Keinginan terakhir sang ayah, membawa Dinda ke dalam sebuah pernikahan dengan seseorang yang hanya beberapa kali ia temui. Bahkan beliau meminta mereka berjanji agar tidak ada perceraian di pernikahan mereka.
Baktinya sebagai anak, membuat Dinda harus belajar menerima laki-laki yang berstatus suaminya dan mengubur perasaannya yang baru saja tumbuh.
“Aku akan memberikanmu waktu yang cukup untuk mulai mencintaiku. Tapi aku tetap akan marah jika kamu menyimpan perasaan untuk laki-laki lain.” ~ Adlan Abimanyu ~
Bagaimana kehidupan mereka berlangsung?
Note: Selamat datang di judul yang ke sekian dari author. Semoga para pembaca menikmati dan jika ada kesamaan alur, nama, dan tempat, semuanya murni kebetulan. Bukan hasil menyontek atau plagiat. Happy reading...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gosip
Dinda sembuh tiga hari kemudian dan segera masuk mengajar.
“Yakin mau mengajar?” tanya Adlan.
“Yakin, Kak. Aku tidak bisa absen terlalu lama.” Jawab Dinda yang merapikan rambutnya.
“Aku akan mengantar dan menjemputmu.”
Belum sempat Dinda mengatakan sesuatu, Adlan sudah keluar kamar. Keduanya makana sarapan bersama dengan Mama Adlan.
Setelah selesai sarapan, Adlan mengantar Dinda ke sekolah. Tetapi di perjalanan pulang, saat Adlan singgah di toko sembako ia mendengar orang-orang sedang membicarakannya dan Dinda.
“Pak Lilik itu pendatang. Tidak punya keluarga di sini. Saat pemakaman, yang datang hanya teman sejawat beliau.”
“Makanya saya tanya, siapa yang tinggal di rumah Dinda sekarang ini?”
“Iya, saya juga penasaran. Saya lihat hubungan mereka tidak biasa.”
“Saya pernah lihat Pak Adlan masuk ke dalam kamar Dinda.”
“Selama sakit, bukannya Pak Adlan keluar masuk kamar Dinda membawakan makanan?”
“Iya, benar.”
“Apa perlu lapor Pak Kades?”
“Pak Kades diam saja melihat mereka.”
“Pak Lilik dan Dinda itu guru, tidak mungkin mereka melakukan hal yang tidak bermoral!”
“Tapi kenyataannya ada di depan mata. Kalau mereka bukan keluarga, kenapa Pak Adlan keluar masuk kamar Dinda?”
“Iya, ya?”
Adlan yang tidak tahan mendengarnya segera pergi dari sana. Sesampainya di rumah, Adlan menceritakan apa yang didengarnya kepada sang mama.
Merasa geram, Mama Adlan mengomel dengan mengatakan para tetangga itu hanya bisa menyebarkan gosip. Padahal jika mereka bertanya secara langsung, beliau akan menjawabnya.
Ingin membela menantunya, Mama Adlan menghubungi penghulu yang sebelumnya menikahkan Adlan dan Dinda untuk menanyakan perihal surat nikah yang sedang di urus.
Penghulu menjawab jika surat sudah selesai, tinggal tanda tangan Adlan dan Dinda saja. Mereka bisa datang ke kantor hari ini juga.
“Setelah kamu menjemput Dinda, langsung ke KUA saja. Kalau ada surat nikah, kalian bisa membungkam mulut tetangga yang ember itu!” kata Mama Adlan dengan kesal.
“Iya, Ma.”
Sekitar pukul 12 siang, Adlan sudah sampai di sekolah tempat Dinda mengajar. Ia memarkir motornya di dekat pagar dan duduk di atas motor.
Anak-anak sudah bubar, tetapi Adlan tidak melihat Dinda. Akhirnya ia masuk ke area sekolah berniat mencarinya. Adlan menemukan Dinda sedang berbicara dengan seorang laki-laki. Dari penampilannya, sama-sama mengajar seperti Dinda.
“Kalau ditolak lagi, menyerah saja Pak. Saya tidak bisa membantu banyak.” Kata Dinda.
“Tapi pengajuan bukunya sudah disetujui. Apa benar tidak ada opsi lain?”
“Minimal bangunan perpustakaan sesuai aturan berukuran 56 meter persegi. Membangun perpustakaan itu tidak murah, Pak.” Gibran terdiam.
Bukan dirinya tidak tahu, melainkan masih tidak mau menyerah untuk memperjuangkan perpustakaan untuk anak-anak.
“Bagaimana kalau swadaya masyarakat?” tanya Adlan mendekat kearah Dinda.
“Anda siapa?” tanya Gibran.
“Saya Adlan. Maaf saya kesini untuk menjemput Dinda dan tidak sengaja mendengar percakapan kalian.”
“Maksud Anda dengan swadaya masyarakat, bagaimana?”
“Maksud saya, Anda bisa mengajukan Pembangunan kepada seluruh wali murid dan meminta bantuan mereka. mau itu sumbangan berbentuk uang, material, atau tenaga bebas. Saya akan menyumbang pasir dan semennya.”
“Benar juga. Kenapa saya tidak terpikirkan?” Gibran menganggukkan kepalanya.
