NovelToon NovelToon
Menikah Dengan Sahabat

Menikah Dengan Sahabat

Status: sedang berlangsung
Genre:Pengantin Pengganti / Nikah Kontrak / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Mengubah Takdir
Popularitas:6.4k
Nilai: 5
Nama Author: Julia And'Marian

Mereka tumbuh bersama. Tertawa bersama. Menangis bersama. Tapi tak pernah menyangka akan menikah satu sama lain.

Nina dan Devan adalah sahabat sejak kecil. Semua orang di sekitar mereka selalu mengira mereka akan berakhir bersama, namun keduanya justru selalu menepis anggapan itu. Bagi Nina, Devan adalah tempat pulang yang nyaman, tapi tidak pernah terpikirkan sebagai sosok suami. Bagi Devan, Nina adalah sumber kekuatan, tapi juga seseorang yang terlalu penting untuk dihancurkan dengan cinta yang mungkin tak terbalas.

Sampai suatu hari, dalam situasi penuh tekanan dan rasa kehilangan, mereka dipaksa menikah demi menyelamatkan kehormatan keluarga. Nina baru saja ditinggal tunangannya yang berselingkuh, dan Devan, sebagai sahabat sejati, menawarkan sebuah solusi yaitu pernikahan.

Awalnya, pernikahan itu hanyalah formalitas. Tidak ada cinta, hanya kenyamanan dan kebersamaan lama yang mencoba dijahit kembali dalam bentuk ikatan suci.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 35

Pagi itu terasa berbeda. Udara masih sama—sedikit pengap, tirai kamar masih belum dibuka, dan Nizar sudah mulai menggeliat di boksnya, siap memulai hari dengan tangisan kecilnya. Tapi ada sesuatu di dalam hati Nina yang membuatnya ingin tetap bersembunyi di bawah selimut, pura-pura dunia di luar kamar tidak ada.

Devan sudah bangun lebih dulu. Ia membuka laptop di meja makan, mengetik cepat sambil sesekali meneguk kopi. Bunyi ketikan dan aroma kopi seharusnya membawa kehangatan seperti dulu, tapi sekarang, itu hanya pengingat bahwa dunianya dan dunia Nina seperti berjalan di dua jalur yang berbeda.

Nina menatap ke arah pintu kamar. Ada dorongan untuk keluar dan sekadar menyapanya, tapi ada juga rasa getir. Kalau pun keluar, mereka hanya akan bicara hal-hal sepele, sudah makan atau belum, butuh apa di supermarket, atau laporan kerja yang belum selesai. Tidak ada percakapan yang “nyata.”

Ketika akhirnya ia keluar sambil menggendong Nizar, Devan langsung menoleh. “Sayang, pagi,” sapanya dengan suara dibuat hangat.

Nina hanya mengangguk. “Pagi.”

“Eh, sini… sini Nizar ke Papa dulu.” Devan menutup laptopnya sebentar, mengulurkan tangan. Nizar berpindah ke pelukan Devan, langsung mengoceh seperti biasa.

Nina duduk di ujung meja makan, mengambil gelas kosong dan menuangkan air putih. “Kamu nggak berangkat pagi-pagi banget hari ini?” tanyanya pelan.

“Enggak. Ada rapat, tapi jam sebelas. Jadi aku bisa kerja dari rumah dulu.”

Nina mengangguk. Seharusnya ia senang mendengar itu, tapi entah mengapa, hatinya tetap terasa berat. “Jam sebelas? Berarti nggak bisa sarapan bareng?”

Devan memandangnya sejenak, mengerti nada dalam pertanyaan itu. “Kalau kamu mau… aku bisa tunda sedikit.”

“Kamu selalu bilang ‘bisa’, tapi akhirnya nggak bisa juga.” Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Nina, seperti pecahan kaca yang dilempar tanpa rencana.

Devan terdiam. Ia tahu Nina tak bermaksud menyerang, tapi rasa bersalah langsung menghantam. “Aku serius, Nin. Aku akan coba atur.”

Nina menatapnya. Lama. “Van, kamu tahu nggak rasanya… jadi kayak orang asing di rumah sendiri? Kita tinggal bareng, tapi aku nggak tahu kapan terakhir kali kamu bener-bener… ada.”

Devan memeluk Nizar lebih erat. “Aku tahu kamu kesepian. Aku sadar aku salah. Tapi kamu juga tahu aku kerja keras ini buat siapa.”

“Buat kita,” sambung Nina, matanya basah. “Tapi kalau di perjalanan menuju ‘masa depan’ itu aku harus kehilangan kamu sekarang… apa gunanya, Van?”

Devan menghela napas panjang, menunduk. Ia ingin menjawab, tapi apa pun yang ia katakan akan terdengar seperti alasan.

