Sebuah insiden kecil membuat Yara, sang guru TK kehilangan pekerjaan, karena laporan Barra, sang aktor ternama yang menyekolahkan putrinya di taman kanak-kanak tempat Yara mengajar.
Setelah membuat gadis sederhana itu kehilangan pekerjaan, Barra dibuat pusing dengan permintaan Arum, sang putri yang mengidamkan Yara menjadi ibunya.
Arum yang pandai mengusik ketenangan Barra, berhasil membuat Yara dan Barra saling jatuh cinta. Namun, sebuah kontrak kerja mengharuskan Barra menyembunyikan status pernikahannya dengan Yara kelak, hal ini menyulut emosi Nyonya Sekar, sang nenek yang baru-baru ini menemukan keberadan Yara dan Latif sang paman.
Bagaimana cara Barra dalam menyakinkan Nyonya Sekar? Jika memang Yara dan Barra menikah, akankah Yara lolos dari incaran para pemburu berita?
Ikuti asam dan manis kisah mereka dalam novel ini. Jangan lupa tunjukkan cinta kalian dengan memberikan like, komen juga saran yang membangun, ya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Be___Mei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hello, Mr. Actor Part 20
...-Jangankan kamu yang putus cinta, dompet kempes juga bisa menangis-...
...***...
"Pesen aja, aku yang bayar."
Kedua mata Valery memicing menatap dalam pada Latif. Pria itu sedang menikmati kopi hangat di kursi santai depan minimarket Kong Komar. Selain kopi, ada juga kue-kue yang dia beli dari pedagang pinggir jalan sekitaran situ.
"Ngapain bengong?"
"Takut banget ditraktir kamu," jawab Valery tanpa basa-basi.
Latif tertawa, namun, lebih terlihat seperti orang yang merasa hina. "Hei Nona Valery, kali ini duit aku halal, ya. Lagipula aku dapet duit dari Jefrey, abang kamu. Ya kali si Jef ngasih uang haram, emang dia bisnis apaan? Jual beli jeroan manusia?"
Pletok!!
Sama seperti Yara, Valery juga ringan tangan terhadap Latif. Pria yang mengoceh panjang beberapa detik lalu sekarang meringis, memegangi kening yang terasa ngilu.
"Ya Allah, memang, ya. Perempuan tu nggak bisa dikasih hati, dikasih baik malah dibalas bogem mentah."
"Diem!" hardik Valery. "Emraaann!" gadis ini berteriak pada Emran yang duduk di balik kasih minimarket.
Alih-alih datang menghampiri, Emran menyikapi teriakan Valery dengan anggukan tanya.
"Pesen sosis saos pedas toping keju dobel layer, ya. Sama susu soda jumbo."
Emran mengacung jempol dari dalam minimarket.
"Em!" panggil Valery lagi.
"Sosisnya porsi dobel, ya. Jangan lama, aku lapar!"
"Yoi" balas Emran disertai jempol lagi.
Baru saja Valery duduk bersama Latif, tatapan pria ini membuat berkerut keningnya. "Kenapa? Asem banget mukanya."
"Sosis yang dijual Kong Komar gede, lho, Vale. Kamu yakin bisa ngabisin dua porsi? Pake toping lengkap pula!"
"Jangankan sosis Kong Komar. Kepala kamu aja bisa aku makan kalau lagi laper begini."
"Lailahailallah, porsi makan sama badan nggak sinkron. Kamu miara cacing dalam perut?"
Vale berdiri, berkacak pinggang menatap tajam pada Latif, "Nggak ikhlas, ya, aku pake duit kamu buat makan? Pesenan segitu paling cuman habis 100 ribu."
Latif sadar dia salah, dan dia sangat tahu Valery lebih ganas dari Yara. Demi keamanan badannya, ia berusaha menghentikan obrolan berbahaya yang mulai memantik api kemarahan Valery.
"Enggak, kok. Pesen aja, Neng Vale yang manis. Hidup aku cuman buat kamu sama Yara kenyang, suer deh," cicit Latif.
Seperti singa betina yang sedang lapar, tatapan mata Valery berkilat dan berkobar, seolah siap membakar Latif yang banyak bicara.
"Em!" Lagi, Valery memanggil Emran. Kali ini si gondrong tanggung menyembulkan kepala dari balik pintu.
"Apa lagi?"
"Tambahin es krim, ya."
