Cerita yang memberikan inspirasi untuk wanita diluar sana, yang merasa dunia sedang sangat mengecewakannya.
Dia kehilangan support system,nama baik dan harapan.
Beruntungnya gadis bernama Britania Jasmine ini menjadikan kekecewaan terbesar dalam hidupnya sebagai cambukan untuk meng-upgrade dirinya menjadi wanita yang jauh lebih baik.
Meski dalam prosesnya tidak lah mudah, label janda yang melekat dalam dirinya membuatnya kesulitan untuk mendapat tempat dihati masyarakat. Banyak yang memandangnya sebelah mata, padahal prestasi yang ia raih jauh lebih banyak dan bisa di katakan dia sudah bisa menjadi gadis yang sempurna.
Label buruk itu terus saja mengacaukan mental dan hidupnya,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yazh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan Wanita menye-menye
Satu tangannya menyusur pinggang Britania, memberi sedikit penekanan di sana hingga tanpa sadar Britaniaa yang sedari tadi diam kini ikut menyesap dan melumat bibir Rayyan.
"Lo cepet belajarnya kak," Rayyan berbisik, napasnya terengah. Brii tersenyum bangga, meski jantungnya belingsatan rasanya.
Tangan Britania terus mencengkeram erat bahu Rayyan. Mereka masih terus larut dalam ciuman mereka hingga beberapa detik. Saling menyesap dengan tempo yang lambat. Setelah Briella merasakan pasokan oksigen di sekitar mulai menipis. Dengan napas terengah-engah, ia menepuk bahu Rayyan, mengisyaratkan untuk berhenti.
"Shittt! Kak Briii... Lo bikin kepala Gue pusiinggg. Sstttt..." Rayyan mendesis pelan dengan mata terpejam, menahan gejolak kuat yang timbul dalam dirinya.
"Gue kamar mandi dulu yaa," ucapnya sambil berlalu meninggalkan Britania di balkon.
Britania jadi merasa bersalah padanya yang menjadi objek latihan. Semua gara-gara gosip sialan itu. Salahkan saja mereka yang sok ahli dalam urusan menggoda pria.
"Sorry kalau aku yang udah memporak-porandakan naluri kelaki-lakianmu, Rayy, hihiihi..." pekik Bri di depan pintu kamar mandi, tidak ada jawaban. Hanya terdengar suara air memancar deras dari shower, air dingin yang cukup deras setidaknya bisa membantu meredakan gejolak dalam dirinya.
***
Britaniaa masih enggan sebenarnya untuk masuk kerja, teringat kejulidan beberapa wanita di lantai bawah kemarin. Telinganya masih panas, dan moodnya pun masih buruk
'Come on, Briii... kamu nggak selemah ituu, hanya dijulidi saja sudah berasa runtuh dunianya...'
Setelah menyemangati diri, segera Britania menarik napas panjang lalu mulai turun dari mobil dengan dagu terangkat dan melenggangkan kaki jenjangnya tanpa ragu menuju lobi kantor.
"Pagi, Bu Briella..."
"Pagi, Brii..."
"Hai, Brii..."
"Pagi, Kak Brii..."
Begitulah kira-kira sapaan dan anggukan beberapa rekan yang kebetulan berpapasan dengannya. Entah di mana para wanita yang kemarin menggunjingnya. Kalaupun bertemu juga mereka pasti akan menyapanya dengan senyum selebar mentari, orang-orang seperti itu biasanya kan punya banyak muka.
"Chachaaaa... Kamu sepagi ini udah kencan aja sama Brianda?" teriak Bri ketika mendapati sahabatnya itu baru saja keluar lift. Chacha hanya nyengir kuda menanggapinya.
"Semalam Dia nginep terus Gue nganterin tadi. Gue duluan yaaa? Udah Gue beliin sarapan tuh di meja Lo." Brii melongo. Secepat itu perkembangan hubungan sahabatnya? Sementara dia, baru belajar ciuman semalam, itu pun sama Rayyan. Konyoll sekali.
