NovelToon NovelToon
Cinta Suci Aerra

Cinta Suci Aerra

Status: sedang berlangsung
Genre:Percintaan Konglomerat / Crazy Rich/Konglomerat / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: manda80

Aerra adalah seorang wanita yang tulus terhadap pasangannya. Namun, sayang sekali pacarnya terlambat untuk melamarnya sehingga dirinya di jodohkan oleh pria yang lebih kaya oleh ibunya. Tapi, apakah Aerra merasakan kebahagiaan di dalam pernikahan itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon manda80, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Aku Harus Lari Kemana?

Nama Vika, ibu Windu, yang tertera di layar ponsel Windu bagaikan lampu alarm yang berteriak nyaring di telingaku. Detak jantungku semakin tidak karuan. Jika Windu tahu Susi sudah dihubungi Vika, itu berarti rencana ini jauh lebih matang dari sekedar ajakan kencan biasa.

“Kita abaikan saja,” Windu mengulangi, menyingkirkan ponselnya ke bawah jok. Wajahnya tidak lagi tampak tenang, tapi dipenuhi kekalutan. “Ibu panik, Aerra. Tapi dia melakukan yang terbaik. Dia hanya ingin memastikan kamu aman denganku sebelum Aldo bisa bertindak.”

“Bertindak apa? Membunuhku?” desisku, suaraku nyaris tidak terdengar. Aku mulai merasa sangat jijik, bukan pada situasi, melainkan pada pria di sampingku. “Kamu bilang ibumu provokator. Sekarang, kamu bilang dia ‘melakukan yang terbaik’? Kalian merencanakan semua ini? Kamu ingin aku terlihat seperti istri durhaka yang kabur bersama kekasih lama hanya agar posisimu sebagai penyelamat menjadi kuat?”

Windu meraih pergelangan tanganku lagi, kali ini dengan paksaan yang lebih keras. “Aerra! Kenapa kamu malah fokus ke sana? Susi tidak sebodoh itu. Dia akan memberi tahu Aldo bahwa kamu hilang, dan percayalah, Direktur itu tidak akan mencarimu dengan bunga dan cokelat!”

“Justru itu! Kenapa ibumu harus menelepon Ibuku? Agar ceritanya menjadi lebih dramatis? Agar aku benar-benar tidak punya jalan kembali? Kalian menjebakku, Windu!” teriakku. Aku menarik tanganku sekuat tenaga, tetapi ia mencengkeramnya erat. Aku menyadari satu hal menakutkan, meskipun ia menyebut dirinya pria yang ‘bersih’ dan tidak sekaya Aldo, cara dia mendapatkan apa yang dia inginkan sama saja, manipulasi dan pemaksaan.

“Ini bukan jebakan! Ini namanya peluang!” Windu mencondongkan tubuhnya, mata cokelatnya terlihat marah dan putus asa. “Aldo adalah penjahat, Aerra. Dia selingkuh dengan adikmu. Dia menyelundupkan obat ilegal! Semua bukti ada padaku. Kalau kamu tidak keluar sekarang, kamu akan terseret bersamanya!”

“Aku sudah bersamanya lima tahun, Windu! Aku bertahan lima tahun tanpa cinta di sampingnya, tapi aku tidak pernah curiga ia korup. Tapi, kamu! Kamu baru kembali, dan kamu sudah menunjukkan padaku bahwa kamu adalah versi lain dari kepahitan yang sama!”

Aku meninju dadanya dengan lemah, tetapi tinjuan itu penuh kemarahan. Ciuman sesaat tadi, yang seharusnya membangkitkan api masa lalu, justru menjadi alarm yang menusuk. Ia adalah bahaya yang sama, hanya berbalut janji palsu tentang cinta yang murni.

“Kamu tidak mengerti, Aerra! Jika kamu pergi dari Aldo tanpa jejak, dia bisa menggunakan pengacara terbaiknya dan memutarbalikkan fakta. Dia akan membuatmu tampak seperti istri matre yang kabur. Tapi jika semua orang, terutama Susi yang tahu kamu bersama Windu, cerita yang muncul adalah cerita cinta sejati yang terputus, dan itu akan jauh lebih ringan di mata hukum!” Windu menjelaskan, berusaha terdengar logis.

“Aku tidak peduli pandangan hukum! Aku peduli tentang siapa aku dan di mana aku berada!”

“Kamu akan berada di tempat yang aman!” Windu meraih sabuk pengamannya. “Ayo. Aku tidak akan bertanya lagi.”

