Seharusnya Aluna tahu kalau semesta tak akan sudi membiarkan kebahagiaan singgah bahkan jika kebahagiaan terakhirnya adalah m*ti di bawah derasnya air hujan. la malah diberikan kesempatan untuk hidup kembali sebagai seorang gadis bangsawan yang akan di pe*ggal kep*lanya esok hari.
Sungguh lelucon konyol yang sangat ia benci.
Aluna sudah terbiasa dibenci. Sudah kesehariannya dimaki-maki. la sudah terlanjur m*ti rasa. Tapi, jika dipermainkan seperti ini untuk kesekian kali, memang manusia mana yang akan tahan?!
Lepaskan kemanusiaan dan akal sehat yang tersisa. Ini saatnya kita hancurkan para manusia kurang ajar dan takdir memuakkan yang tertoreh untuknya. Sudikah kamu mengikuti kisahnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sandri Ratuloly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20
Saat Aluna bangun dalam kenyataan, yang muncul di hadapannya ialah makian, tamparan, ujaran kebencian, dan suara benda tajam menggores kulitnya. Kata teman sekelasnya, seorang anak narapidana tidak berhak bahagia. Mungkin, mereka lupa kalau korbannya ialah dirinya. Terlalu banyak orang yang mengatakan dirinya layak di benci. Sudah sewajarnya dimaki-maki. Walau sebenarnya, mereka tidak pernah menjelaskan dengan jelas mengapa itu terjadi. Apa lagi-lagi karna kesalahan ibunya?
Aluna pikir, beginilah kerasnya hidup. Dosa ibunya harus ia tanggung di kedua pundaknya. Asal dia tidak lebih dulu menyerah, itu bukti dirinya tak kalah kuat. Namun, tetap tidak bisa dipungkiri, ia lega saat tiba di akhir hayat.
Tidak perlu lagi mendengar ujaran kebencian. Tidak perlu juga mengalami kekerasan. Tidak perlu pula menahan kesepian. Dia bebas dari belenggu takdir yang mencekiknya dengan kejam.
"Aluna, apa kau sudah tertidur?" Suara Eugene terdengar di telinga. Aluna membuka mata. Anehnya tidak ada berbagai macam makian atau sorot mata penuh kebencian kepadanya, melainkan senyum hangat kepunyaan Si Pirang yang menyambutnya sekarang.
"Aku tidak tidur." Hanya saja sinar mentari terlampau hangat dan menenangkan.
"Dari pada pohon, bahuku lebih nyaman kalau kau ingin tidur," kata Eugene yang memelankan bicaranya di akhir kalimat. Semburat merah tertoreh di pipinya. Eugene sendiri tidak mengerti mengapa ia berkata demikian. Yang pasti dia ingin membuat Aluna lebih nyaman.
"Kalau begitu apa boleh aku tidur di bahumu, Eugene?" cibir Leander. Udaranya terasa lebih menyengat dalam dadanya. Entahlah, dia tidak suka melihat Eugene terang-terangan meminta perhatian dari gadis pirang itu. Padahal, jelas dia tidak merasa cemburu saat gadis itu berusaha keras mendekati Alexander. Sejak kapan semua ini berubah? Leander tidak tahu hal ini.
"Mana mungkin aku sudi." Eugene balik menatap tajam pemuda bersurai putih itu. Menjadi seorang Duke ternyata tidak sesibuk yang ia bayangkan. Buktinya, Duke Lucarion ini betah sekali mengikuti mereka berdua.
Eugene tidak tahu saja, asisten Leander tengah menangis dalam tumpukan kertas pekerjaan. Dia tidak tahu kemana Tuannya menghilang sejak tadi.
"Darimana kau tahu ada tempat seperti ini, Eugene? Disini nyaman sekali." Aluna tersenyum tipis. Ada banyak bunga yang tumbuh di sekitar. Pohon-pohonnya cukup rindang untuk meneduh. Rerumputan di bawahnya terasa lembut.
"Seorang pendeta pernah memberitahuku. Waktu matahari terbenam katanya akan lebih indah lagi. Melihat bintang di malam hari pun begitu." Eugene menghilangkan wajah masamnya ketika kembali menatap Aluna.
"Sebaiknya kita pulang saja sebelum malam." Aluna memajukan tubuhnya dan mendekat ke arah Eugene. "Eugene, sungguh aku boleh meminjam bahumu?"
Eugene tertegun beberapa saat sebelum senyum lebar merekah di bibirnya. "Tentu saja! Kau boleh meminjamnya untuk selama-lamanya kalau kau mau!"
Aluna terkekeh pelan. Satu hari saja. Sungguh, dia tidak berani meminta lebih.
Aluna meletakkan kepalanya di bahu Eugene. Tangan pemuda itu bertengger di pinggang ramping gadis itu. Tidak lupa, dia menatap Leander dengan tatapan penuh kemenangan.
"Cih, aku pernah menggendongnya di kedua tanganku." Cibir Leander pelan sambil membuang wajahnya ke samping.
"Kau pikir aku tidak pernah?" balas Eugene sengit.
