The Vault membawa pembaca ke dalam dunia gelap dan penuh rahasia di balik organisasi superhero yang selama ini tersembunyi dari mata publik. Setelah markas besar The Vault hancur dalam konflik besar melawan ancaman luar angkasa di novel Vanguard, para anggota yang tersisa harus bertahan dan melanjutkan perjuangan tanpa kehadiran The Closer dan Vanguard yang tengah menjalankan misi di luar angkasa.
Namun, ancaman baru yang lebih kuno dan tersembunyi muncul: Zwarte Sol, sebuah organisasi rahasia peninggalan VOC yang menggabungkan ilmu gaib dan teknologi metafisik untuk menjajah Indonesia secara spiritual. Dengan pemimpin yang kejam dan strategi yang licik, Zwarte Sol berusaha menguasai energi metafisik dari situs-situs kuno di Nusantara demi menghidupkan kembali kekuasaan kolonial yang pernah mereka miliki.
Para anggota The Vault kini harus mengungkap misteri sejarah yang tersembunyi, menghadapi musuh yang tak hanya berbahaya secara fisik, tapi juga mistis, dan melindungi Indonesia dar
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Benua Arcadia Terra
Sesuatu sempat bergerak di balik gelapnya laut, tapi hilang begitu saja—tanpa disadari siapa pun di dalam kapal.
FX Vault Tank 805 terus melaju dalam diam. Jam demi jam berlalu tanpa suara, tanpa gangguan, hanya gumaman mesin dan detak jantung yang makin terasa keras. Layar peta digital tak banyak membantu—hanya menampilkan titik kosong berlabel: Arcadia Terra. Tidak ada kontur. Tidak ada data permukaan. Tidak ada satelit yang bisa menjangkau.
Hanya nama. Dan satu catatan kecil: “Penjaga: Azhurath, naga hijau emas. Elemen: Air.”
“Kita benar-benar menuju tempat yang nggak dikenal,” gumam Noval, duduk di kursi observasi dengan dagu bersandar di tangan.
Tak ada yang menjawab.
Lalu, dari balik kabut tipis di ujung cakrawala… daratan muncul.
Bukan pulau kecil. Tapi gugusan daratan yang luas, bercabang seperti tangan yang menyentuh lautan. Airnya tampak lebih terang dari seharusnya. Warna tanah kebiruan, dan beberapa puncak pegunungan terlihat seperti kristal. Di atas semuanya, langit membentuk semacam kilauan transparan—seperti… kubah.
"Bro, itu bukan ilusi, kan?" suara Rivani datar, tapi matanya membelalak.
FX Vault Tank memperlambat laju. Semua berhambur ke dek observasi. Bahkan Dira ikut berdiri, matanya menatap lekat ke arah daratan.
“Nggak mungkin ini cuma daratan biasa,” ujar Bagas. “Tapi kita nggak tahu apa pun soal tempat ini.”
"Yang kita tahu cuma nama benuanya... dan ada naga di dalamnya. Itu aja," tambah Intan.
“Dan sekarang kita mau masuk ke situ?”
Tak ada jawaban. Tapi kapal terus melaju.
FX Vault Tank merapat di sebuah teluk sempit. Struktur pantai terbuat dari batu biru tua yang tampak alami, tapi anehnya terlalu simetris untuk disebut alami. Vegetasi di sekitar tumbuh lebat, tapi bentuk daunnya pipih, memanjang, dan berwarna pucat kehijauan seperti belum sepenuhnya disinari matahari.
Udara berubah saat pintu kapal terbuka. Dingin, bersih, tapi ada sesuatu yang... asing. Seperti tempat ini punya aturan sendiri soal gravitasi, suhu, dan bahkan rasa waktu.
Langkah pertama mereka terasa aneh. Tanahnya padat, tapi seolah ada getaran halus menyusup dari bawah.
“Gue gak yakin kita disambut,” ujar Rendi, matanya menelusuri garis pepohonan.