Jantungku berpacu kencang. Dalam situasi panik seperti ini, aku tahu perdebatan verbal tidak akan berguna. Ia terlalu yakin pada dirinya sendiri. Tanganku yang gemetar mencari-cari kunci pintu yang baru saja ia kunci. Tidak ada tombol manual, mobil mewah ini semua elektronik.

Windu menyadari kegelisahanku. Ia tersenyum getir. “Jangan mencoba kabur. Kamu mau lari ke mana? Ini malam hari. Kita di ujung komplek yang tidak banyak orang. Rumah Aldo dan kantornya pasti sudah mengetahui lokasi kita sekarang.”

“Aku lebih baik menghadapi Aldo yang busuk, daripada diselamatkan oleh penyelamat yang manipulatif!” aku meludahinya dengan kata-kata itu.

Aku mengalihkan pandanganku ke konsol tengah, ke tempat dia tadi menaruh ponsel. Aku melihat tombol kunci sentral (yang biasanya berbentuk gembok). Otakku bekerja secepat kilat. Aku harus melepaskan cengkeramannya.

Aku memfokuskan mataku padanya. “Aku butuh udara, Windu. Setidaknya biarkan aku turun di terasmu. Jangan kunci aku di dalam sini seperti binatang peliharaan.”

Ekspresinya melunak sedikit. Mungkin ia berpikir rencananya sudah berhasil. “Tentu, Sayang. Tentu saja. Tapi janji, jangan lari?”

“Aku tidak punya energi untuk lari. Aku baru saja kabur dari rumah sakit, ingat?” aku memaksakan senyum lelah.

Ia akhirnya melepaskan pergelangan tanganku dan meyakinkanku dengan belai lembut di rambut. Windu memiringkan tubuhnya, mencari remote gerbang di saku jaketnya, mengendurkan fokusnya kepadaku. Hanya itu yang kubutuhkan.

Seketika itu juga, aku memajukan tangan kananku, membantingnya sekeras mungkin ke tombol 'Unlock All Doors' di konsol tengah. Bunyi ‘klik’ kunci yang terlepas terdengar nyaring. Windu tersentak kaget, baru menyadari bahwa aku hanya berpura-pura tunduk.

“Aerra!” teriaknya.

Aku membuka pintu mobil, dan meskipun udara di luar dingin, aku tidak peduli. Aku langsung melompat keluar, tubuhku yang kaku nyaris terjatuh. Kakiku langsung berlari menjauh, bahkan sebelum Windu sempat mematikan mesinnya. Aku tidak menoleh ke belakang.

“Tunggu! Aerra! Tunggu! Itu berbahaya!” aku mendengar Windu membanting pintu mobilnya dan berlari mengejarku.

Aku berlari ke tengah jalan perumahan yang sunyi. Nafas di paru-paruku serasa terkoyak, tetapi adrenaline membantuku bergerak. Ke mana? Ke mana pun asalkan jauh dari Windu, jauh dari janji-janji yang sama manipulatifnya dengan kebohongan Aldo. Aku tidak punya ponsel, tidak punya dompet. Aku hanya memakai baju rumah sakit yang kebesaran.

Aku berhasil menjangkau sudut tikungan jalan Windu. Tepat ketika aku berbelok, napasku tercekat di tenggorokan.

Cahaya sorot lampu yang tajam menyambutku, dan deru mesin mobil yang cepat menyiratkan bahwa kendaraan itu datang bukan untuk berkeliling. Mobil sedan hitam mewah, jenis yang sama persis dengan yang biasa digunakan oleh pengawal Aldo, melaju dengan kecepatan tinggi ke arah kami. Windu berteriak di belakangku.

Mobil itu mendadak mengerem, menimbulkan bunyi decitan ban yang menusuk. Pintu penumpang depan terbuka. Yang melangkah keluar bukanlah Aldo, melainkan sosok tinggi, tegap, mengenakan setelan gelap. Pengawal? Tidak. Sosok itu tampak familier, sangat familier, tapi bukan dari lingkaran Aldo.

Wajahnya keras, matanya memancarkan tekad dingin yang tak salah lagi.

Windu mencapai sisiku, ia mencengkeram lenganku. “Aerra, mereka, mereka datang menjemputmu!”

“Lepaskan aku!” Aku mencoba menarik diri, tapi aku terlalu terlambat. Pria itu sudah semakin dekat. Tapi, ia tidak mendekatiku. Matanya tertuju sepenuhnya pada Windu, bukan aku.

“Windu Baskara,” suara pria itu dalam dan serak, seperti gerungan dari jurang. “Aldo meminta kami mengirimkan pesan.”

