya hingga hanya berjarak sekitar tiga puluh senti dari Arga. Ia bisa merasakan panas tubuh laki-laki itu.

"Oke. Ini langkah pertama," kata Arga. Suaranya terdengar normal, tapi Bunga bisa melihat otot rahangnya sedikit menegang.

Mereka menonton berita tentang jatuhnya pasar saham. Bunga sama sekali tidak mengerti. Jantungnya berdebar kencang. Ia terlalu fokus pada jarak di antara mereka.

"Langkah kedua," kata Arga pelan.

Bunga menoleh. Dan pada saat itu, Arga mengulurkan tangannya dan... menggenggam tangan Bunga yang tergeletak di atas sofa.

Bunga membeku.

Napasnya tertahan di tenggorokan. Tangan Arga besar, hangat, dan sedikit kasar di beberapa bagian—bekas memegang pensil dan mouse seharian. Genggamannya mantap. Jari-jarinya yang panjang melingkupi tangan mungil Bunga dengan sempurna.

Ini bukan genggaman seorang kakak.

"Nanti," kata Arga, matanya lurus menatap layar TV, tapi Bunga tahu ia tidak sedang menonton. "Kalau kita lagi ngobrol sama Ibu... Mas akan melakukan ini. Dan kamu... kamu nggak boleh kaget. Kamu nggak boleh tarik tanganmu. Kamu harus terlihat... biasa saja. Seakan ini hal yang wajar."

"I... iya, Mas," cicit Bunga.

Arga tidak melepaskan genggamannya.

Mereka duduk di sana selama lima menit penuh. Menonton berita. Berpegangan tangan. Itu adalah lima menit paling menegangkan, paling canggung, sekaligus paling... hangat yang pernah Bunga rasakan.

Ia bisa merasakan ibu jari Arga bergerak pelan, mengusap punggung tangannya. Sekali. Mungkin refleks. Mungkin tidak.

"Oke," kata Arga tiba-tiba, suaranya sedikit serak. Ia melepaskan tangan Bunga. "Latihan selesai untuk malam ini."

Ia langsung bangkit berdiri. "Mas mau ambil minum."

Ia berjalan ke dapur, punggungnya terlihat kaku. Bunga menatap telapak tangannya sendiri yang masih terasa hangat. Ia tidak tahu apa yang harus ia rasakan.

Kabar buruknya: latihan itu tidak berhenti di situ.

Keesokan harinya, Arga sepertinya sudah bertekad untuk menjadi "aktor" terbaik. Ia menerapkan "metode" baru: sentuhan-sentuhan kasual yang tidak terduga, untuk melatih refleks Bunga.

Saat Bunga sedang memasak makan malam di dapur, ia berjinjit untuk mengambil mangkuk di kabinet atas. Tiba-tiba, ia merasakan kehadiran Arga di belakangnya. Laki-laki itu berdiri sangat dekat, tepat di belakang punggung Bunga.

"Biar Mas yang ambil," bisik Arga, suaranya pelan di dekat telinga Bunga.

Lengannya terulur, melewati bahu Bunga, dan dengan mudah mengambil mangkuk itu. Selama sepersekian detik, Bunga terperangkap. Punggungnya menempel di dada bidang Arga. Ia bisa mencium wangi sabun Arga. Ia membeku, pisau di tangannya berhenti di udara.

Arga tidak langsung menjauh. Ia berdiri di sana sepersekian detik lebih lama. "Ini," katanya, menyerahkan mangkuk itu.

Bunga menerimanya dengan tangan gemetar. "Makasih, Mas."

"Hati-hati pisaunya," kata Arga, suaranya kembali normal, lalu ia berjalan pergi seolah tidak terjadi apa-apa.

Bunga harus bersandar di counter dapur. Lututnya lemas. Itu tadi latihan, kan? batinnya. Pasti. Dia cuma mau aku terbiasa dia ada di dekatku.

Tapi hatinya menjeritkan hal yang lain.

Di kampus, dunianya menjadi semakin kontras. Reza, sang Pangeran Kampus, kini terasa seperti figuran.

Ponselnya bergetar saat ia di perpustakaan.

[Kak Reza (BEM)]

Melati, aku udah revisi desainnya sesuai sketsa barumu. Jenius banget. Tapi aku masih bingung soal teknisnya. Bisa ketemu di kafe biasa? 10 menit aja. Aku traktir es kopi.

Bunga membaca pesan itu. Beberapa minggu lalu, pesan ini akan membuatnya melompat kegirangan. Sekarang, pesan ini terasa seperti... gangguan.

Ia teringat "jurus" yang Arga ajarkan.

[Bunga]

Maaf, Kak. Nggak bisa. Wali saya minta saya langsung pulang. Beliau mau 'bimbingan' lagi malam ini. Ketat banget.

[Kak Reza (BEM)]

Wow. Walimu itu beneran kayak dosen killer, ya. 😂 Yaudah, via WA aja. Tapi serius, aku penasaran banget pengen ketemu dia.

Bunga tersenyum miring. Jangan, Kak. Nanti Kakak malah dimarahi.

Ia merasa seperti memiliki rahasia besar yang menyenangkan. Ia dan Arga. Tim konspirator.

[Bunga]

Hehe. Dia emang galak. Nanti saya kirim detailnya via email aja ya, Kak.

Ia menutup obrolan dengan Reza tanpa penyesalan sedikit pun. Pikirannya sudah kembali ke apartemen, ke 'Jam Bimbingan', ke genggaman tangan Arga yang hangat.

Tiga hari sebelum kedatangan orang tua Arga.