"Dihhh, baik bangett... Thanks yaaa. Take care, babee..." keduanya berpisah, Chacha menju pintu keluar, kalau Bri, ia ingin segera menyantap sarapan dari sahabatnya itu. Namun urung, sesuatu mencegahnya.
Mata Britania kembali bertemu dengan Nathan yang baru saja akan masuk ke ruangannya. "Morning, sayangg, sarapan yukk..." ucapnya tak lupa dengan menyunggingkan senyum. Entah kenapa bibir Nathan menjadi fokus Britania, Ahh! mesum sekali otaknya. Pasti karena semalam kelas belajar dengan Rayyan over deh.
"Chacha udah beliin Aku sarapan mas, makan di ruanganku aja. Nanti kalau Aku ketahuan berada di ruangan Kamu sepagi ini ada yang nyinyirin Aku lagi... Hufh." Britania berbisik, pandangannya mengarah pada beberapa staf yang melintas.
"Siapa yang berani nyinyirin kamu, sayangg..." Nathan terkesiap. Britania tidak menggubris pertanyaannya. Percuma juga kalau ia mengatakannya. Sekalipun akan dibela oleh Nathan, pasti mereka akan semakin mencacinya di belakang, menganggapnya tukang mengadu.
Kedatangan Nathan ke ruangan Britania membuat beberapa staf yang berkumpul di depan ruangannya mendadak terdiam kaku, hanya mampu menunduk sopan. Kecuali Olivia yang sanggup menyapanya dengan senyum lebar.
Dua wanita yang kemarin melihat Nathan menciumnya berada di sana dengan wajah datarnya, namun Britania bisa merasakan tatapan sinis mereka setelah Bri melewatinya.
Sampai di dalam ruangan, Britania masih terus menahan air matanya yang sudah akan turun sejak tadi. Ia teringat cacian mereka kemarin. Mungkin berlebihan, Brii bukan wanita menye-menye yang cengeng. Namun ada satu hal yang selalu berhasil menyentuh hatinya. Yaitu kala harga dirinya tersentil seperti kemarin.
Sejauh ini, Britania sungguh merasa sudah membentuk dirinya menjadi sesempurna mungkin agar tidak lagi direndahkan orang. Namun cibiran mereka kemarin sangat menyentilnya, menusuk langsung ke titik insecurity-nya.
Pantulan tubuhnya di dinding kaca ruangannya sangat jelas menampilkan "ketidakbecusan"-nya menjadi wanita yang berkelas, setidaknya menurut standar mereka. Omongan mereka kemarin jelas menunjukkan kalau ia wanita penggoda yang mengincar CEO tampan ini sebagai pasangannya demi menaikkan status sosial.
Padahal mereka tidak pernah tahu bagaimana Bri selama ini menjaga untuk tidak pernah berhubungan dengan laki-laki, dan Nathan adalah orang pertama yang berhasil meruntuhkan pertahanannya.
"Heii... kenapa?" Nathan menyentuh bahu Bri yang sedikit bergetar karena menahan tangisnya sendiri. Dia membalikkan badan Bri untuk ia rengkuh dalam pelukannya.
"Aku mau nangis aja, jangan tanya apapun dulu..." Nathan tersenyum geli mendengarnya, namun dia menurut, tetap memeluk Bri tanpa mengatakan apapun. Nathan cukup tahu kalau wanitanya hanya sedang ingin didengar.
Kemejanya sedikit basah karena Britania menangis dengan menenggelamkan wajah di dadanya. "Aku nggak mau nangis, Aku nggak seharusnya gini tapi..." ucap Bri dengan kesusahan.
"Udahh, nangis aja sesuka hatimu, sampai kamu bisa legaa. Kata Brianda kamu bukan tipe cewek yang cengeng jadi anggap saja aku nggak ada, nangis ajaa... It's okay," ucap Nathan, tangannya sedang memberi kode pada Brianda yang baru saja membuka pintu agar segera keluar lagi.