"Apa yang kalian bicarakan?" Aluna membiarkan helaian rambutnya menutupi pipinya yang merona. Hangat. Suasana ini sangat asing baginya.
Apa dia masih bermimpi? Kenapa rasanya hangat sekali?
"Ah, apa Saintess kita sekarang malu?" goda Eugene. Leander ikut terkekeh pelan. Jemarinya merapikan helaian rambut Aluna. Menampakkan dengan jelas rona pipinya yang semakin memerah.
Hening singgah di antara mereka. Ketiganya merasa cukup nyaman di posisi ini.
"Aluna, boleh aku mengajukan permintaan?" Pertanyaan Eugene memecah keheningan yang berselang beberapa saat. Aluna hanya mengangguk kecil.
"Kau ingatkan kalau aku sendiri yang mengajukan agar kau menggunakan balas dendam sebagai tujuanmu untuk tetap hidup di dunia? Aku ingin menarik perkataanku saat itu." Aluna mendongakkan kepalanya. Ber-sitatap dengan netra biru milik Eugene.
"Jangan jadikan balas dendam sebagai tujuanmu, Aluna." Eugene menjeda sejenak ucapannya. "Aku tidak ingin kau menghilang setelah semua balas dendammu ini terselesaikan."
Aluna tertegun. Satu detik. Dua detik. Lantas tetesan air mata turun dari pelupuk matanya.
•••
"Kemana saja kau?" Jovan memiliki senyum yang tidak sampai ke matanya saat melihat Leander telah kembali setelah pergi entah kemana.
"Jovan, apa debaran dadamu pernah menjadi lebih kencang saat bertemu dengan seseorang?" Bukannya menjawab, Leander justru mengajukan pertanyaan. la melangkah ke ruang kerja lalu duduk di kursi miliknya. Sayangnya, pikirannya masih terisi dengan senyum seorang gadis berambut pirang yang baru ia temui.
"Tunggu, kenapa tiba-tiba tanya begini?" Jovan membenarkan kacamatanya lalu mengamati pemuda itu dengan seksama. Telinganya menangkap sesuatu yang tak pernah ia duga. Wajar saja keheranan nampak jelas di wajahnya.
"Jawab saja dulu pertanyaanku tadi." Leander menolak untuk menjelaskannya lebih lanjut.
"Kau... sedang jatuh cinta dengan seseorang? Sungguh? Aku kira hal seperti ini tidak akan terjadi dalam hidupmu yang sangat membosankan." Jovan tidak ragu menghujat Leander. Toh, bosnya ini tidak akan marah. Dia pasti sudah terbiasa.
"Jatuh cinta?" Leander menutupi wajahnya yang sontak berubah merah. Ingin menyangkal, tapi kata itu tidak sampai ke mulutnya. Masa iya dia jatuh cinta? Seseorang seperti Emily yang dapat membuat Pangeran Mahkota dan seorang Saint jatuh cinta bahkan tidak pernah menarik perhatiannya.
Leander selalu mencibir keduanya. Sering bertanya-tanya apa yang menarik dari seorang gadis hingga dapat membuat mereka bodoh seketika. Ya, menurut Leander, cinta selalu ia kaitkan sebagai sesuatu yang membawa kebodohan dan kemalangan.
Persis seperti tragedi ibunya.
"Hey, katakan padaku siapa orangnya?!" tanya Jovan sembari menggebrak meja cukup keras. Lihatlah betapa keterlaluan asistennya satu ini.
"Namanya Aluna Capella," bisik Leander lirih.
"Oh, seorang rakyat biasa. Eh tunggu..." Netra Jovan membola. la menunjuk-nunjuk Leander. "Kau menyukai mantan tunangan Putra Mahkota yang hampir dipenggal kepalanya?!"
"Sekarang dia seorang Saintess," bela Leander. Dia juga cukup yakin bukan Aluna pelakunya. Gadis sepintar itu mana mungkin ingin melukai seseorang dengan begitu terang-terangan.
"Ya, aku tahu. Tapi, apa kau tidak takut Alexander bertindak lebih tidak masuk akal ketimbang sebelumnya? Kau tahu sendiri sejak dulu dia sudah membencimu setengah mati."
Leander mengedikkan bahunya acuh. Dia terlalu malas untuk memikirkan Alexander. Lebih khawatir dengan Eugene yang bisa bertemu gadis itu setiap hari.
"Dia hanya sampah yang menjadi mainan seorang gadis. Keluarga kerajaan dapat di pastikan akan hancur jika dia belum berubah setelah penobatan."
"Yah, itu tidak salah sih. Tapi, orang itu mudah sekali tersinggung dan tetap saja dia seorang Putra Mahkota. Kau tidak bisa memprovokasinya begitu saja."
"Abaikan Alexander untuk saat ini. Bersiaplah menyerang posisi Duke Blance sebentar lagi. Orang-orang kita sudah cukup kuat di pengadilan kan?"
"Tentu saja, aku akan menghubungi mereka." Jovan berbalik hendak pergi. Namun ketika sampai di pintu, langkahnya terhenti. la menoleh ke Leander. "Kau ingin menyerang posisi Ayah dari gadis yang kau sukai?" Jovan sungguh tidak habis pikir.