Mengetahui kebenaran identitasnya sebagai anak angkat, tak membuat perempuan berumur 18 tahun itu bergeming. Bahkan kematian ibu angkat dan ayah angkat yang mengusirnya dari rumah, tidak membuatnya membenci mereka. Arumi Maharani, gadis lulusan SMA yang dibesarkan di keluarga patriaki itu memilih mencari jati dirinya. “Aku tunanganmu. Maafkan aku yang tidak mengenalimu lebih awal.” Izqian Aksa. Siapa Izkian Aksa? Bagaimana Arumi menjalani kehidupan selanjutnya? Dan akankah pencariannya mendapatkan hasil? Haloo semuanya… ketemu lagi dengan author.. semoga semua pembaca suka dengan karya baru author…
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Wasiat
“Apa Abi sudah berangkat?” tanya Umi Im saat Arumi masuk ke dalam kamar.
“Sudah, Mi. Umi mau makan siang apa hari ini?”
“Umi pengen ayam bakar. Sudah lama Umi tidak makan.”
“Tapi Umi dilarang makan makanan pemicu kanker sama dokter.”
“Sekali ini saja, Nak. Umi pengen banget.”
“Kalau ayamnya dipanggang, bagaimana?”
“Ayam bakar, Nak!”
“Baiklah, kalau begitu Arumi ke tukang sayur dulu, Mi.”
“Ambil uangnya di laci!”
“Yang kemarin masih, Mi.”
Arumi bersiap pergi ke pinggir jalan dimana tukang sayur biasanya mangkal. Di sana sudah ada ibu-ibu yang bergerombol memilih sayur dan perdagingan.
Setelah menyapa semuanya, Arumi menyela gerombolan untuk mengambil satu ekor ayam, timun dan kemangi. Segera ia membayar belanjaannya dan berpamitan pulang.
“Anaknya Bu Im rajin sekali, ya? Anak saya kalau hari minggu seperti ini masih molor jam segini.” Kata salah satu ibu-ibu.
“Kalau tidak rajin, Nenek Ifah bisa mengomel!” seru salah satu dari mereka.
“Benar! Siapa yang tidak rajin kalau punya nenek seperti itu? Justru kasihan Aruminya.”
“Iya, ya. Kasihan Arumi yang harus mengerjakan semua pekerjaan rumah sejak SD kelas 5.”
“Ya mau bagaimana lagi? Bu Im yang sakit-sakitan mana bisa melakukannya!”
“Kemarin katanya masuk rumah sakit lagi.”
“Iya, saya juga dengar. Katanya penyakitnya semakin parah.”
“Kasihan juga Bu Im itu. Sejak Arumi kelas 5 sudah divonis sakit yang katanya sulit disembuhkan.”
Ibu-ibu mulai berdiskusi mengenai penyakit Umi Im yang mereka hanya tahu kalau susah disembuhkan tanpa tahu penyebabnya karena keluarga Abi Aji tutup mulut mengenai penyakit beliau. Dan saat mereka bertanya kepada Arumi, mereka hanya mendapatkan jawaban “Doakan Umi lekas sembuh ya, Bu.”.
Sementara itu, Arumi yang sudah sampai di rumah segera mencuci ayam yang di belinya dan memotongnya menjadi beberapa bagian. Ia menyiapkan bumbu yang digunakan untuk mengungkep ayam sebelum dibakar.
Jika biasanya ayam ungkep akan di rebus, kali ini Arumi mengungkep ayam dengan cara mengukusnya. Hal ini dilakukan agar ayam tetap lembut saat di bakar nanti.
Sambil menunggu jam makan siang, Arumi menyetrika pakaian sambil memantau uminya yang tidur setelah meminum obat.
“Arumi!” Teriak Nenek Ifah dari rumah sebelah.
Segera Arumi mencabut setrika dan berlari ke sumber suara. Dilihatnya tanaman yang tertata di rak teras berantakan dan bahkan ada pot dari tanah liat pecah.
“Kamu yang membawa kucing kemari?” tanya Nenek Ifah dengan geram.
“Tidak, Nek. Aku tidak ada memelihara kucing.” Jawab Arumi seraya merapikan rak dan menata pot yang terjatuh.
“Lalu kucing siapa yang melakukannya?”
“Aku tidak tahu, Nek.”
“Bersihkan! Ganti potnya dengan pot plastikyang kamu beli dulu.”
“Bukannya nenek tidak mau menggunakannya?”
“Gunakan saja!” Nenek Ifah dengan kesal masuk ke dalam rumah meninggalkan Arumi.
