Kalea dan Byantara tumbuh bersama di sebuah asrama militer Aceh, bak kakak dan adik yang tidak terpisahkan. Namun di balik kedekatan itu, tersimpan rahasia yang mengubah segalanya. Mereka bukan saudara kandung.
Saat cinta mulai tumbuh, kenyataan pahit memisahkan mereka. Kalea berjuang menjadi perwira muda yang tangguh, sementara Byantara harus menahan luka dan tugas berat di ujung timur negeri.
Ketika Kalea terpilih jadi anggota pasukan Garuda dan di kirim ke kongo, perjuangan dan harapan bersatu dalam langkahnya. Tapi takdir berkata lain.
Sebuah kisah tentang cinta, pengorbanan, keberanian, dalam loreng militer.
Apakah cinta mereka akan bertahan di tengah medan perang dan perpisahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khalisa_18, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Antara Pasar dan Debu Goma
Udara pagi di Goma tidak pernah benar-benar sejuk. Udara yang turun dari lereng Nyiragongo itu, selalu membawa aroma belerang dan debu vulkanik yang pekat. Sejak pukul lima pagi, Pos Komando Sektor Selatan MONUSCO sudah mulai hidup. Para prajurit Garuda sibuk memeriksa senjata, mengatur radio komunikasi, dan menyiapkan kendaraan patroli.
Lettu Kalea Aswangga berdiri di depan papan misi, map laporan di tangannya terbuka. Ia membaca ulang rute patroli hari itu, Sektor Delta – Pasar Nyirangongo – Jalan Kivu – Kembali ke Pos Selatan.
Kapten Dika mendekat, menepuk bahu Kalea pelan. “Kalea, kamu yang pimpin tim hari ini. Saya mau lihat bagaimana kamu mengatur pergerakan di medan sipil. Gunakan protokol ‘soft contact’. Tidak perlu bersenjata lengkap, tapi tetap jaga jarak aman ya.”
“Siap, Kapten,” jawab Kalea tegas.
“Pasar itu wilayah yang sensitif,” lanjut Dika. “Kadang terlihat aman, tapi kalau salah pendekatan, bisa jadi ricuh. Kita di sini bukan untuk menaklukkan, tapi untuk meyakinkan warga bahwa kita datang membawa ketenangan.”
Kalea mengangguk. “Baik, Kapten. Kami akan jaga aturan interaksi. Non-combat mode, senjata di bahu, tidak akan diarahkan apapun situasinya.”
Dika tersenyum singkat. “Bagus. Itu yang saya suka dari kamu, Kalea. Paham taktik, tapi tetap punya rasa.”
Ia lalu melangkah menuju radio operator, sementara Kalea memeriksa anggotanya satu per satu. Sertu Fauzi, Kopda Riyanto, dan dua anggota medis, Pratu Rinto dan Pratu Arfan, sudah siap dengan perlengkapan standar.
“Cek komunikasi,” ujar Kalea.
“Radio satu aman, radio dua standby,” lapor Fauzi.
“Medis siap,” sahut Rinto, merapikan tas peralatannya.
Kalea menatap mereka sebentar, lalu berkata dengan nada tenang, “Hari ini kita bukan datang sebagai pasukan perang ya. Kita adalah wajah negara. Kalau ada warga menyapa, jawab. Kalau mereka menolak bicara, jangan paksa. Ingat, kita di rumah orang lain.”
“Siap, Komandan!” serempak mereka menjawab.
Suara mesin APC Anoa menggerung. Kendaraan itu perlahan meninggalkan halaman pos, melewati gerbang yang dijaga ketat oleh pasukan Ghana. Bendera PBB dan Merah Putih berkibar berdampingan di tiang depan kendaraan.
Jalan menuju Pasar Goma bukan jalan yang nyaman. Aspalnya pecah, sebagian tertutup lumpur dan batu hitam dari letusan gunung beberapa tahun lalu. Di kiri kanan, rumah-rumah sederhana berdiri di atas tanah vulkanik yang retak.
Kalea duduk di kursi depan, di samping pengemudi. Helm birunya tergantung di lutut, matanya menatap jalan dengan fokus.
“Komandan,” kata Fauzi dari belakang, “katanya di pasar itu banyak pedagang dari Rwanda. Aman, nggak?”
“Selama mereka butuh makan dan jual barang, aman,” jawab Kalea datar. “Yang bahaya itu kalau perut lapar dan hati marah bersatu.”
Semua tertawa kecil. Kalea ikut tersenyum tipis. Ia tahu, humor kecil adalah cara terbaik meredakan tegang di lapangan. Tapi ia juga tahu, dalam hitungan menit, tawa bisa berubah menjadi siaga.