“Gue gak yakin ada yang tahu kita datang,” sahut Yuni pelan.
Mereka mulai bergerak perlahan, hanya mengandalkan naluri. Tidak ada data. Tidak ada peta. Bahkan drone Arka tidak bisa terbang tinggi—seolah tertolak oleh medan tak kasatmata dari langit di atas mereka.
Beberapa meter dari pantai, mereka menemukan jalur batu yang mengarah ke hutan tipis. Tanpa tanda, tanpa arah, tanpa suara.
“Ini beneran bikin merinding,” kata Noval. “Nggak ada binatang. Nggak ada serangga. Bahkan angin pun kayak nahan napas.”
Satu-satunya yang menyambut mereka hanyalah keheningan dan bayangan pepohonan aneh yang seperti membungkuk pelan. Dira terus memimpin, satu tangan di gagang senjata, satu mata tetap awas. Mereka menyusuri jalur itu sampai tanah mulai menanjak.
Lalu, dari balik hutan... terbuka sebuah dataran kecil.
Dan di sana berdiri bangunan pertama yang mereka lihat: sebuah struktur batu putih setinggi dua lantai, bentuknya seperti kuil tanpa atap. Pilar-pilar bulat menopang langit terbuka, dan di tengahnya ada genangan air bening yang tampak terlalu tenang untuk disebut kolam.
Tidak ada gerakan.
Tidak ada suara.
Tapi jelas, tempat ini dibangun. Dihuni. Atau pernah dihuni.
“Gue kira kita bakal nemu reruntuhan, bukan bangunan utuh begini,” bisik Intan.
“Bisa jadi ini aktif,” kata Bagas pelan. “Tapi nggak ada listrik, nggak ada kabel. Atau… cara mereka hidup beda dari kita.”
“Berhenti menebak,” potong Dira. “Fokus. Kita nggak tahu apa pun tentang mereka. Jangan bikin asumsi.”
Yuni mendekati kolam air, menatap permukaannya. “Bahkan airnya pun nggak bergerak. Kayak kaca…”
Mereka masih berdiri di sekitar bangunan itu ketika tiba-tiba…
Langkah kaki.
Derap sepatu logam menghentak tanah. Irama teratur. Makin dekat. Makin berat.
“Kontak visual!” seru Rivani, mengangkat senjata.
Dari balik sisi hutan, muncul mereka.
Puluhan sosok manusia mengenakan baju tempur berwarna keperakan, membawa tombak panjang dan perisai bulat. Helm mereka tertutup penuh, hanya menampilkan garis cahaya di bagian wajah. Barisan mereka sempurna. Simetris. Disiplin.
Pemimpin mereka, bertubuh tinggi dan mengenakan jubah panjang berwarna biru tua, melangkah maju. Wajahnya terbuka—pria dengan kulit terang, rambut abu-abu keperakan, dan tatapan yang… tajam. Bukan kasar, tapi juga bukan ramah.
Ia berhenti beberapa meter dari tim Vault.
Beberapa detik hening.
Lalu pria itu berbicara. Suaranya tenang, dalam, dan memakai bahasa… yang entah bagaimana bisa mereka pahami.
“Kalian menapakkan kaki di wilayah Terra… tanpa izin. Tanpa panggilan.”
Dira maju satu langkah, tapi belum bicara. Ia masih menilai situasi.
Pria itu menatap tajam.
“Kami tidak mengenal dunia kalian. Tapi kedatangan kalian... mengguncang keseimbangan.”
Tombak-tombak pasukan di belakangnya terangkat.
“Demi keharmonisan langit dan tanah… kalian akan dibawa ke tempat penentuan.”
Dira menahan napas. Tangannya perlahan meraih gagang senjata, tapi tidak menariknya.
Karena mereka baru menyadari: ini belum permusuhan… tapi juga bukan penyambutan.
Dan dalam dunia yang tidak mereka pahami ini—kesalahan kecil bisa berarti kehancuran.
Bersambung...