"Es krim 7000?"
Dari belakang Valery, Latif memohon agar es krim itu yang gadis ini pesan. Namun ...
"Oh, ogah! Kemanisan. Magnum, boleh nggak?" Menatap penuh harap pada Latif, sungguh Valery sangat profesional dalam merampok paman durjana ini.
"Bo---boleh. Ambil aja, sekulkas-kulkasnya juga boleh."
Emran terbahak, ia baru sadar bro Latif sedang kerampokan.
"Nah! Boleh kata donatur. Buruan, ya. Udah lapar banget ini."
"Buruan, Emran! Entar kepala aku yang dia makan."
Emran lagi-lagi terbahak, kali ini Valery juga ikut terbahak. Sementara Latif, bibir bawahnya keluar, menyesali dirinya yang sangat percaya diri mentraktir Valery.
Vale tahu sikapnya keterlaluan, tapi sesekali boleh dong balas dendam untuk Yara. Pertemuanya dan Latif malam ini memang mereka rencanakan, nongkrong di depan minimarket sambil menunggu Yara pulang.
"Sudah ada jawaban?" tanya Vale, setelah sekian menit membiarkan Latif hanyut dalam lamunan. Entah karena memikirkan isi dompet yang menjerit, atau memikirkan sang keponakan yang belum pulang.
"Belum. Padahal aktif, lho, nomornya."
"Dia nggak cerita mau pergi sama siapa, tadi malam atau kemarin-kemarin?"
"Enggak. Ck! Sebenarnya dia kemana, ya? Apa jangan-jangan loncat dari jembatan karena kecewa jadi pengangguran?"
"Latif! Kalau ngomong dipikir dulu! Ini kalau ada malaikat terus dia amiinin ocehan kamu, gimana?" hardik Valery.
"Ya, maaf. Tapi aku beneran kepikiran, lho. Kalau dia beneran ninggalin aku, gimana? Kamu mau nampung aku?"
"Ihhh, kok aku?"
Dua anak manusia ini terus mengobrol hal yang tak berfaedah. Hingga sampai Emran datang dengan pesanan Valery, Yara belum juga datang.
Bukan hanya Latif, baik Valery juga Emran juga sudah menghubungi nomor Yara, dan hasilnya nihil.
Mengadakan ritual menunggu Yara secara berjamaah, tiga orang ini beradu cemas dan tanya akan hal apa yang telah terjadi para Yara.
"Lapor polisi aja, yuk."
"Belum 24 jam, Em!" ujar Latif.
"Eh, siapa tuh?" Valery yang lebih dulu melihat sebuah mobil mewah singgah di depan gang menuju rumah Yara dan Latif.
Tiga pasang mata kini terfokus pada mobil tersebut. Tanpa diduga, seorang pria lebih tinggi dari Latif keluar dan membuka pintu lain untuk seorang wanita berkerudung.
Ya, wanita itu adalah Ayara. Gegas Latif menghampiri mereka, disusul Valery. Sementara Emran dia hanya memantau dari depan minimarket. Bisa digorok Kong Komar kalau dia meninggal minimarket tanpa ada yang menjaga.
"Kamu siapa?" tanya Latif pada Shafi. Seperti aliran listrik, dua pria ini saling bertatapan
"Hai, Abang."
Waw! Gebrakan apa ini?! Yara pulang bersama Shafi, tuan muda dari keluarga Jatmika yang telah lama mereka hindari.
"Yara, kamu dari mana? Kok nggak bisa dihubungi?"
"Hape aku disita sama dia," ujar Yara menunjuk pada Shafi.
Shafi melemparkan senyuman pada Valery. Sikap ini membuat Latif kesal.
"Siapa dia?" bisik Valery.
"Adik tiri Latif." Jawaban Yara membuat Valery membulatkan mulutnya, kemudian diam saja. Dia mencium aura pertikaian dalam hubungan kakak dan adik dua pria ini.
"Terima kasih sudah nganterin Yara. Kamu pulang sana."
Shafi menolak keinginan Latif. Ia berkata akan ikut ke rumah mereka. Tak ingin berdebat, Latif membiarkan Shafi mengantarkan mereka sampai ke rumah. Ia berharap setelah itu Shafi akan langsung pulang.
Tanpa basa-basi tuan muda ini mengomentari lingkungan kediaman Yara dan Latif. "Kumuh, ayo pindah ke rumah kita aja," ucap Shafi membuat kening Adrian berkerut.