Ketika kendaraan melewati jembatan kecil dari batang kelapa, dua anak kecil berlari ke pinggir jalan, melambaikan tangan. Mereka berteriak, “MONUSCO! MONUSCO!” dengan wajah riang.
Kalea membuka jendela kecil di sisinya dan melambaikan tangan. “Karibu, watoto!” (Selamat datang, anak-anak!)
Anak-anak itu tertawa senang, lalu berlari mengikuti kendaraan sejenak sebelum tertinggal oleh debu.
Pasar Nyirangongo terletak di dataran rendah, dikelilingi bukit hitam dan semak kering. Ketika kendaraan berhenti di pintu masuk, suasana pasar langsung menyambut, teriakan pedagang, suara ayam, dan denting logam dari bengkel kecil.
Kalea turun pertama, diikuti Fauzi dan timnya.
“Formasi biasa, jarak dua meter antar personel. Komunikasi terbuka. Jangan tunjukkan agresi,” perintahnya.
“Siap!” jawab Fauzi, mengatur posisi di sisi kanan.
Seorang pria setengah baya dengan kemeja lusuh menghampiri mereka. Di dadanya tergantung kartu pengenal bertuliskan “Delombo atau Ketua Pasar.”
“Selamat datang, MONUSCO,” sapa pria itu, kemudian menambahkan dengan senyum, “Karibu Goma.”
“Terima kasih banyak, Delombo,” jawab Kalea sopan, “Kami dari Garuda Contingent Indonesia. Kami hanya ingin memastikan keamanan pasar.”
“Ah, pasukan Indonesia,” ujar Delombo sambil mengangguk hormat. “Kalian berbeda. Tenang tapi sigap. Orang sini sudah mulai terbiasa melihat kendaraan biru kalian.”
Kalea tersenyum kecil. “Kami senang mendengar itu. Apakah ada gangguan minggu ini?”
Delombo menatap sekeliling sebelum menjawab. “Kemarin, ada kelompok muda dari utara mencoba memeras pedagang. Tapi cepat pergi setelah tahu pasukan MONUSCO berpatroli. Mungkin hari ini mereka tidak akan datang.”
“Baik. Kami akan tetap berkeliling. Jika ada hal mencurigakan, hubungi kami melalui pos sektor.”
Kalea menyalami Delombo, lalu melanjutkan patroli menyusuri gang sempit antara lapak-lapak pasar. Pasar itu hidup dengan segala kesederhanaannya. Seorang perempuan tua menjual pisang di atas tikar robek. Anak-anak menunggu pembeli sambil bermain batu kecil. Asap tipis dari dapur kayu menyebar, membawa aroma jagung bakar.
Sertu Fauzi menatap heran. “Negara kaya mineral, tapi lihat, rakyatnya begini…”
Kalea tidak menjawab. Ia tahu kalimat itu terlalu sering ia dengar sejak tiba di sini.
Mereka berhenti di depan kios kecil yang menjual air dalam jerigen bekas minyak. Seorang bocah laki-laki sekitar delapan tahun mendekat, menatap mereka dengan mata besar penuh rasa ingin tahu.
“Paman, apa kalian tentara?” tanya bocah itu dalam bahasa Inggris patah-patah.
Kalea tersenyum. “Yes, we are peacekeepers. MONUSCO.”
“Peace… keeper?” Bocah itu tampak bingung.
“Penjaga kedamaian,” jawab Kalea, lalu menambahkan dalam Swahili, “Walinzi wa amani.”
Bocah itu tersenyum mengangguk. “Papaku… tentara . Dia pergi… tidak kembali.”
Kalea terdiam sejenak. “Siapa namanya?”
“Emmanuel,” jawab bocah itu. “Dia bilang, jika bertemu tentara dari Indonesia, harus bilang terima kasih.”
Kalea menunduk, menatap bocah itu dengan lembut. “Terima kasih, anakku. Kami juga berutang budi pada prajurit seperti ayahmu.”
Bocah itu kemudian mengeluarkan foto kecil dari sakunya, tampak seorang prajurit berkulit hitam dengan baret biru tersenyum di depan benderanya.
Fauzi ikut menatap. “Itu prajurit yang gugur dua minggu lalu waktu patroli di Ituri, Komandan.”
Kalea menarik napas panjang. “Semoga Allah merahmatinya.”
Ia lalu mengeluarkan sesuatu dari saku seragamnya, lencana kecil bertuliskan “Garuda Peacekeeper”, dan memberikannya pada si bocah. “Ini untukmu. Agar kamu tahu, ayahmu tidak sendirian di langit sana.”