Windu membeku. Tangannya terlepas dariku. Ia tidak panik melihat orang suruhan Aldo; ia tampak kaget, terkejut melihat siapa orang itu.

Pria itu tersenyum kecil. Itu adalah senyum yang menakutkan, senyum yang sama sekali tidak menjanjikan perdamaian. “Sudah lama kita tidak bertemu, rekan kerjaku dari IT Silicon Valley. Kamu benar-benar nekat mendekati wanita yang dicintai Bos besar.”

Windu tergagap. “Aku… aku tidak tahu kau terlibat di jaringan ini, Nando.”

Tiba-tiba, ‘Nando’ melangkah cepat ke depan Windu. Tangannya yang besar bergerak sangat cepat, mengeluarkan benda logam tipis dan berkilau. Hanya dalam sepersekian detik, aku mendengar bunyi ‘crak’ yang basah dan mematikan. Pisau itu menembus sisi tubuh Windu. Windu tersentak, tatapan matanya berubah dari terkejut menjadi kesakitan yang mendalam.

Aku menjerit, tetapi tidak ada suara yang keluar. Darah mulai memancar, membasahi jaket Windu dan menetes di kakiku. Windu tersungkur, masih berusaha bernapas. Nando hanya menatap dingin.

Pesan? Apakah ini yang Windu maksud dengan "Aldo tidak akan mencarimu dengan bunga dan cokelat"? Ini lebih mengerikan dari apa pun yang bisa kubayangkan.

Nando, dengan pandangan kosong, menarik kembali pisaunya yang basah. Dia memandangku sekilas, tatapan datar tanpa emosi.

“Nyonya Aldo. Bos berpesan, urusanmu hanya dengan dia. Jika kamu ingin melarikan diri dari masalah, jangan lari ke dalam masalah yang lebih besar,” Nando berujar, suaranya tenang. “Kamu ikut aku sekarang. Kita pulang.”

Aku tidak bisa bergerak. Mataku terpaku pada Windu, yang tergeletak lemah di jalanan, memegangi lukanya yang dalam. Semua janji tentang ‘cinta murni’ dan ‘masa depan yang bersih’ mati di tengah jalan bersama pria itu. Sekarang, hanya ada aku dan pria yang baru saja menusuk Windu atas nama Aldo.

Aku tidak tahu siapa yang lebih berbahaya: suami Direkturku, adikku yang gila, ibuku yang serakah, atau pria yang sedang menatapku sambil memegang pisau.

Nando tidak memberiku pilihan. Ia berjalan perlahan ke arahku, darah di pisaunya berkilauan di bawah sinar bulan.

“Jangan membuat keadaan lebih buruk, Nyonya,” desis Nando. “Kita hanya akan pulang.”

Lututku lemas. Aku harus lari. Tapi kemana? Ketika aku menoleh ke belakang Windu, mataku menangkap pergerakan lain. Sosok ramping, mengenakan jaket tebal, baru saja keluar dari bayangan di belakang mobil hitam itu. Wajahnya diselimuti topi dan masker, tetapi bentuk tubuhnya, dan tas selempang yang dipegangnya erat, terasa sangat akrab.

Ia adalah Lika.

Lika tidak datang untuk membantu Windu atau menyelamatkanku. Ia datang untuk melihat pembalasan. Matanya, yang hanya terlihat sedikit di balik maskernya, menatap lurus ke arah Nando dan kemudian ke Windu, yang mengerang kesakitan di jalanan.

Dia melihat semua ini terjadi. Dia tersenyum kecil di balik maskernya, lalu tangannya yang ramping, alih-alih panik, mengambil sesuatu yang besar dan berkilau dari tasnya. Kamera profesional. Dia sedang memotret. Memotretku yang berdiri di samping mayat (atau sekaratnya) Windu, dengan pria bersenjata yang baru saja menusuknya. Dia merekam semua bukti, bukan untuk membebaskanku, tetapi untuk menghancurkan posisiku selamanya.

“Sudah selesai, Lika,” Nando mendesis ke arahnya. “Kembali ke mobil. Bos tidak ingin kamu terekspos.”

Lika mengangguk, tanpa bicara, dan dengan cepat bersembunyi kembali di balik bayangan mobil. Lika telah memenangkan permainannya, ia telah memanipulasi aku, Windu, dan Aldo sekaligus. Dan sekarang, aku harus memilih: menyerahkan diri pada Nando dan kembali pada Aldo yang kejam, atau lari ke malam yang gelap, yang kini dipenuhi ancaman baru.

Aku menoleh ke Nando, lalu ke jalanan di belakangnya. Tidak ada jalan keluar.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!