"Rumah kita? Rumah yang mana?" Latif berjalan di depan Shafi awalnya, dan kini ia berbalik badan menatap Shafi.
Rasanya sangat menyebalkan mendapat perlakuan seperti itu, dari saudara yang selama ini dia rindukan. Tapi, Shafi menyadari kisah masa lalu orang tua mereka meninggalkan luka pada hati masing-masing dari mereka, baik para orang tua, juga anak cucu mereka.
Itu adalah takdir, dan tak ada manusia yang dapat mengubahnya. Selain berdamai dengan keadaan, menyikapinya dengan emosi yang tak berkesudahan hanya membuat luka lama akan tetap berdarah.
Jika Handaru pergi dengan membawa Hastuti, hingga menimbulkan rasa bersalah pada hati Hastuti juga keturunannya, lain halnya dengan Sekar. Alih-alih marah pada Hastuti dan Handaru, dia pun merasakan rasa bersalah yang berkepanjangan.
Sekar terlambat menyadari, andai dirinya tak hadir di antara mereka, mungkin jalan hidup mereka akan berbeda. Namun, sekali lagi ... apa yang telah ditetapkan sang maha pencipta, tak seorangpun manusia dapat mengubahnya. Sama seperti Sekar yang menyimpan rasa bersalah, Shafi pun sama. Menanamkan kebencian pada hati sang putra bukanlah pilihan yang diambil Sekar. Dia selalu mengatakan kepada putra semata wayangnya bahwa Latif adalah saudara laki-lakinya yang baik.
"Bang ... kita saudara. Kita pernah tinggal serumah waktu kecil."
Latif menarik lengan Yara agar meninggalkan Shafi, "Nggak usah inget masa lalu."
Ternyata kaki jenjang Shafi dapat dengan mudah menyusul langkah mereka.
"Bang!"
"Kalian masuk. Aku perlu ngomong sama dia. Dan kamu! Ikut aku!" Tanpa persetujuan Yara dan Vale, dua gadis ini didorong ke dalam rumah dan Latif mengunci pintu untuk segera bicara empat mata dengan Shafi.
Sebuah taman bermain, menjadi saksi dua saudara yang telah lama tak bertemu ini bicara.
"Kamu yang menguntit Yara, atau dia yang nyamperin kamu?"
Mengambil duduk pada ayunan taman. "Menguntit? Nggak ada kata yang lebih bagus, Bang?" Shafi rasanya tak rela jika disebut penguntit. Dia tampan, mapan, disebut sebagai penguntit bagai sebuah hinaan baginya.
Mengambil duduk di sebuah perosotan, Latif enggan duduk bersebelahan dengan Shafi, meski ayunan disamping sang adik kosong tak berpenghuni.
"Aku nggak buta, aku juga nggak pikun. Kamu sudah beberapa kali menguntit Yara. Ngaku aja. Mobilmu sering parkir di depan minimarket kong Komar."
"Aku cuman mau mastiin kalian baik-baik, kok."
"Kami baik-baik aja. Sudah liat 'kan? Sekarang kamu pulang. Jangan balik lagi."
"Kalau baik-baik aja, kenapa sertifikat rumah kita ada sama Jefrey?" Shafi mengabaikan penolakan yang terus Latif tunjukkan padanya.
"Kamu juga menguntit aku? Wah, parah kamu Sapi. Bukannya CEO sibuk, ya. Sempat-sempatnya memerhatikan kami, padahal kami nggak minta diperhatikan, lho."
Sapi? Selalu begitu cara Latif memanggil Shafi, seperti orang buta huruf. Padahal dia tahu betul bagaimana cara mengeja nama sang adik.
"Bukan gitu, Bang. Aku cuman mau bantu nebus sertifikat rumah itu. Tapi Yara menolak kartu yang Mami kasih ke dia. Eh, omong-omong, Yara belum tau 'kan masalah sertifikat rumah di tangan Jefrey?"
"Jangan ember, ya! Urus aja deh urusan kalian. Kamu buruan pergi dati sini. Kamu tu bikin aku ingat sama Ayah dan ibuku!" Latif diam usai mengatakan hal ini.
Tertunduk Shafi mendengarnya, kemudian dia berkata. "Maaf. Mami nyesel banget, Bang."
