Terlahir dengan sendok emas, layaknya putri raja, kehidupan mewah nan megah serta di hormati menjadikanku tumbuh dalam ketamakan. Nyatanya, roda kehidupan benar-benar berputar dan menggulingkan keluargaku yang semula konglomerat menjadi melarat.
Kedua orang tuaku meninggal, aku terbiasa hidup dalam kemewahan mulai terlilit hutang rentenir. Dalam keputusasaan, aku mencoba mengakhiri hidup. Toh hidup sudah tak bisa memberiku kemewahan lagi.
[Anda telah terpilih oleh Sistem Transmigrasi: Ini bukan hanya misi, dalam setiap langkah, Anda akan menemukan kesempatan untuk menebus dosamu serta meraih imbalan]
Aku bertransmigrasi ke dalam Novel terjemahan "Rahasia yang Terlupakan." Milik Mola-mola, tokoh ini akan mati di penggal suaminya sendiri. Aku tidak akan membiarkan alur cerita murahan ini berlanjut, aku harus mengubah alur ceritanya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nolaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. Apa maksud ucapan Marquis?
Aku melompat dari kursiku, kakiku yang terkilir nyaris tak terasa sakit. Mataku terbuka lebar, memindai detail lukisan yang ada di tangan Samesh. dan mengamati setiap detailnya. Dia ahli ilustrasi! Bahkan gambar tahi lalatnya sama persis, tidak ada yang terlewat!
"Pangeran seperti dewa pelukis yang turun dari surga." Pujiku. Mataku berbinar-binar saat memandangi lukisannya, takjub.
Samesh menggaruk belakang lehernya, aku bisa merasakan kalau dirinya sedang besar kepala dan malah denial dengan kerendahan hati palsu. "Ah, itu bukan apa-apa, aku tidak ada nilainya." Tuh, kan, kalau begini, baru mirip Caspian.
"Tetapi, siapa pria ini?" Samesh bertanya, matanya penasaran menatap lukisan dj tangannya. "Kenapa kau ingin aku menggambarnya? Apa dia bertindak kriminal?"
Aku menelan ludah, pertanyaan barusan membuatku gelagapan, aku lupa menyiapkan alasan. "Anu, dia yang suka mencuri acar timun, saat makan saya selalu kehilangan acarku, jadi, saya melihatnya hanya sekilas, lain kali saya akan melemparkan sandal jika melihat pria ini lagi." Bukankah ini alasan yang bodoh setengah mati? Tapi anehnya Samesh percaya dengan ucapan melanturku.
Suara langkah kaki mendekat, teratur dan berat. Caspian datang seorang diri, raut wajahnya di penuhi kekhawatiran yang tak pernah aku lihat, dan menarik tanganku. "Aku mendengar dari Boni, kakimu terluka, apakah sangat sakit?"
Mata kami beradu sesaat, tatapan Caspian yang teduh Menembusku. Lagi-lagi jantungku berdetak aneh, berpacu tak karuan, seolah ingin keluar dari sangkar rusuk. Aku menyentakan tangannya dan berputar membelakanginya, mencoba menyembunyikan reaksi tak wajar tubuhku.
"Diamlah, diamlah Winola sialan, pergilah dasar setan!" Aku berguman pelan, memukul dadaku pelan dan mencoba menenangkan jantungku yang menggila sendiri.
"Kenapa, apa dadamu juga sakit?" Caspian kembali memegang tanganku, lebih erat, seolah tak mau di lepaskan. "Ayo, kau harus beristirahat dan menemui tabib."
Aku menyingkirkan tangannya lagi, sentuhan itu membakar tanganku. "Siapa yang mengizinkanmu menyentuh sembarangan? Lagipula aku sudah diobati, tidak perlu berlebihan."
"Aku hanya mengkhawatirkanmu, kenapa kau selalu emosi denganku?" Ia bertanya, nada suaranya sedikit kecewa.
"Wow, seseorang mulai mengkhawatirkanku. Luar biasa." Aku mendengus. Sarkasme mengalir begitu saja.