Cara ini bukan tidak terpikirkan oleh Dinda. Ia sudah pernah berpikir, tetapi takut mengutarakannya karena mayoritas penduduk di desanya adalah petani. Dimana penghasilan mereka bergantung pada hasil panen.
“Saya akan coba berdiskusi dengan kepala sekolah mengenai ini. Terima kasih atas sarannya, senang berkenalan dengan Anda.”
“Sama-sama.” jawab Adlan seraya menjabat tangan Gibran.
Setelah itu, Gibran berpamitan meninggalkan Dinda dan Adlan.
“Ayo pulang!” ajak Adlan yang diangguki Dinda.
“Mau ke mana, Kak?” tanya Dinda yang merasa arah yang mereka tuju bukanlah arah rumah.
“KUA, kita akan ambil surat nikah.”
“Tapi aku tidak pakai helm, Kak.”
“Tidak apa-apa. Aku saja cukup.” Dinda tidak lagi protes.
Jalan desa yang tidak rata, membuat Dinda mengencangkan pegangannya di bagel motor. Melihatnya, Adlan dengan sengaja mengerem mendadak membuat Dinda menabrak punggungnya.
“Ma-maaf.”
“Pegangan di perut biar tidak jatuh.” Dinda tidak menurut.
Adlan menepikan motor dan berhenti. Tangannya menarik tangan Dinda dan melingkarkannya di perutnya. Dinda dengan kaku melakukannya.
“Begini lebih baik.” kata Adlan yang kembali melajukan motornya.
“Sudah tahu jalan rusak, kenapa pakai motorku? Bukannya dia bawa mobil?” batin Dinda.
Satu jam kemudian, mereka sampai di KUA dimana penghulu bertugas. Di sana mereka disambut pegawai KUA. Begitu Adlan mengatakan mencari Pak Syarif, pegawai tersebut mengantarkan mereka ke ruangan beliau.
Kebetulan mereka sampai berbarengan dengan Pak Syarif yang baru saja kembali dari makan siang. Setelah berjabat tangan, Pak Syarif mengajak mereka duduk dan meminta mereka tanda tangan buku nikah dan kertas keterangan. Begitu selesai, keduanya keluar dari ruangan dengan surat nikah di tangan Adlan.
Dari KUA, Adlan mengajak Dinda singgah ke sebuah rumah makan untuk makan siang. Keduanya makan dalam diam sampai makanan di hadapan mereka habis.
“Apa aku menakutkan?” tanya Adlan saat akan menyalakan motor.
“Tidak.”
“Lalu kenapa?”
“A-aku hanya belum terbiasa.”
“Belum terbiasa atau kamu sudah menyukai orang lain?” batin Adlan.
Dirinya bisa melihat mata Dinda berbinar saat berbicara dengan Gibran tadi. Berbeda sekali saat berbicara dengannya. Dinda akan menunduk atau melihatnya dengan tatapan takut.
Adlan tak lagi mempermasalahkannya, ia membawa Dinda pulang karena prioritasnya adalah membersihkan nama baik istrinya.
Di sisi lain.
Rumah Pak Kades didatangi ibu-ibu yang sudah tidak tahan hanya membicarakan Dinda tanpa tahu kebenarannya.
“Apa ada demo yang aku tidak tahu?” tanya Pak Kades.
“Pak Kades! Ini lebih parah daripada demo!”
“Apa itu?”
“Dinda kumpul kebo!”
“Uhukkk… Uhukkk…” kepala desa tersedak kopi yang diminumnya.
“Kalian ini ngomong apa?”
“Ada laki-laki yang keluar masuk kamarnya, kalau bukan kumpul kebo apa namanya? Dinda belum menikah!”
“Benar!” seru setuju ibu-ibu yang lain.
“Kalian ini ngawur! Anaknya Pak Lilik yang berwibawa, bagaimana bisa kumpul kebo? Lagi pula Dinda itu guru, tidak mungkin dia mempertaruhkan profesinya.”
“Lalu, siapa laki-laki yang ada di rumahnya?”
“Suaminya.” jawab kepala desa dengan singkat, tetapi tidak membuat ibu-ibu percaya.
“Jangan bercanda, Pak!”
“Aku tidak bercanda. Mereka memang sudah menikah saat Pak Lilik di rumah sakit.”
“Apa buktinya?” Pak Kades terdiam.
Beliau tidak punya bukti karena sebelumnya hanya mendengarkan laporan Adlan. Pak Kades tidak curiga karena dirinya juga mengenal Adlan yang sering mengunjungi rumah Pak Lilik. Dan sekarang diminta bukti, bagaimana beliau memberikannya?
“Begini saja. Nanti bakda ashar kita semua ke rumah Dinda untuk bertanya.” Kata Pak Kades menenangkan.
“Kenapa tidak sekarang saja?”
“Tengah hari bolong seperti ini kalian mau mengganggu orang tidur siang?” ibu-ibu saling berbisik.
Meski mereka tidak percaya dengan kata-kata kepala desa, mereka juga tidak bisa memaksa. Akhirnya mereka bubar dan sepakat akan kembali untuk ke rumah Dinda bersama-sama.
Setelah gerombolan ibu-ibu itu pergi, Pak Kades menghembuskan nafas Panjang. Menghadapi ibu-ibu lebih sulit dibandingkan dengan bapak-bapak yang main otot.