Sebelas tahun lalu, seorang gadis kecil bernama Anya menyelamatkan remaja laki-laki dari kejaran penculik. Sebelum berpisah, remaja itu memberinya kalung berbentuk bintang dan janji akan bertemu lagi.
Kini, Anya tumbuh menjadi gadis cantik, ceria, dan blak-blakan yang mengelola toko roti warisan orang tuanya. Rotinya laris, pelanggannya setia, dan hidupnya sederhana tapi penuh tawa.
Sementara itu, Adrian Aurelius, CEO dingin dan misterius, telah menghabiskan bertahun-tahun mencari gadis penolongnya. Ketika akhirnya menemukan petunjuk, ia memilih menyamar menjadi pegawai toko roti itu untuk mengetahui ketulusan Anya.
Namun, bekerja di bawah gadis yang cerewet, penuh kejutan, dan selalu membuatnya kewalahan, membuat misi Adrian jadi penuh keseruan… dan perlahan, kenangan masa lalu mulai kembali.
Apakah Anya akan menyadari bahwa “pegawai barunya” adalah remaja yang pernah ia selamatkan?
---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Hari-hari Anya kini dipenuhi rutinitas baru. Perutnya yang mulai membesar membuat semua orang di vila memberi perhatian lebih. Mommy Amara tak henti-hentinya mengingatkan tentang makanan, sementara Andara dengan ceria sering datang membawa boneka bayi, seakan-akan sudah siap menjadi tante.
“Lihat, Kak,” kata Andara suatu sore sambil menunjukkan dua boneka mungil. “Aku belikan kembar. Satu laki-laki, satu perempuan. Cocok kan?”
Anya tersenyum lembut sambil mengelus perutnya. “Mereka pasti senang punya tante seceria kamu.”
Adrian yang baru masuk dari teras langsung tertawa kecil melihat pemandangan itu. “Kalau mereka bisa dengar, pasti sudah tertawa juga.” Ia lalu berjalan mendekat dan mencium kening istrinya. “Bagaimana kabarnya hari ini? Masih mual?”
Anya menggeleng. “Sudah lebih baik. Aku bisa makan sedikit tadi siang.”
“Bagus.” Adrian meraih tangan istrinya. “Kita akan ke dokter lagi minggu depan. Aku tidak sabar melihat mereka tumbuh.”
Namun meski Anya berusaha ceria, rasa takut tetap menyelinap. Ia sadar, hamil kembar penuh risiko. Ada malam-malam ketika ia terbangun dengan keringat dingin, membayangkan kemungkinan buruk. Adrian selalu ada, menggenggam tangannya, berbisik, “Kita kuat, Sayang. Mereka kuat. Jangan takut.”
---
Meski gosip lama mulai mereda setelah wawancara televisi, media tak pernah berhenti mencari celah. Setiap kali Anya keluar rumah, kamera mengintai. Setiap ekspresinya dianalisis. Bahkan suatu kali, ketika ia tertunduk lelah di kafe, sebuah portal gosip menulis:
“Anya Terlihat Lesu, Benarkah Kehamilan Bermasalah?”
Judul itu membuat netizen gaduh. Ada yang mendoakan, ada pula yang menertawakan.
Anya membaca berita itu dengan wajah muram. “Kenapa mereka selalu mencari sisi burukku?” gumamnya.
Adrian yang duduk di sampingnya langsung meraih ponsel itu dan menaruhnya jauh. “Karena mereka tidak punya apa-apa selain gosip. Sedangkan kau punya aku, punya keluarga, dan punya dua malaikat kecil di sini.” Ia menepuk lembut perut istrinya.
Mommy Amara menambahkan, “Nak, jangan biarkan mereka mengusik hatimu. Media akan selalu mencari sensasi, tapi yang penting adalah apa yang kita jalani di dalam rumah ini.”
Kata-kata itu memberi sedikit ketenangan. Namun jauh di lubuk hati, Anya tahu ada orang yang sengaja mengatur semua ini: Dimas.
---
Di sebuah ruangan mewah penuh layar monitor, Dimas menatap berita tentang Anya sambil tersenyum dingin.
