Waren Wiratama, 25 tahun adalah seorang pencuri profesional di kehidupan modern. Dia dikhianati sahabatnya Reza, ketika mencuri berlian di sebuah museum langka. Ketika dia di habisi, ledakan itu memicu reaksi sebuah batu permata langka. Yang melemparkannya ke 1000 tahun sebelumnya. Kerajaan Suranegara. Waren berpindah ke tubuh seorang pemuda bodoh berusia 18 tahun. Bernama Wiratama, yang seluruh keluarganya dihabisi oleh kerajaan karena dituduh berkhianat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irawan Hadi Mm, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB. 20
Meski lima lawan mengepung, Warren perlahan mulai menguasai ritme. Nafasnya diatur, langkahnya ringan. Ia tidak melawan frontal, melainkan membiarkan mereka saling menghalangi.
Si bertubuh besar bangkit kembali, berlari dengan amarah. Warren menunduk, membuatnya hampir menabrak kawannya sendiri. Dalam kekacauan itu, Warren melompat, lututnya menghantam rahang pria besar itu. Dentuman keras terdengar, tubuhnya jatuh tak bergerak.
Si licik mencoba menikam dari belakang. Warren sudah menduga. Ia berputar, menangkap pergelangan tangan lawan, lalu menghantam pelipisnya dengan kepala. Darah muncrat, pria itu tumbang.
Kini tersisa tiga orang. Mereka lebih hati-hati, tidak menyerbu sekaligus, melainkan bergantian menguji. Warren menunggu.
Yang pertama menyerang adalah si tua. Gerakannya cepat meski tubuh renta. Warren menahan tusukan dengan tangan kosong, lalu mengunci lengannya. Dengan satu gerakan keras, ia memutar dan menghantamkan lawannya ke tanah. Suara napas tercekik keluar dari mulut pria tua itu, ia tak sanggup bangkit.
Dua orang tersisa, mereka menerjang bersamaan. Warren melompat mundur, lalu meraih rantai putus yang tergeletak di tanah. Dengan ayunan kuat, rantai itu melilit lengan salah satu pembunuh bayaran itu. Tarikan keras membuatnya kehilangan keseimbangan. Warren menghantamnya dengan siku, dan tubuh itu rebah.
Tersisa si paling tatapannya kejam. Ia meraung seperti binatang buas, menyerang membabi buta. Warren mundur, menangkis, lalu saat lawan mengayunkan belati terlalu dalam, ia menangkis dengan pergelangan tangan, memutar tubuh, dan menghantam perutnya dengan lutut. Lawan itu jatuh berlutut, belatinya terlepas. Warren menyelesaikannya dengan pukulan telak ke rahang.
"Habis kalian!" ujar Warren dengan lantang.
Dia mendesah kasar, ketika melihat semua lawannya sudah tak bernyawa.
Ting Ting
Dari arah lain, dia mendengar suara pertempuran.
"Paman kepala prajurit Arga" ujarnya yang langsung berlari ke arah perginya kepala prajurit Arga tadi.
Kepala Prajurit Arga berdiri tegap, tubuhnya penuh luka goresan, darah menetes di sepanjang lengan dan dadanya. Namun kedua matanya tetap menyala dengan keberanian seorang prajurit sejati.
Di hadapannya, Waluyo, kepala prajurit lawan, berdiri dengan tiga anak buahnya. Pedang-pedang mereka berkilat diterpa cahaya bulan, siap menerkam kapan saja.
Kepala prajurit Arga menggenggam tombaknya dengan kedua tangan, lalu merendahkan kuda-kuda. Nafasnya berat, tapi tetap teratur. Ia tahu, satu jurus salah langkah bisa menjadi ajalnya.
"Kalian ternyata bukan prajurit yang diutus oleh istana" kata kepala prajurit Arga.
"Ha ha ha, karena nyawamu sudah di ujung tanduk. Aku akan katakan yang sebenarnya. Aku dan yang lain adalah pembunuh bayaran yang diutus oleh kerajaan. Raja Darmawangsa ingin kalian semua mati!"
Kepala prajurit Arga terluka sekali mendengar ucapan Waluyo. Ternyata dedikasinya sebagai prajurit yang jujur selama ini,sama sekali tidak ada artinya di mata Raja Dharmawangsa.
Pertarungan pun kembali pecah.
Anak buah pertama menerjang dari sisi kanan dengan tebasan mendatar. Kepala prajurit Arga memutar tombaknya menangkis pedang itu hingga terpental, lalu menendang perut lawan dengan keras.
Namun segera dua serangan lain datang bersamaan, tebasan atas dan tusukan lurus ke arah perut. Kepala prajurit Arga melompat mundur, mengayun tombaknya hingga dua tebasan itu terhalau.
Waluyo maju sendiri, pedangnya melesat cepat seperti kilatan cahaya, menebas diagonal ke arah bahu kepala prajurit Arga. Tombak kepala prajurit Arga menahan, suara logam beradu nyaring membelah malam. Tubuh kepala prajurit Arga berguncang keras, darah di bahunya muncrat, namun ia menggertakkan gigi dan mendorong kembali dengan tenaga penuh.
Tiga pedang kembali menyerbu dari segala arah. Kepala prajurit Arga berputar, ujung tombaknya menusuk cepat, menahan satu tusukan, lalu menggeser gagangnya untuk menangkis dua tebasan lain. Namun pedang ketiga sempat menyayat pinggangnya. Napas kepala prajurit Arga tercekik, kakinya nyaris goyah.
