Pernikahan tanpa Cinta?
Pernikahan hanyalah strategi, dendam menjadi alasan, cinta datang tanpa di undang. Dalam permainan yang rumit dan siapa yang sebenernya terjebak?
Cinta yang menyelinap di antara luka, apakah mereka masih bisa membedakan antara strategi, luka, dendam dan perasaan yang tulus?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon _Luvv, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30
“Diandra…”
Suara panggilan itu membuat langkah Diandra terhenti. Ia menoleh, menemukan seorang pria paruh baya tengah menatapnya dengan senyum tipis.
Ada sesuatu yang mengusik ingatannya. Wajah itu tidak asing, tapi Diandra tidak mampu mengingat siapa dia.
“Ya?” sahut Diandra ragu, alisnya sedikit berkerut.
“Kamu tidak mengenal saya?” tanyanya. Senyuman yang terbit di bibir pria itu samar, nyaris seperti ejekan di mata Diandra.
Ia berusaha mengingat. Sosok ini jelas pernah ia lihat entah di mana, tapi tetap saja, nama maupun perannya tidak muncul di kepalanya.
“Diandra Elene Maris, putri bungsu Harris Aditama… bukan begitu?”
Deg. Mata Diandra melebar. Bagaimana mungkin pria asing ini tahu identitasnya? Bahkan di rumah sakit ini, hanya Kevin yang tahu siapa orang tuanya.
“Maaf… anda mengenal saya?” tanyanya sopan, meski hatinya mulai gelisah.
Pria itu terkekeh pelan. Nada tawanya terdengar janggal, membuat Diandra semakin bingung. Apakah dia salah satu teman lama ayahnya? Atau…
“Bagaimana bisa kamu menikah dengan Lingga, kalau kamu bahkan tak mengenal ayah mertuamu sendiri, Diandra?”
Kata-kata itu menghantamnya. Seketika darahnya berdesir cepat. Jadi… pria ini adalah...
“Yudhistira Wijaya…” bisik Diandra hampir tak terdengar.
Ayah kandung Lingga.
Wajahnya yang hanya pernah dilihat Diandra lewat foto-foto media yang terlihat dingin, kaku, nyaris tanpa ekspresi dan kini hadir di hadapannya. Dan meski tetap terlihat kaku, ada sesuatu yang berbeda ketika dilihat secara langsung. Ada lapisan lain yang tak bisa Diandra definisikan.
“Ah, maaf… saya benar-benar tidak tahu,” ucap Diandra cepat, merasa bersalah karena ketidaksopanannya.
Yudhistira hanya mengangguk tipis. “Tak masalah. Kita memang jarang bertemu.”
Ucapan sederhana itu membuat Diandra sedikit lega. Ia mengulas senyum samar.
“Mau makan siang bersama?” tawar Yudhistira tiba-tiba.
Refleks, Diandra melirik jam di pergelangan tangannya. Memang sudah waktunya makan siang, tetapi hatinya masih canggung. Bagaimana mungkin ia bisa langsung duduk semeja dengan ayah mertuanya yang baru ditemui untuk pertama kali? Namun, menolak rasanya pun tidak sopan.
“Ayah.”
Suara lembut Kanaya memecah kecanggungan. Ia baru saja keluar dari ruang rawat inap anaknya, lalu mendekat dengan langkah hati-hati.
“Ajak kakak iparmu makan siang di restoran depan, Nay. Ayah tunggu di sana,” ucap Yudhistira singkat, lalu beranjak pergi dengan wibawa yang sulit terbantahkan.
Kanaya menoleh ke arah Diandra, senyumnya lemah. “Dok, temani saya…” ucapnya, nyaris seperti permohonan.
Diandra sempat ragu, tapi akhirnya mengangguk. Ada sesuatu dalam sorot mata Kanaya yang membuatnya tak tega menolak—seolah ada jarak yang begitu lebar antara ayah dan anak itu, jarak yang bahkan Kanaya sendiri tak sanggup melompati.
---
Tak lama kemudian, mereka duduk di sebuah restoran tak jauh dari rumah sakit. Hidangan yang tersaji di meja tampak menggugah selera, tetapi bagi Diandra, selera makan seakan lenyap. Untuk pertama kalinya ia duduk semeja dengan ayah mertuanya yang tak lain adalah rival bisnis papanya sendiri.
Lucu rasanya, pikirnya. Hidup sering mempertemukan orang-orang yang justru berusaha saling menghindar. Ia bertemu Kanaya secara tak terduga, dan kini harus berhadapan dengan Yudhistira dalam situasi yang tak pernah ia bayangkan.
Dari cara pria itu memandangnya, Diandra tahu betul: Yudhistira tidak sepenuhnya menerimanya. Ada penilaian yang dingin, menembus dirinya seakan mencari-cari kesalahan.
“Sudah lama bekerja di rumah sakit itu?” tanya Yudhistira membuka percakapan dengan nada basa-basi.
“Hampir dua tahun,” jawab Diandra singkat.
“Kanaya bilang kamu yang banyak membantunya?” lanjut Yudhistira, menatap penuh selidik.