“Media hanya langkah awal. Kita harus membuat kekacauan nyata. Satu kecelakaan kecil saja, Aurelius bisa kehilangan penerusnya.”
Asistennya tampak gugup. “Anda ingin… mencelakakan Bu Anya secara langsung?”
Dimas menatapnya tajam. “Aku tidak bilang membunuh. Tapi kecelakaan yang terlihat alami, itu cukup.”
Ia lalu mengeluarkan sebuah map berisi foto-foto: jadwal rutinitas Anya, jalur mobil ke kafe, bahkan denah vila Aurelius. “Cari celah. Jangan bodoh. Kita harus pastikan semuanya terlihat kebetulan.”
Asisten itu menelan ludah, tapi tak berani membantah.
---
Suatu malam, Anya duduk di balkon vila, menatap bintang. Angin malam sejuk, tapi hatinya penuh gelisah.
“Mas…” ia memanggil pelan saat Adrian menghampiri. “Aku takut.”
Adrian duduk di sampingnya, meraih tangan istrinya. “Takut apa?”
“Takut tidak cukup kuat melindungi mereka. Dunia luar kejam, Mas. Setiap hari ada gosip baru. Aku takut anak-anak kita nanti lahir dengan beban stigma yang sama seperti yang selalu mereka lemparkan padaku.”
Adrian menatap bintang sejenak, lalu menoleh pada istrinya. “Sayang, dengar aku. Anak-anak kita tidak akan hidup di bawah bayang-bayang stigma. Mereka akan tumbuh dalam cinta, bukan dalam ketakutan. Kalau dunia luar kejam, aku akan jadi tameng. Dan kau… kau rumah bagi mereka. Itu sudah lebih dari cukup.”
Anya terisak, lalu menyandarkan kepala di bahunya. “Aku beruntung punya kamu, Mas.”
Adrian mengecup rambutnya. “Tidak, Sayang. Aku yang beruntung punya kalian.”
---
Suatu siang, Anya baru saja keluar dari kafe bersama Andara. Mereka berjalan menuju mobil yang terparkir di tepi jalan. Tiba-tiba, sebuah motor melaju kencang dan hampir menabrak Anya.
“KA—AK!!” teriak Andara panik.
Syukurlah, sopir keluarga yang berjaga sigap menarik Anya ke sisi lain, sehingga hanya tasnya yang terhempas. Anya terjatuh, memegangi perutnya dengan wajah pucat.
“Anya! Kak! Kau baik-baik saja?” Andara hampir menangis.
Anya menggeleng, napasnya terengah. “Aku… aku baik-baik saja. Mereka aman.”
Namun berita itu cepat menyebar. Judul-judul media bermunculan:
“Istri Adrian Hampir Tertabrak Motor! Bagaimana Nasib Bayinya?”
Adrian yang mendapat kabar itu langsung melesat ke rumah sakit. Begitu melihat istrinya di ruang periksa, ia langsung memeluknya erat.
“Sayang… aku hampir kehilanganmu.” Suaranya parau, matanya basah.
Anya membalas pelukannya dengan lemah. “Aku baik-baik saja, Mas. Dokter bilang bayi aman. Jangan khawatir.”
Namun Adrian tidak bisa menenangkan hatinya sendiri. Ia tahu, ini bukan kebetulan.
--
Malam itu, Adrian duduk di ruang kerja, wajahnya tegang. Daddy masuk, menatap putranya dengan khawatir.
“Kau sudah tahu, bukan? Ini bukan kecelakaan biasa.”
Adrian mengangguk. “Dimas. Hanya dia yang cukup nekat untuk melakukan ini.”
Daddy menatapnya serius. “Kalau begitu, kita harus bersiap. Jangan biarkan satu celah pun terbuka. Anya dan bayi-bayi itu harus dijaga lebih ketat.”
Adrian mengepalkan tangan. “Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyentuh mereka.”
---
Meski pengawalan diperketat, Anya tetap merasa cemas. Ia takut ke luar rumah, takut menginjak jalanan ramai. Malam-malamnya dipenuhi mimpi buruk tentang motor yang melaju kencang.