Sandiwara mereka sudah berjalan mulus. Kamar Arga sudah benar-benar terlihat seperti kamar pasutri. Novel romantis Bunga ada di nakas Arga. Majalah arsitektur Arga ada di nakas Bunga. Di lemari, baju mereka tergantung bersisian. Di kamar mandi, sikat gigi mereka berdiri berdampingan.

Mereka sudah terbiasa dengan "sentuhan latihan". Arga akan dengan santai menepuk puncak kepala Bunga saat ia berhasil menyelesaikan tugas sulit. Bunga akan dengan berani merapikan kerah kemeja Arga sebelum ia berangkat kerja.

"Miring," katanya, jarinya menyentuh kain kemeja Arga.

"Makasih," balas Arga, matanya tidak berkedip.

Mereka sudah sangat pandai berakting.

Tapi ada satu properti yang masih salah. Satu properti yang mengganggu Arga selama seminggu terakhir.

Malam itu, mereka bersiap tidur. Ini adalah malam H-3.

Bunga sudah naik ke sisi ranjangnya. Arga berdiri di samping ranjang, menatap 'Benteng Guling' yang setia memisahkan mereka.

"Bunga," kata Arga.

"Ya, Mas?" Bunga mendongak dari balik selimutnya.

"Guling ini," kata Arga sambil menunjuknya. "Harus pergi."

Jantung Bunga serasa berhenti. "Pergi... ke mana?"

"Ibuku itu orang yang sangat teliti. Beliau akan masuk ke kamar kita. Entah untuk menyimpan oleh-oleh, atau sekadar merapikan tempat tidur," jelas Arga, nadanya klinis. "Dan kalau beliau melihat ini..."

Arga tidak perlu melanjutkan. Bunga tahu. Guling pemisah di ranjang pengantin baru adalah bendera merah terbesar. Itu adalah pengakuan bersalah.

"Tapi... tapi, Mas..." Bunga panik. Guling itu adalah satu-satunya garis pertahanan fisiknya.

"Kita nggak punya pilihan," kata Arga tegas. Ia mengambil guling itu. Bunga menahan napas, mengira Arga akan melemparnya.

Tapi Arga tidak melemparnya. Ia hanya memindahkannya. Ke sisi paling pinggir tempat tidur, di sisi Bunga.

"Gulingnya tetap di sini," kata Arga. "Tapi posisinya di pinggir. Sebagai 'pembatas' biar kamu nggak jatuh. Wajar, kan?"

Itu... logis. Tapi itu berarti... tidak ada lagi pemisah di antara mereka.

Arga naik ke sisi ranjangnya. Ia berbaring.

Bunga berbaring di sisinya.

Kasur king size itu tiba-tiba terasa sangat kecil. Jarak di antara mereka kini hanyalah hamparan sprei putih yang kosong. Bunga bisa merasakan kehangatan tubuh Arga, meski mereka tidak bersentuhan.

Bunga langsung berbalik, membelakangi Arga. Tubuhnya kaku seperti kayu.

"Mas..." bisiknya ke dinding.

"Ya?" Suara Arga terdengar tepat di belakangnya.

"Kalau... kalau Bunga tidurnya gerak... terus nendang Mas Arga gimana?"

Hening sejenak. Lalu Bunga mendengar Arga tertawa pelan. "Mas pegang kaki kamu nanti biar diam."

"Mas Arga!" Bunga memekik tertahan.

"Tidur, Bunga," kata Arga, suaranya melembut. "Anggap aja ini latihan terakhir."

Bunga mencoba tidur. Tapi ia tidak bisa. Ia terlalu sadar. Ia sadar akan setiap helaan napas Arga di belakangnya. Ia sadar akan kehangatan punggungnya, dan betapa dinginnya sisi depan tubuhnya yang menghadap jendela.

Satu jam berlalu. Ia masih terjaga.

"Mas Arga," bisiknya lagi.

"Hmm?" Arga jelas belum tidur juga.

"Dulu... waktu Mas Arga setuju nikahin Bunga," Bunga bertanya, memberanikan diri, "Mas Arga... beneran cuma karena disuruh Om sama Tante? Sama... karena mau nolong Bunga?"

Keheningan di kamar itu terasa sangat pekat. Bunga menunggu jawaban, jantungnya berdebar.

Lama sekali.

Tepat saat Bunga berpikir Arga tidak akan menjawab, ia merasakan kasur sedikit bergerak.

Ia merasakan kehangatan.

Arga telah bergeser. Tidak banyak. Hanya beberapa senti. Tapi cukup dekat hingga Bunga bisa merasakan hembusan napas hangat Arga di tengkuknya.

"Tidur, Bunga," bisik Arga. Suaranya rendah dan serak. "Jangan tanya pertanyaan yang jawabannya... bisa merusak 'proyek' kita."

Jawaban itu bukanlah jawaban. Tapi itu adalah segalanya.

Bunga memejamkan matanya rapat-rapat. Malam itu, ia tidak tidur. Ia hanya berbaring, mendengarkan detak jantungnya sendiri, sementara di belakangnya, laki-laki yang menjadi suaminya itu juga berbaring telentang, tidak tidur.

Hitungan mundur mereka hampir selesai. Besok lusa... panggung pertunjukan akan dibuka.

Dan 'Benteng Guling' itu kini teronggok di pinggir ranjang, telah kehilangan semua fungsinya.

1
indy
Ceritanya bikin senyum-senyum sendiri. arga latihan sekalian modus ya...
minsook123
Suka banget sama cerita ini, thor!
Edana
Sudah berhari-hari menunggu update, thor. Jangan lama-lama ya!
Ivy
Keren banget sih ceritanya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!