Bocah itu memeluk lencana itu erat-erat. “Asante, Mama Amani.”
Ibu Perdamaian. Julukan itu lagi. Kalea tersenyum kecil.
Ketika patroli hampir selesai, tiba-tiba terdengar suara keras dari ujung timur pasar.
“BOOM!”
Diikuti teriakan panik.
Kalea langsung refleks. “Formasi defensif! Semua anggota ke arah sumber suara. Jangan lepaskan warga!”
Fauzi berlari di depan, senjata di bahu. Asap tipis terlihat dari sebuah lapak bensin eceran. Dua sepeda motor terjatuh, bahan bakar tumpah, dan api kecil menyala.
“Pratu Arfan, alat pemadam cepat!” perintah Kalea.
Arfan segera menyemprotkan cairan pemadam dari tabung darurat. Api padam dalam beberapa detik. Warga sekitar menonton dari jauh, masih panik.
“Tidak ada bom, Komandan,” lapor Fauzi. “Hanya tumpahan bensin dan percikan api.”
Kalea menghela napas lega. Ia menatap warga yang masih berkerumun. “Tenang, semuanya aman. Pole sana. Tidak ada bahaya.”
Seorang perempuan tua menatap Kalea dengan mata berkaca. “Kami pikir perang datang lagi…” katanya lirih.
Kalea mendekat, menepuk bahunya pelan. “Tidak, Mama. Tidak akan ada perang hari ini.”
Warga mulai tenang. Beberapa anak kembali bermain, dan suasana pasar perlahan normal kembali.
Menjelang sore, patroli selesai. Kalea dan tim kembali ke kendaraan. Sepanjang jalan pulang, semua terdiam. Masing-masing larut dalam pikiran.
Setelah beberapa menit, Fauzi memecah keheningan. “Komandan… tadi waktu api itu menyala, saya lihat warga saling bantu padamkan. Tidak lari. Itu luar biasa.”
Kalea menatap ke luar jendela. “Mereka sudah terlalu sering berlari, sersan Fauzi. Mungkin hari ini mereka ingin berdiri.”
Fauzi mengangguk pelan. “Saya baru sadar, tugas kita bukan cuma jaga keamanan. Tapi juga ngajarin mereka percaya lagi.”
“Benar,” jawab Kalea singkat.
Ketika kendaraan memasuki area pos, matahari mulai turun. Langit Goma berubah jingga, seperti bara yang padam pelan-pelan.
Malam itu, Kalea duduk sendirian di depan tenda komando. Di depannya, dua bendera berkibar pelan, Merah Putih dan bendera PBB.
Ia menulis laporan di buku lapangan,
“Hari ke-7. Patroli Pasar Nyirangongo berjalan aman. Warga kooperatif. Tidak ada korban. Insiden kecil akibat kelalaian bahan bakar. Interaksi dengan masyarakat berjalan positif. Anak-anak tampak sangat menyukai dengan anggota.”
Setelah menutup buku, ia menatap langit. Di kejauhan, gunung Nyiragongo tampak memerah samar.
Sertu Fauzi muncul dari arah dapur, membawa dua cangkir kopi hitam. “Komandan, istirahatlah. Esok katanya patroli malam.”
Kalea menerima cangkir itu. “Terima kasih, sersan Fauzi.”
“Kalau boleh jujur,” ujar Fauzi sambil duduk, “Saya bangga, Komandan. Hari ini kita nggak nembak, nggak berperang, tapi rasanya seperti menang.”
Kalea tersenyum. “Sepertinya begitulah perang perdamaian, sersan Fauzi. Kita menaklukkan tanpa menundukkan.”
"Tidak seperti apa yang saya fikirkan dulu, kalau menang ya harus perang habis habisan," ucap Kalea membuat keduanya tertawa.
Mereka terdiam cukup lama. Angin malam membawa suara jangkrik dari balik bukit, dan dari kejauhan, terdengar azan samar dari masjid kecil di pos mereka.
Kalea menatap arah suara itu dan berbisik pelan, “Ya Allah, jadikan kami penjaga rahmat-Mu.
Fauzi meneguk kopinya pelan. “Amin, Komandan.”
Malam di Goma pun perlahan menutup hari. Dari balik kabut tipis, bulan muncul setengah, menggantung di atas bendera biru.
Di tanah jauh dari negerinya, seorang prajurit perempuan menegakkan kepala, membawa kehormatan bangsanya bukan dengan senjata, tapi dengan empati. Dan, belajar menang tidak harus di lalui dengan perang dan pertumpahan darah terlebih dahulu.
"Ternyata bang Byan selalu benar," ujar nya seraya terkekeh pelan.