Pengertian Sang Kaisar Kegelapan

Malam menjelma dengan cepat. Istana kegelapan yang biasanya sunyi, kini dipenuhi bisikan dari para pelayan dan pengawal. Mereka masih tak percaya apa yang baru saja terjadi di balairung: seorang wanita asing berani menantang Kaisar Kegelapan dan masih hidup.

Rui Zhi Han ditempatkan di paviliun yang biasanya dipakai untuk para tamu kehormatan. Namun tentu saja, istana itu gelap, hanya dihiasi lentera merah darah yang berkelip samar.

Lan Mei membantu putrinya berganti pakaian, wajahnya masih diliputi campuran kagum dan takut. “Putri… anda benar-benar terlalu berani. Kalau tadi Kaisar murka—”

Rui tersenyum santai, melepas hiasan emas di rambutnya.

“Kalau tadi ia murka, kepalaku sudah melayang, Mei. Jadi karena kepalaku masih utuh, berarti dia tidak keberatan.”

Lan Mei menunduk, tapi bibirnya sedikit terangkat. Diam-diam ia mulai terbiasa dengan keberanian nonanya yang gila itu.

Namun sebelum mereka sempat beristirahat, pintu paviliun berderit terbuka. Udara dingin menyusup masuk, dan sosok tinggi berbalut jubah hitam berdiri di ambang pintu.

Lan Mei langsung menunduk kaget dengan kedatangan kaisar Wang Tian Ze ksisar kegelapan, “Yang… Yang Mulia!”

Kaisar Kegelapan masuk tanpa suara, auranya menekan seluruh ruangan. Tapi Rui hanya duduk dengan santai di kursi rendah, menatapnya tanpa gentar.

“Tidak biasanya seorang pengantin baru ditinggal sendirian di malam pertama.” Kaisar berkata, suaranya dalam.

Rui menaikkan alisnya. “Oh? Kupikir Yang Mulia sibuk dengan urusan negara, atau mungkin… sibuk dengan harem yang katanya tidak ada itu?”

Kaisar terdiam mendengar ucapan Rui yang berani. Para pengawal di luar yang mendengar hampir saja pingsan. Wanita ini benar-benar nekat!

Namun Rui malah menepuk kursi kosong di seberangnya.

“Kalau kau memang datang ke sini bukan untuk menakutiku, duduklah. Aku tidak menggigit.

Kaisar menatapnya lama, lalu… ia benar-benar duduk.

Lan Mei yang melihatnya hampir menjatuhkan baki teh yang ia pegang. Dalam hatinya, ia bersumpah, "Nona Rui ini pasti bukan manusia biasa. Hanya iblis bisa mengendalikan Kaisar seperti itu."

---

Kaisar menatap Rui lekat-lekat.

“Wanita… apa kau tidak tahu siapa aku? Semua orang yang berani berbicara sepertimu sudah mati.”

Rui tersenyum tipis, meneguk tehnya.

“Kalau begitu, mungkin aku berbeda. Karena kalau aku mati malam ini, siapa yang akan menghiburmu besok?”

“…..”

Kaisar terdiam lagi. Untuk pertama kalinya, ia tidak punya jawaban.

Rui meletakkan cangkirnya. “Lagipula, menurutku Yang Mulia tidak sepenuhnya membenci keberanianku. Kalau benar, kau sudah melemparku ke neraka sejak di hutan roh waktu itui.”

Senyum samar muncul di bibir Kaisar. Ia menyandarkan tubuhnya, auranya mereda.

“Kau terlalu pintar membaca pikiranku.”

Rui menyandarkan dagunya di tangan. “Atau mungkin kau terlalu mudah ditebak.”

Kaisar tertawa kecil. Suara tawa itu dalam, namun terdengar tulus, membuat Lan Mei yang berdiri di luar pintu menatap dengan kaget. "Kapan terakhir kali Kaisar tertawa seperti itu?" ujarnya pelan

"Tidak pernah " jawab Jun Hao pengawal pribadi kaisar Wang Tian Ze

Lan Mei yang mendengar ucapan itu menoleh ke arah Jun Hao, "Siapa yang bertanya padamu?"

"Aku hanya memberi tau " jawab Jun Hao sembari memandang lain tidak berani memandang Lan Mei

"Tuan apa aku sangat menyeramkan?, nonaku bilang aku cantik tapi kenapa tuan seperti takut melihat ku, padahal yang menyeramkan itu tuan" ujar Lan Mei lalu pergi meninggalkan Jun Hao yang masih terdiam mendengar ucapan Lan Mei.

---

Setelah beberapa saat hening, Rui mengamati ruangan gelap itu. Ia tiba-tiba berdiri, berjalan ke arah lentera merah darah di sudut ruangan.

“Lentera ini…” Rui mengetuk kaca lentera. “Tidak bisakah kau ganti dengan sesuatu yang lebih hangat? Warna merah begini membuat ruangan terlihat seperti rumah jagal, bukan kamar pengantin.”

Kaisar mengerutkan kening, tapi Rui sudah melanjutkan.

“Aku lebih suka lentera emas atau putih. Atau paling tidak biru. Kau tahu, warna yang membuat mata nyaman. Kalau tidak, aku bisa saja buta sebelum sempat melihat wajah tampanmu tiap malam.”

Kaisar lagi-lagi terdiam. Bibirnya bergerak, seperti menahan sesuatu. Hingga akhirnya ia benar-benar tertawa lebih keras dari sebelumnya.

“Tidak ada seorang pun yang berani mengomentari lentera istanaku… kecuali kau.”

Rui menoleh sambil tersenyum lebar.

“Kalau begitu, anggap saja aku mulai mendekorasi rumah kita. Kau tidak ingin pengantinmu kabur hanya karena pencahayaan yang buruk, bukan?”

“…..”

Sekali lagi, Kaisar kalah. Ia benar-benar tidak bisa melawan logika gadis ini.

---

Malam Berlanjut

Kaisar akhirnya berdiri, mendekati Rui. “Rui Zhi Han, kau benar-benar membuatku ingin melihat sampai sejauh mana keberanianmu bertahan.”

Rui tidak mundur, bahkan saat bayangan Kaisar menelan dirinya.

“Kalau begitu, jangan hanya ingin. Buktikan.”

Mata Kaisar menyala merah, tapi bukan karena marah. Ada sesuatu yang berbeda: ketertarikan.

“Baiklah. Mulai malam ini, kau akan tidur di paviliunku.”

Rui tersenyum pada Kaisar.

“Kalau aku tidur di paviliunmu, pastikan tempat tidurnya empuk. Kalau tidak, aku akan protes lagi besok.”

Kaisar mendengus kecil, tapi senyumnya tidak bisa disembunyikan.

“Wanita ini benar-benar… berbahaya.

Malam itu, Rui dibawa ke paviliun Kaisar sendiri. Para pengawal dan pelayan hampir tidak bisa mempercayai mata mereka. Belum pernah ada wanita yang mendapat kehormatan seperti itu.

Dan Kaisar Kegelapan, yang biasanya dikenal dingin, untuk pertama kalinya terlihat… hidup.

Bagi Rui, ini baru awal dari permainan panjang. Tapi bagi Kaisar… entah mengapa, ia merasa dirinya yang sedang ditaklukkan.

Di kejauhan, Lan Mei tersenyum samar, berbisik pada dirinya sendiri:

“Nona… sepertinya bukan hanya anda yang berbahaya, tapi Kaisar juga mulai kehilangan kendali. Dunia mungkin akan benar-benar berubah.”

---

Bersambung