Diandra sempat menunduk menatap potongan beef di piringnya, lalu mengangkat kepala. “Tidak sepenuhnya benar. Lingga juga ikut yang mengurus semuanya. Saya hanya kebetulan ada di sana.”
“Kamu tahu, tidak seharusnya kamu tidak ikut campur, Diandra.” Suara Yudhistira terdengar datar, namun sarat tekanan.
Diandra menatap balik tanpa gentar. “Anda benar, itu memang bukan urusan saya. Tapi ketika melihat seorang anak menjadi korban kekerasan ayahnya sendiri, naluri saya tergerak. Saya tidak bisa pura-pura menutup mata.”
Wajah Yudhistira tetap tak berubah, tapi sorot matanya semakin tajam. “Kamu tahu berapa besar kerugian yang bisa saya tanggung? Felix Gunawiharja itu anak seorang pejabat. Dia adalah salah satu pilar usaha saya. Kalau kasus ini sampai ke meja hukum, dia bisa menjatuhkan saya kapan saja.”
Kali ini Diandra mencondongkan tubuh sedikit ke depan, matanya menyala dengan keberanian. “Dan anda akan membiarkan cucu anda hancur begitu saja, hanya demi menjaga nama baik?”
Kanaya yang duduk di sampingnya hanya menunduk, jemari tangannya menggenggam erat hingga tampak bergetar. Adegan itu semakin menegaskan pada Diandra: keluarga ini tidak sehat. Luka mereka begitu dalam, dan diam seolah sudah menjadi tradisi.
Untuk sesaat, Yudhistira terdiam. Diandra tahu, pria itu sedang menimbang kata-katanya. Dalam hati Yudhistira mengakui, perempuan di hadapannya ini berbeda. Perempuan yang mampu membuat Lingga putranya yang dulu anti pernikahan kini berubah dan memilih menikah, bahkan dengan anak dari rivalnya sendiri.
“Itu urusan saya,” akhirnya ucap Yudhistira datar, mencoba menutup diskusi.
Namun Diandra hanya tersenyum tipis. “Apakah anda tahu seberapa dalam luka di tubuh cucu anda? Luka itu terlalu parah untuk anak seusianya, bahkan cucu anda bisa trauma. Apa anda tidak dengan mentalnya? Bagaimana dengan masa depannya?”
Kata-katanya menusuk, tenang namun tegas.
“Saya paham, bagi anda bisnis dan nama baik mungkin segalanya. Tapi keluarga… keluarga seharusnya lebih berarti daripada semua yang anda miliki. Anda punya anak perempuan yang bertahan dalam pernikahan penuh luka, pernikahan yang anda paksakan. Dan sekarang, cucu anda ikut menanggung akibatnya.”
Sejenak keheningan menyelimuti meja.
Diandra menghela napas panjang, lalu bangkit dengan senyum tipis ke arah Kanaya. “Mbak Kanaya, saya pamit. Saya harus kembali ke rumah sakit.”
Kanaya hanya bisa menatapnya, hatinya penuh rasa syukur sekaligus getir. Sementara Yudhistira masih terpaku, menatap sosok menantu yang baru saja mengguncang keyakinannya dengan kata-kata sederhana namun begitu membekas.
“Ada ya manusia yang cuma mikirin kekuasaan dan bisnis,” gerutu Diandra dengan wajah kesal.
Ia masih bisa merasakan panas di dadanya setelah makan siang tadi. Selama ini ia selalu mengira keluarganya sudah cukup buruk dengan segala persaingan dan intrik, tetapi ternyata ada yang lebih parah, orang tuanya mengorbankan kebahagiaan anaknya sendiri hanya demi nama baik, relasi, dan kekuasaan.
“Kalau bukan orang tua, udah gue tonjok mukanya,” ucapnya lagi, penuh emosi yang sejak tadi ia tahan.
“Siapa yang mau kamu tonjok?”
Suara familiar itu membuat Diandra menoleh. Lingga berdiri di belakangnya dengan alis terangkat, tatapannya penuh tanda tanya.
“Ngapain ke sini?” tanya Diandra ketus, mencoba menutupi kekesalannya.
“Tadi mau jenguk Qiara, tapi dia masih tidur.” Lingga berjalan santai mendekat, lalu menambahkan, “Kanaya mana?”
“Makan siang sama ayahnya,” jawab Diandra datar sambil melangkah menuju ruangannya.
Namun saat tangannya baru menyentuh gagang pintu, langkah di belakangnya terhenti. Diandra menoleh, melihat Lingga berdiri kaku, sorot matanya berubah tajam seolah sedang mencerna ucapan barusan.
“Kenapa?” tanya Diandra bingung.
Lingga menatapnya lurus. “Dimana?” suaranya terdengar dalam, mengandung ketegangan yang tak biasa.
“Restoran depan…” belum sempat Diandra menyebutkan nama restorannya, Lingga sudah berbalik dan berlari keluar tanpa menoleh lagi.
Diandra hanya bisa mendengus, lalu membuka pintu ruangannya. “Kan… emang agak aneh keluarga itu,” gumamnya, setengah kesal, setengah lelah.