Meski begitu, ia tetap berdiri. Dengan sisa tenaga, kepala prajurit Arga menancapkan tombaknya ke tanah sebagai penopang tubuh. Ia melirik ke empat lawannya, senyum tipis terukir di bibir penuh darah.
"Aku, kepala prajurit Arga. Selama aku berdiri, aku akan melindungi orang-orang yang harus ku lindungi!" suara itu lirih. Tapi, dia masih berusaha untuk menyemangati dirinya sendiri.
Dengan sorakan batin, ia mengangkat kembali tombaknya, gerakan defensif khasnya, tombak berputar membentuk lingkaran rapat, menahan serangan demi serangan meski tangannya gemetar hebat.
"Ha ha ha, siapa yang mau kamu lindungi. Orang-orang itu mungkin sekarang sudah mati!"
Mata kepala prajurit Arga melebar. Jangan-jangan para tahanan pengasingan itu juga pembunuh bayaran. Fokusnya mulai teralihkan.
Waluyo sudah mengangkat pedangnya tinggi, siap menghabisi kepala prajurit Arga yang hampir tak mampu lagi menahan serangan. Namun, sebelum bilah pedang itu turun, angin malam berdesir kencang, sebuah bayangan melesat dari kegelapan hutan.
Suara logam beradu keras. Pedang Waluyo tertahan oleh bilah senjata panjang Warren yang datang tepat waktu, senjata yang merupakan senjata milik salah satu pembunuh bayaran yang dia ambil sambil berlari ke tempat ini.
"Kepala prajurit Arga! Mundur, biar aku yang menanganinya" suara Warren bergema tegas, penuh wibawa.
Kepala prajurit Arga tersenyum, mungkin sebenarnya tenaganya tak lebih dari 20 persen lagi.
Dia melihat Wiratama yang terlihat gagah saat memegang pedang.
Kepala prajurit Arga yang tubuhnya berlumuran darah, benar-benar tersenyum lega. Meski hampir roboh, ia tetap berdiri menopang tubuh dengan tombaknya.
"Aku tahu tuan muda, putra perdana menteri Kusumanegara tidak ada yang tidak luar biasa" lirihnya.
Mata Waluyo menyipit.
"Kau, kau orang bodohh itu kan? ternyata benar kamu hanya berpura-pura!" desisnya geram.
Warren tidak menjawab panjang. Dengan kuda-kuda rendah, ia maju. Gerakannya cepat bagai kilat, pedangnya menebas diagonal. Waluyo menahan, tapi getaran keras membuat tubuhnya terpental beberapa langkah ke belakang.
Waluyo memegang dadanya dan mendengus kesal.
Tiga anak buah Waluyo berusaha menyerang bersamaan untuk membantu. Namun Warren dengan gesit melompat, memutar pedangnya, dan menangkis ketiganya sekaligus. Dua pedang terpental, dan satu lawan terjungkal ke tanah.
Waluyo meraung, lalu menerjang dengan kekuatan penuh. Pertarungan keduanya membahana di bawah sinar bulan pucat. Pedang Warren dan Waluyo beradu cepat, menimbulkan percikan api kecil di udara.
Kepala prajurit Arga, meski lemah, tetap ikut bertahan di sisi Warren. Dengan tombaknya ia menusuk salah satu anak buah yang berusaha menusuk dari belakang. Tusukan lurus berhasil menembus dada lawan.
Kini tinggal Waluyo seorang diri. Nafasnya terengah, wajahnya mulai pucat menyadari kedoknya terbongkar. Warren menatapnya dingin.
"Aku Wiratama, jangan mimpi bisa menghabisiku!"
Waluyo meraung marah dan melakukan serangan terakhir. Namun Warren menyambutnya dengan tenang, mengalirkan tenaga penuh pada pedangnya, lalu menghunuskan pedang itu. Tebasan pedangnya menembus pertahanan Waluyo, merobek dadanya.
Waluyo terhuyung, darah muncrat dari mulutnya, sebelum akhirnya tumbang tak bernyawa di tanah becek pinggir hutan.
Brukkk
Disaat yang sama kepala prajurit Arga terjatuh ke tanah.
"Tuan muda, maafkan aku tidak bisa melindungimu lagi!"
Kepala prajurit Arga menutup matanya. Dia mengatakan suatu seolah dia memang akan meninggalkan dunia ini untuk selamanya.
Warren yang merasa kalau akan sangat kehilangan jika dia sampai tidak bisa menyelamatkan kepala prajurit Arga. Segera memanggil sistem.
"Sistem"
[Ting]
"Tolong kepala prajurit Arga!"
[Tuan rumah memiliki pil penyembuhan seribu penyakit. Berikan saja padanya]
Warren mengangguk dengan cepat. Dia segera memikirkan pil itu dan, tidak sampai 2 detik, pil itu sudah ada di tangannya. Warren segera memberikan pil itu pada kepala prajurit Arga.
"Uhukk uhukk" kepala prajurit Arga terbatuk darahh.
Namun pria itu membuka matanya. Dengan tubuh yang masih lemah. Dia berusaha berlutut di depan Warren.
"Paman kepala prajurit Arga, apa yang kamu lakukan?" Warren mencoba mencegah kepala prajurit Arga melakukan itu karena dia masih terluka.
Namun kepala prajurit Arga tetap berlutut. Dan pria itu berkata dengan kesungguhan hatinya.
"Ternyata memang raja Darmawangsa yang memfitnah perdana menteri Kusumanegara. Hamba banyak berhutang budi pada perdana menteri Kusumanegara. Mulai saat ini, hamba, ada di pihak tuan muda" kata kepala prajurit Arga yang segera memberi hormat pada Warren.
***
Bersambung...
lanjutkan di tunggu up berikut nya