"Biar saya yang menikahi Dira, Om."
"Apa? Gak bisa! Aku gak mau!"
***
Niat hati menerima dan bertunangan dengan Adnan adalah untuk membuat hati sang mantan panas, Indira malah mengalami nasib nahas. Menjelang pernikahan yang tinggal menghitung hari, Adnan malah kedapatan berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Di saat yang bersamaan Rada—mantan kekasihnya, datang menawarkan diri untuk menjadi pengganti Adnan. Indira jelas menolak keras karena masih memiliki dendam, tetapi kedua orang tuanya malah mendukung sang mantan.
Apa yang harus Indira lakukan? Lantas, apa yang akan terjadi jika ia dan Rada benar-benar menjadi pasangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deshika Widya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak Apa-Apa
Matahari akhir pekan belum terlalu tinggi. Langit masih teduh, angin sejuk bertiup ringan dari arah taman kota yang terletak tidak jauh dari kompleks tempat tinggal Indira dan Rada. Seperti akhir pekan biasanya, Rada sudah mengenakan pakaian olahraga dan mulai berlari kecil mengelilingi lintasan.
Langkahnya mantap. Napasnya stabil. Namun, wajah tampannya terlihat muram.
Dari belakang, Indira mengikuti dengan jarak yang tak begitu jauh. Celana training abu gelap dipadu dengan hoodie tipis warna salem membuat penampilannya santai tapi tetap enak dipandang. Namun, tak ada senyum di wajah cantiknya. Hanya ada pandangan sedih yang tak pernah lepas dari punggung pria di depannya.
Rada masih diam, bahkan sejak pulang kantor kemarin sore. Padahal Indira sama sekali tak menerima tawaran Revan untuk pulang bersama kala itu. Ia tetap pulang bersama Rada meski harus menunggu di halte yang terletak sebelum kantor Nuswantara.
Tak kurang-kurang, Indira pun sudah meminta maaf secara langsung pada Rada setelah tiba di rumah. Namun, pria itu tetap bersikap tak acuh.
'Dia semarah itu? Apa, sih, yang bisa bikin cowok stop ngambek kayak gini?' batin wanita itu bingung bercampur kesal.
Jujur saja, rasanya tidak enak terus didiamkan oleh satu-satunya orang yang kita lihat di rumah.
Suasana taman pagi itu cukup ramai. Banyak keluarga yang duduk di bangku, para ibu-ibu yang senam di lapangan kecil, serta anak-anak yang berlarian mengejar gelembung sabun.
Akan tetapi, bagi Indira semua itu terasa sunyi.
Sepi, karena satu-satunya orang yang ia inginkan untuk bicara, malah memilih diam seribu bahasa.
Sudah tiga kali putaran mereka mengelilingi taman, namun satu kata pun tak keluar dari bibir Rada. Bahkan sekadar menoleh pun tidak.
'Ck! Kalau cemburu bilang aja! Gak usah diem-dieman kayak gini,' gumamnya nyaris tak terdengar.
Karena terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri, Indira tak sadar jika kakinya menapak ke permukaan yang sedikit tidak rata.
"Aw!"
Tubuh Indira kehilangan keseimbangan. Ia jatuh dengan lutut lebih dulu menyentuh paving block cukup keras. Meski celana panjangnya memberi perlindungan, tetap saja lututnya terluka.
"Dira!"
Akhirnya suara itu terdengar.
Rada yang sedari tadi terus diam, sontak menghentikan langkah dan berbalik ketika mendengar suara sang istri. Ia berlari cepat ke arah wanita itu.
"Kenapa gak hati-hati, sih?" tanyanya cemas sambil menyingkap sedikit bagian lutut Indira untuk melihat luka lecet di sana.
"A-aku ...."
Belum selesai menjelaskan, tubuh Indira sudah melayang ringan di udara. Rada-lah pelakunya.
"Kamu ngapain, Rad?!" Wanita itu terkejut.
"Diam," sahut Rada singkat. Ia sudah menggendong tubuh istrinya dengan posisi bridal style dan melangkah cepat ke arah bangku taman di sisi kanan jalur lari.
Harusnya Indira memberontak. Namun, entah kenapa tangannya malah refleks melingkar di leher Rada. Matanya pun malah terpaku pada rahang tegas sang suami yang tampak lebih seksi jika sedang berkeringat seperti ini. Sampai akhirnya ia tersadar saat Rada dengan perlahan menurunkannya ke bangku panjang.
"Tunggu di sini," ucap pria itu sembari berlalu ke arah warung kecil yang berada di luar pagar taman. Tanpa menoleh sedikit pun.
Indira hanya bisa memandangi punggung suaminya yang kian menjauh. Seutas senyuman indah pun terbit, melihat sikap sang suami yang sedikit membaik.
Tak sampai 5 menit Rada sudah kembali dengan sebotol air mineral.
"Minum dulu," katanya sambil menyerahkan botol tersebut pada Indira. Tentu setelah ia buka penutupnya.
Wanita itu menerima dengan diam, lalu meminumnya perlahan. Sementara Rada menatap lutut Indira yang tadi sedikit terluka. Tatapannya tak setegang tadi, tapi tetap belum juga bicara.
"Sakit?" tanyanya kemudian yang membuat Indira hampir tersedak.
Wanita itu tidak langsung menjawab. Ia malah menatap mata Rada dalam-dalam. Sorot mata yang semula begitu dekat dan hangat, kini seperti dinding yang terasa dingin dan sulit untuk digapai.
"Bisa dibawa jalan?" tanya pria itu lagi.
"B-bisa."
Mereka kembali diam. Hanya duduk berdampingan. Tatapan keduanya sama-sama tertuju ke arah langit yang biru, dihiasi awan putih berarak pelan. Di sekeliling, suara anak-anak, deru sepeda roda dua, dan nyanyian dari pengeras suara taman terus terdengar. Namun, semua itu seolah tak berhasil menembus ruang sunyi di hati Indira dan Rada.
Sampai akhirnya Indira sudah tak tahan. Wanita itu mengeluarkan suara pelan dengan buliran bening yang tiba-tiba berjatuhan.
"Rad ... maaf ...."
Rada sedikit terkejut. Ia menoleh ke samping dan mendapati pipi sang istri basah oleh air mata. Sontak saja pria itu menggeser duduknya.
"Hei, kenapa nangis?" tanyanya sembari mengusap lembut air mata di pipi Indira.
Wanita itu belum menjawab. Matanya hanya menatap Rada dalam. Entahlah. Indira pun tidak mengerti kenapa ia menangis seperti ini. Yang pasti, perasaannya sungguh tak nyaman saat Rada bersikap seolah tak peduli.
Meski hanya lewat tatapan, Rada paham apa yang tengah wanita itu pikirkan. Maka, ia tak banyak bertanya dan memilih membawa tubuh sang istri ke dalam pelukan.
"Udah. Aku gak apa-apa," katanya.
Indira masih belum bersuara. Hanya isakannya yang terdengar di telinga Rada. Tak apa. Sejak dulu pun wanita itu memang tidak bisa berbicara ketika sedang menangis.
Ya, Indira-nya masih tetap sama.
Dua manusia itu tampak nyaman berpelukan di bangku taman. Tak peduli sekalipun kini orang-orang tengah menatap dengan berbagai tatapan. Termasuk seorang pria yang perlahan mendekat dengan ekspresi tak terbaca.
"Rada, Dira?"
Deg.
mau berpaa kali pun mah gasken kan halal'