Britania memang tidak menyadari kemunculan Brianda apalagi melihatnya karena ia berdiri membelakangi pintu.
Meskipun belum mengerti apa yang terjadi, Nathan tetap memberikan dukungan yang Britaniaa butuhkan, sebuah kelembutan yang ia butuhkan di tengah gejolak dalam dadanya. Biasanya Briella tidak pernah selemah ini, sejak kenal Nathan kenapa jadi cengeng??
Beberapa menit berlalu. Meski hatinya sedang kalut, namun tetap teringat ada meeting jadi segera melepaskan diri dari pelukan Nathan dan mulai touch up make up-nya yang cukup berantakan. Bahkan matanya cukup bengkak kali ini.
"Mas, bentar lagi meeting kan? Kamu lebih baik kembali ke ruangan Kamu, nanti sarapannya aku anterin selesai meeting yaa?"
Nathan tidak habis pikir, beberapa menit lalu wanita itu masih sesenggukan, tiba-tiba saja ingat meeting. Namun ia tak mendengarkan Bri, Nathan kembali memegang kedua lengannya dengan lembut, nampak jelas kekhawatiran dalam raut wajahnya. "Are you Ok? Nggak usah ikut meeting dulu nggak apa-apa. Serahkan pada Olivia, kalau Kamu belum siap." ujarnya dengan senyum tipis yang menawan.
"Nggak mas, aku udah baikkan kok. Sorry, kemeja kamu basah, hihi." Nathan tertawa kecil, Brii seperti sebuah hiburan untuknya memang.
_______________
Rapat berjalan lancar seperti biasanya, Britania pun tidak kesulitan untuk itu. Dia sudah terbiasa mengutamakan kepentingan pekerjaan sebenarnya, tidak pernah sekalipun urusan pribadinya mempengaruhi mood kerjanya seperti saat ini. Apa mungkin karena ada Nathan jadi ia merasa ingin manja padanya? Hufh, tidak boleh seperti ini, Brii!
Nathan sudah diminta untuk kembali ke ruangannya. Seusai rapat tadi, ia kembali menyusul Britania untuk meminta penjelasan kejadian sebelum rapat tadi. Tetapi, Bri ingin kembali profesional dalam pekerjaannya. Ia tidak ingin mencampuradukan perasaan dan pekerjaan. Masih ada ratusan berkas yang harus ia cek, dan dua kali meeting lagi.
Brianda, asisten Nathan, mengetuk pintu dua kali sebelum akhirnya masuk ke ruangan bosnya itu. "Bos, Nyonya Besar sedang menunggu untuk turun ke mobil sejak tadi..." Nathan yang masih setia menyandarkan punggungnya dengan mata terpejam, sedikit jengkel.
"Apalagi kali ini, Ndaaa... Aku malesss..."
"Masalah kesepakatan dengan Nona Vania sepertinya, Bos... Mereka datang bersama tadi."
Nathan menatap Brianda penuh minat, bukan tentang yang ia katakan, tapi ada hal yang lebih penting baginya. "Ehh, Ndaa... Kamu cari tahu deh, Brii kenapa kemarin atau tadi pagi? Ada kejadian apa aja yang berhubungan dengan Dia. Dia nangis lama banget loh tadi... kamu sendiri yang bilang Dia bukan cewek cengeng, ini pasti masalah besar..." Meskipun Nathan pernah merasakan pengkhianatan, kini kepeduliannya terhadap Britania sangat nyata, rasa protektifnya bangkit secara berlebihan mungkin. Karena sejauh ini hanya Britania yang mampu membuatnya ingin berjuang.
Brianda menurut saja, sekarang dia sedang bekerja untuk Nathan jadi dia patuh pada semua perintahnya. Sekalipun boss besar yang meminta, ia tidak akan mau melawan Nathan.
Nathan yang tak kunjung turun membuat bundanya menyerah dan memilih untuk kembali masuk ke kantor menemuinya.
Siapa lagi Vania nih??
Kasih like dan komentar yukk, biar aku lebih semangat.