Dengan menghembuskan nafas dalam, Arumi kembali merapikan pot dan membersihkan tanah yang berserakan. Setelah selesai, ia ke Gudang untuk mengambil pot yang dimaksud sang nenek.
Dulu Arumi membelinya karena ingin mengganti beberapa pot tanah liat yang sudah mulai retak, tetapi sang nenek tidak mau dan tetap mempertahankan pot tersebut. Mungkin sang nenek tidak mau ada yang pecah lagi, makanya menyuruhnya menggunakan pot plastik.
Selesai memindahkan tanaman, Arumi meletakkannya kembali ke rak dan ia juga kembali menyelesaikan setrikaannya. Menyetrika selesai, Arumi ke belakang rumah menyiapkan arang untuk membakar ayam.
Ayam bakar siap, Arumi mengantarkan Sebagian ke rumah Nenek Ifah dan membawa piring ke kamar uminya.
“Umi, ayam bakarnya sudah siap.” Kata Arumi yang menggoyangkan tangan Umi Im.
“Umi…”
“Iya.” Jawab Umi Im dengan lemah.
Arumi membantu uminya duduk bersandar dan meletakkan meja lipat di pangkuan beliau. Setelah Arumi mengusap tangan Umi Im dengan tisu basah beralkohol, barulah beliau mulai makan.
Selesai makan, Umi Im menghentikan Arumi yang ingin membawa nampan ke dapur.
“Tolong ambilkan map yang ada di laci lemari!” Arumi menurut.
Setelah mengambil map yang dimaksud uminya, Arumi menyerahkannya dan duduk di samping uminya.
“Arumi, waktu Umi sudah tidak banyak. Setelah kepergian Umi, mungkin kehidupanmu akan semakin sulit. Jika kamu tidak tahan, kamu bisa pergi meninggalkan rumah ini. Kamu bisa tinggal di rumah peninggalan orang tua Umi.” Umi Im membuka map yang ternyata berisi surat tanah dan rumah dengan nama Arumi.
“Arumi baik-baik saja, Umi. Bukankah masih ada Abi dan Nenek?” Umi Im menggelengkan kepalanya membuat Arumi penasaran.
“Dengarkan Umi! Jika kamu sudah tidak tahan, tinggalkan rumah ini! Kamu bisa memulai hidup baru di sana.”
Entah apa yang dimaksud uminya, Arumi hanya bisa menganggukkan kepalanya. Umi Im tersenyum. Beliau juga mengambil buku tabungan dan kartu ATM yang selama ini tersimpan di laci sebelah tempat tidur.
“Selama ini, Umi sudah siapkan tabungan untukmu. Gunakan ini saat kamu memulai hidup baru. Jika kamu mau kuliah, kamu bisa menggunakannya. Jika kurang, kamu bisa menggadaikan tanah atau rumah ini. Terserah padamu karena Umi sudah memberikan semuanya kepadamu.” Arumi menatap bingung ke arah uminya.
Ia semakin dibuat penasaran dengan kata-kata Umi Im yang seolah-olah memberikan wasiat kepadanya. Apakah ajal sudah dekat? Jika iya, tentu Arumi akan mengikhlaskan uminya. Tetapi mengapa uminya mengatakannya seolah Arumi akan menderita setelah beliau tiada?
Arumi yang tidak bisa menangkap maksud uminya hanya menganggukkan kepalanya. Sayangnya, kalimat Umi Im berikutnya kembali membuat rasa penasarannya semakin kuat.
“Jangan katakana apapun kepada Abi! Simpan rahasia ini untukmu sendiri.”
“Kenap…”
“Nanti kamu akan tahu jawabannya, Nak.” Arumi mengangguk.
Setelah beberapa kalimat, Umi Im meminta Arumi untuk menyimpan pemberiannya. Arumi keluar dari kamar dan masuk ke dalam kamar untuk menyimpan map dan buku tabungan. Setelah itu ia ke dapur untuk membersihkan bekas makan uminya.
Tangan dan kaki Arumi bergerak dengan teratur tetapi kepalanya di penuhi dengan pertanyaan mengenai maksud uminya. Beliau adalah seorang ibu yang sangat baik dan penyayang.
Ini adalah kali pertama uminya mengatakan kalimat yang sangat ambigu. Sampai ia tidak bisa menafsirkan maksud beliau yang sebenarnya.
“Maafkan Umi yang egois ini, Nak. Umi tidak sanggup untuk jujur kepadamu. Kalau kamu membenci Umi karena keegoisan Umi, maka Umi akan menerimanya.”