Adrian menyadari itu. Suatu malam, ia duduk di samping ranjang, menggenggam tangan istrinya yang gelisah.
“Sayang… aku tahu kau ketakutan. Tapi jangan biarkan rasa takut itu merenggut kebahagiaanmu. Kau tidak sendiri. Aku selalu ada di sini.”
Anya menatap suaminya, air mata mengalir. “Mas… kalau sesuatu terjadi padaku, janji kau akan lindungi mereka.”
Adrian langsung menutup bibirnya dengan telunjuk. “Jangan bicara begitu. Tidak akan ada apa-apa. Kau akan melahirkan mereka dengan selamat, dan kita akan membesarkan mereka bersama. Itu janji kita, kan?”
Anya terdiam, lalu mengangguk. Ia memeluk Adrian erat, berusaha percaya pada kata-katanya.
---
Bulan demi bulan berlalu. Kini perut Anya semakin besar, langkahnya semakin berat. Setiap malam ia sulit tidur, punggungnya sering nyeri, dan kakinya membengkak.
Namun di balik semua itu, ada kebahagiaan tak tergantikan setiap kali ia merasakan tendangan kecil dari dua janin di dalam perutnya.
“Mas, mereka seperti menari,” katanya suatu sore sambil tersenyum.
Adrian yang duduk di lantai, menempelkan telinga ke perutnya, tertawa kecil. “Mungkin mereka sedang bermain bola.”
Andara yang ikut duduk di sampingnya menimpali, “Atau mungkin berantem, Kak! Kan mereka kembar, pasti ada yang iseng.”
Tawa kecil memenuhi ruangan, meski bayangan ancaman tetap menghantui.
---
Sementara itu, Dimas semakin kehilangan kesabaran. “Kenapa masih belum ada hasil?!” bentaknya pada asistennya.
“Kami sudah mencoba, Pak. Tapi pengawal Aurelius terlalu ketat.”
Dimas menghempaskan gelasnya ke lantai. “Kalau begitu kita gunakan cara lain. Sebar gosip kesehatan bayi. Buat semua orang ragu apakah Anya bisa melahirkan dengan selamat.”
Asistennya terdiam, lalu mengangguk. “Baik, Pak.”
---
Beberapa hari kemudian, muncul artikel:
“Hamil Kembar, Anya Terancam Gagal Melahirkan?”
Artikel itu mengutip “sumber dalam rumah sakit” yang tidak jelas, seolah-olah kehamilan Anya sangat berisiko. Media sosial kembali gaduh, membuat Anya stres.
Namun kali ini, Adrian mengambil langkah. Ia menggelar konferensi pers, muncul bersama Anya dan dokter kandungan mereka.
Dokter dengan tegas berkata, “Kehamilan Ibu Anya sehat. Memang ada risiko karena kembar, tapi semuanya terkendali. Gosip yang beredar adalah fitnah tanpa dasar.”
Wartawan terdiam, sementara Adrian menggenggam tangan istrinya erat di depan semua kamera. “Kami lelah dengan fitnah. Tapi kami tidak akan pernah kalah. Keluarga kami lebih kuat dari gosip mana pun.”
Tepuk tangan pun bergema di ruangan.
---
Malam itu, di balkon vila, Anya kembali duduk bersama Adrian.
“Mas, perjalanan ini tidak mudah. Selalu ada serangan, selalu ada gosip. Tapi aku tidak takut lagi. Aku sudah menemukan diriku.”
Adrian meraih tangannya erat. “Dan aku menemukanmu, Sayang. Kita akan hadapi semua bersama.”
Mereka berdua menatap langit malam. Bintang-bintang bersinar terang, seolah memberi restu pada perjalanan panjang mereka.
Namun jauh di sana, Dimas masih menyusun langkah terakhirnya.
Pertempuran sesungguhnya baru akan dimulai.
Bersambung…
apalagi dukungan keluarga sangat penting untuk menyelesaikan setiap masalah
di sini aku mendapatkan banyak pelajaran terutama bahwa keluarga merupakan dukungan pertama dan nomor satu untuk melewati setiap rintangan dunia luar..
Terima kasih banyak kak inda