"Hey-"
"Wahhh, kalian mengabaikanku." Suara Samesh memotong. Kami lupa akan kehadirannya, ia melambaikan tangan dengan drastis. "Apa aku ini guci porselan yang malang, menonton pertikaian kalian." ia berdiri menengahi kami dan menepuk pundak Caspian dua kali. "Tenanglah kakak, kau harus mengerti perempuan, setidaknya kau sudah bersikap manis, jadilah lebih manis lagi." Bisiknya, sebelum ia meninggalkan kami berdua disini.
"Aku sudah memperingatkanmu, bos. Kau tidak usah berlebihan karena kita hanya pura-pura." Aku membelakanginya, mengambil lukisanku dan menyeret kakiku yang pincang untuk meninggalkan Caspian.
Hana menungguku di luar, ia membantuku berjalan karena kakiku pincang. Hana itu orang yang suka sekali mengomel, usianya setara dengan ibuku, tetapi ia lebih cerewet daripada ibuku. Hana awalnya tidak suka denganku, mengingat hari pertama ia sudah melabrakku, namun, lama kelamaan ia menjadi lengket denganku karena suka dengan dongeng-dongeng yang sering aku ceritakan saat di arena berlatih. Hana dan Meri jadi nurut banget.
Di tengah-tengah perjalanan, seseorang menghentikan kami. Pria itu berdiri, sangat tinggi seperti tiang listrik menghalangi jalan.
"Selamat pagi Lady." Tatapannya menunduk, matanya tak bertemu denganku. "Apa yang terjadi dengan kaki anda?"
Aku bergerak maju, kelalaku miring ingin sekali melihat wajahnya. "Ada apa ini, seorang dari dapatermen pertahanan bertanya kepada kekasih tuannya tentang apa yang terjadi?" Aku menantangnya, ingin melihat ekspresinya. "Atau kau tau sesuatu?"
Wajahnya, ya ampun, sangat kaku seperti dipahat dari batu. Ia menegakkan kepalanya, matanya memicing seolah mencoba membuktikan sesuatu. "Apa yang Anda maksud, Lady. Saya hanya melihat anda dari kejauhan dan bertanya sebagai formalitas saja." Ia kembali menurunkan pandangannya, tatapannya menyapu tanah. "Kalau begitu, saya izin untur diri."
"Kau benar-benar tidak tau atau hanya berpura-pura, Marquis?" Wajahnya itu, apa di ciptakan tanpa ekspresi?
"Saya tidak tau apa yang Anda pikirkan, saya hanya ingin menegaskan kalau apa yang Anda lihat belum tentu benar." Bahkan nada suaranya pun datar, tanpa ekspresi sedikit pun. "Mohon maaf, Lady, saya harus pergi."
Aku melihat punggungnya menjauh. Perasaan kesal campur aduk membuatku semakin kesal menjadi-jadi dan berteriak. "Lihat saja! Aku akan menelanjanggi mu!"
"Lady, Anda tidak boleh melakukan itu!" Hana ikut-ikutan berteriak, panik. "Tuanku Marquis memang tampan, tubuhnya juga bagus, tapi Anda kan sudah punya kekasih."
Ekspresiku tercengang. "Jadi kau pikir aku serius, Hana?" Hana menggaruk pelipisnya, kebingungan. "Sudahlah, ayo kembali ke kamar."
Sesampainya di kamar, aku menyeret diriku ke meja, memandangi lukisan Samesh. Kerutan muncul di dahiku.
Aku benar-benar bingung dengan potongan-potongan kejadian ini. Tiga pria itu, jelas memiliki masalah, namun aku tidak yakin apakah mereka ada kaitannya denganku, ini tidak pernah di jelaskan dalam isi novel. Apa yang aku lakukan sia-sia?
Aku mengambil secarik kertas, mulai menuliskan kelanjutan cerita yang aku tulis dalam bahasa rusia, oh aku ahlinya dalam bahasa asing. Aku hanya tidak mau seseorang membaca tulisanku dan menjadi salah paham. Di akhir, aku mencoba meminggat gambar anggrek yang terpotong di dalam mimpiku ketika Mola-mola menyentuh tanganku.
Akhir-akhir ini, aku sering bermimpi tentang tanah tandus dengan banyak bunga anggrek. Bahkan mimpi tentang ibuku juga menghantuiku, datang silih berganti.
"Oh, bukankah Caspian punya itu?" Aku merangkak untuk mengambil salinan tulisan Caspian di laci.