Hari itu, Nina menghabiskan waktunya di rumah, berusaha mengalihkan pikiran dengan pekerjaan rumah tangga. Tapi bayangan percakapan tadi terus menghantui. Ia ingat betul bagaimana dulu Devan bisa mengajaknya bicara lama tentang apa pun—tentang film yang mereka tonton, tentang mimpi-mimpi konyol di masa depan. Sekarang? Semua percakapan mereka berakhir di “Aku capek, Nin.”

Menjelang sore, ponselnya bergetar. Pesan dari Devan.

“Aku pulang cepat malam ini. Jangan masak, aku bawain makanan.”

Nina menatap layar lama. Ia ingin senang. Tapi bagian dari dirinya bertanya: ini usaha beneran atau sekadar perbaikan sesaat?

Malam itu, Devan pulang membawa kantong besar berisi sushi dan ramen—makanan kesukaan Nina. Ia juga membawa sebuket bunga kecil. “Aku tahu kamu nggak terlalu suka bunga, tapi… aku cuma mau kamu tahu aku inget.”

Nina menerima bunga itu, tersenyum tipis. “Makasih.”

Setelah Nizar tidur, mereka duduk di ruang makan. Awalnya hanya ada keheningan, sampai akhirnya Devan bicara. “Nin, boleh aku ngomong?”

Nina menatapnya. “Boleh.”

“Aku tahu aku tenggelam banget di kerjaan. Tapi bukan berarti kamu nggak penting. Kamu… justru alasan kenapa aku ngelakuin ini semua.”

“Alasan yang jarang kamu lihat,” balas Nina.

Devan terdiam. Kata-kata itu seperti tamparan. “Aku nggak mau kita begini. Aku nggak mau kamu ngerasa sendirian.”

“Lalu?” Nina mencondongkan tubuhnya. “Kita mau apa, Van? Terus begini sampai kamu selesai kerja? Atau sampai aku terbiasa merasa sendirian?”

Devan menatapnya, dalam. “Aku mau berubah. Kita… cari cara biar bisa balik seperti dulu. Atau lebih baik dari dulu.”

“Gimana caranya?”

“Kita mulai dari hal kecil. Aku janji, setiap malam aku pulang sebelum Nizar tidur. Kita makan malam bareng. Minimal, satu malam di akhir pekan kita pergi jalan, cuma kita berdua. Dan aku janji, kalau aku salah, kamu tegur aku. Jangan simpan sendiri.”

Nina menggigit bibir. “Dan kalau kamu ingkar?”

“Kalau aku ingkar…” Devan mendekat, menggenggam tangannya. “Kamu boleh marah. Kamu boleh benci aku. Tapi tolong jangan berhenti ngomong sama aku.”

Air mata Nina mengalir. “Aku nggak mau benci kamu, Van. Aku cuma… mau kamu ada.”

Devan menariknya ke dalam pelukan. “Aku di sini. Aku janji.”

Pelukan itu lama. Tidak menghapus luka seketika, tapi menjadi awal dari sesuatu. Sesuatu yang mereka harap bisa membawa mereka kembali menemukan “kita.”

-

Malam itu, setelah Nina tidur, Devan duduk di ruang tamu, membuka ponselnya. Ia menulis pesan ke bosnya:

“Mulai minggu depan, saya nggak bisa lembur tiap malam. Saya harus bagi waktu untuk keluarga. Mohon pengertiannya.”

Ia menatap layar ponsel itu lama sebelum akhirnya menekan “kirim”.

Untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir, Devan merasa ia membuat keputusan yang benar.

Karena pekerjaan bisa menunggu. Tapi Nina—dan keluarganya—tidak.

1
Eva Karmita
masyaallah bahagia selalu untuk kalian berdua, pacaran saat sudah sah itu mengasikan ❤️😍🥰
Julia and'Marian: sabar ya kak, aku kemarin liburan gak sempat up...🙏
total 1 replies
Eva Karmita
semangat semoga semu yg kau ucapkan bisa terkabul mempunyai anak" yg manis ganteng baik hati dan sopan ya Nina
Eva Karmita
semoga kebahagiaan menyertai kalian berdua 😍❤️🥰
Eva Karmita
lanjut thoooorr 🔥💪🥰
Herman Lim
selalu berjuang devan buat dptkan hati nana
Eva Karmita
percayalah Nina insyaallah Devan bisa membahagiakan kamu ❤️
Eva Karmita
mampir otor 🙏😊
Julia and'Marian: hihihi buku sebelumnya Hiatus ya kak, karena gak dapat reterensi, jadi males lanjut 🤣, makasih ya kak udah mampir 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!