"Sudahlah. Kalau kamu nggak mau pergi, terserah. Aku yang pergi."
"Bang!" Lekas Shafi mengejar langkah Latif yang hendak meninggalkannya.
"Oke, aku pergi. Tapi izinkan aku menebus surat rumah kita. Oke?" Tangannya memegangi lengan kekar Latif, kali ini kontak fisiknya tak mendapat penolakan.
"Itu rumah kami. Stop bilang itu rumah kita! Lagipula aku sudah punya kerjaan. Kami bisa mengatasi masalah kami, Sap. Kalau kamu memang peduli sama kami, biarin semuanya berjalan kayak kemarin-kemarin. Aku mohon. Dan katakan pada tante Sekar, kami juga meminta maaf atas kesalahan Ibu dan ayahku. Tapi kalau untuk tinggal seatap, rasanya kami nggak tau diri banget!"
Desahan napas berat mengiringi kepergian Latif dari hadapan Shafi. Sungguh, keinginannya untuk hidup bersama bagaikan hilang diterpa angin malam. Akh! Udara terasa sangat dingin, menggigit hingga ke tulang. Dengan langkah gontai pemuda ini pergi dari perkampungan itu, tanpa hasil apapun.
...***...
Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Hari ini Barra tak memiliki jadwal, dia menghabiskan waktu libur ini untuk menemani sang putri tercinta. Namun, kebahagiaan yang ia tawarkan ditolak mentah-mentah oleh Arum.
"Kenapa harus membawa tante Enzi?"
Bahkan setelah waktunya beristirahat, Arum masih menanyakan hal itu. Seharian bersama Enzi membuat emosi Arum meletup-letup.
"Dia 'kan sayang sama kamu."
Jawaban ini membuat hati Arun gonjang-ganjing, diliputi emosi yang tinggi.
Akhir-akhir ini ayahnya sering membicarakan Enzi, dan Arum langsung teringat dengan ucapan Barra yang berniat menikahi wanita itu.
"Akh! Ayah jahat!"
"Arum! Ayah nggak pernah ngajarin kamu ngomong kayak gitu ," tegas Barra.
Arum menangis lagi. Sudah beberapa kali gadis kecil ini menangis, tangisnya reda, dan menangis lagi. Barra rasanya ingin masuk ke dasar bumi, karena lelah dengan tingkah sang putri.
Melirik jam di dinding." Arum ... ini sudah tenang malam. Ayo kita tidur."
"Ayah tidur aja, sana!" sentak Arum.
Saat ini Barra rebahan di ranjang Arun, bersebelahan dengan sang putri yang enggan menatapnya.
"Arumku sayang ... udah dong nangisnya. Besok kamu harus sekolah, jangan sampai kesiangan. Ayah juga ada jadwal syuting besok. Ayolah, Nak ... maafin ayah sekali iniiiiii aja." Penuh harap Barra mencoba merayu Arum. Sayangnya gadis kecil sangat sulit diajak berdamai.
"Besok syuting sama siapa? Tante Enzi lagi?" Tangisnya reda kembali. Dan genangan air mata pun telah ditepisnya.
Barra mengambil duduk dan dengan berat hati mengangguk.
"Hais! Ayah apa nggak bisa berhenti aja jadi artis! Kenapa tante Enzi lagi, tante Enzi lagi! Ayah pergi aja sana! Arum kesal, rasanya mau membakar bumi!" Entah mendapat kekuatan dari mana, Arum turun dari atas ranjang dan menarik lengan Barra hingga akhirnya sang ayah yang sudah sangat mengantuk itu berakhir terusir dari kamar sang putri.
Brak!
Arum sangat kelewatan, dia menutup pintu dengan kasar. Barra terperangah setengah mati.
"Arum Gemala!!"
Lampu kamar yang terang berganti menjadi redup. Pertanda Arum akan segera tidur.
"Oh ya Allah, dapat dari mana sikap menyebalkan gadis iniiii?!" Barra menggeram seraya pergi dari hadapan kamar sang putri.
...To be continued ......
...Terima kasih sudah berkunjung. Jangan lupa like, komen dan kasih saran yang membangun, ya....
Kamu seorang laki-laki ... maka bertempurlah sehancur-hancurnya!
Yakin tuh ga panas Barra 😄
Gitu dong, lindungin Yara..
Masa iya Yara bener mamanya Arum