Aku lupa membacanya sampai tuntas, jadi aku memutuskan untuk memahaminya. Tulisan ini hanya dasar-dasar dari sejarah panjang kaum penyihir, mereka sudah dianggap hilang ratusan tahun lalu karena perpecahan perang besar antara klannya sendiri. Aku melihat simbol-simbol yang Caspian gambarkan, diantaranya sangat familiar karena aku sering melihat film barat yang menceritakan penyihir.
"Anggrek-anggrek...." Aku menyusuri setiap halaman, Hanya ada sedikit simbol bunga, tapi aku tak menemukan gambar bunga anggrek hitam. Apakah aku hanya salah paham?
"Tetapi, kenapa Marquis mengatakan jika yang aku lihat belum tentu benar?" Aku benar-benar memeras otakku, mencoba menyambungkan setiap titik, tapi sepertinya aku memang bodoh akan hal ini.
"Lady sedang apa?"
Aku terperanjat kaget, menjatuhkan kertas-kertas. Meri berdiri di depanku entah sejak kapan. "Kau seperti hantu. Apa yang kau lakukan disini?"
Meri mengerutkan kening. "Lady meminta saya membawakan cemilan, apa Lady lupa?"
Aku tersenyum masam, yeah aku lupa sudah menyuruhnya masuk. "Tunggu, Meri, kenapa kau membawa kecap?"
Meri mencium isi toples itu dan menepuk keningnya. "Haha Lady, maafkan saya, saya memang bodoh, tidak bisa membaca."
"Apa kau tidak bersekolah?" Tanyaku, merasa sedikit iba.
"Tidak," Sengaja Meri dengan lembut. "Ayah saya meninggal seja saya masih berusia sepuluh tahun, sementara ibu saya menikah lagi saat umur saya lima belas tahun, saya memiliki adik kecil dan harus mengurus hidupnya. Saya tidak pernah bersekolah."
Meri menceritakannya dengan senyuman tipis. Senyuman yang menutupi bebannya.
"Kau pasti membenci ibumu." Kataku.
"Tidak," Sanganya dengan cepat, matanya sedikit membesar. "Meskipun begitu, ibu saya tetaplah orang yang melahirkan saya dan adik saya. Saya bersyukur memiliki seorang adik yang menemani saya, meskipun pada akhirnya ibu tidak bersama kami lagi, tapi saya tidak pernah membencinya. Saya juga mengatakan kepada adik kalau kita tidak boleh sampai tidak menyukai orang tua kami, bagaimanapun juga, ibu juga berhak bahagia." Suara Meri terdengar tulus.
"Apa kau tidak cukup bodoh? Ibumu itu meninggalkanmu dan adikmu." Kataku, nadaku mungkin sedikit kejam.
"Orang-orang juga mengatakan jika saya lebih bodoh dari udang, tapi saya hanya tidak mau menjadi sakit hati dan hidup dengan damai bersama adin saya." Bahkan senyuman Meri sekarang menjadi tombak yang menusuk hatiku.
Mendadak dadaku terasa perih, entah mengapa aku jadi teringat ibuku. "Hatimu terlalu baik, Meri."
"Bagaimana dengan orang tua Lady? Mereka pasti sosok yang hebat?" Tanyanya, Meri sangat bersemangat.
Aku tersenyum kecut, lidahku pahit, merasakan getir kebenaran. "Mereka hebat, keren, dan sangat aku kagumi. Tapi itu dulu, terkadang aku menyesal memiliki orang tua seperti mereka."
"Kenapa?"
Tanganku menyentuh dagu, mencoba mencari alasan untuk jawaban yang tepat. "Entahlah, aku di besarkan denga uang yang melimpah tanpa tau mana yang baik dan buruk. Makannya aku jadi begini."
Meri tersenyum lebih lebar, senyum yang begitu tulus dan memaafkan. "Tapi Lady keren, anda bahkan sangat pintar dan berani, dan juga sangat cantik."
Senyumku patah-patah, Meri memang orang yang apa adanya, membuatku tersipu malu.
Ia memberikan cairan coklat kental itu diatas cookies.
"Tunggu, Meri, itu kecap!"
semangat 😊
mampir juga ya ke ceritaku..
kasih saran juga..makasih