Nadira Elvarani yakin hidup pahitnya akan berakhir setelah menerima lamaran Galendra, lelaki mapan yang memberinya harapan baru.
Tapi segalanya berubah ketika ia terlibat skandal dengan Rakha Mahendra—anak bos yang diam-diam menginginkannya—menghancurkan semua rencana indah itu.
Di antara cinta, obsesi, dan rahasia, Nadira harus memilih: hati atau masa depan yang sudah dirancang rapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon itsclairbae, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 — Ketika Dunia Tidak Adil untuk Perempuan
Rakha memesan sarapan untuk dirinya dan Nadira melalui layanan kamar. Mereka memang tidak membawa pakaian ganti, tapi bagi Rakha Mahendra, itu bukan masalah. Ia bahkan sudah menyiapkan beberapa pasang baju baru untuk mereka selama menginap di sana.
"Rakha, apa tidak masalah kita tinggal berdua di hotel seperti ini?" tanya Nadira saat mereka menyantap sarapan.
Ini bukan hanya soal harga dirinya sebagai perempuan, tetapi juga tentang nama baik Rakha yang harus dijaga—sebagai calon pemimpin utama Mahendra Grup.
"Aku sudah menyewa vila di dekat sini. Kita akan ke sana setelah selesai sarapan," ucap Rakha menjawab pertanyaan Nadira.
Ia tahu dan memahami kekhawatiran itu. Terlalu berisiko jika mereka terus menginap di satu kamar hotel. Bukan hanya karena takut tergoda untuk menyentuh Nadira lagi, tetapi juga karena kemungkinan ada orang yang mengetahui keberadaan mereka di sana.
Bagi Rakha, mungkin tidak akan menimbulkan masalah besar. Tapi Nadira adalah perempuan—dan di mata orang lain, dialah yang akan disalahkan.
Dunia ini terlalu kejam untuk perempuan, terutama jika menyangkut hubungan.
Seorang lelaki yang tidur dengan perempuan mungkin dianggap wajar—tapi perempuan yang sama akan dicap murahan, hina, dan penuh tuduhan yang tidak adil.
Ia mungkin bisa melindungi Nadira dari orang-orang yang berniat jahat secara fisik.
Namun, jika kejahatan itu berupa ucapan—komentar buruk, fitnah, atau penghakiman tanpa ampun—ia sadar, dirinya tidak selalu bisa menjadi tameng bagi Nadira.
“Pesan vila? Satu vila?” tanya Nadira spontan. Matanya menatap polos ke arah Rakha, membuat lelaki itu terkekeh gemas.
“Iya, satu vila. Tapi tenang saja, ada beberapa kamar, jadi kita tidak akan tinggal di kamar yang sama,” jawab Rakha, lalu melanjutkan penjelasannya, “Kalau ada yang bertanya-tanya kenapa kita ada di sini, tinggal satu vila, aku akan bilang bahwa ini hadiah liburan dari Papah untuk karyawan yang paling beliau sayangi.”
Nadira tidak bisa menahan senyum di bibirnya. Ia melihat kembali sosok Rakha yang dulu dikenalnya saat pertama kali bertemu—bukan Rakha yang dua minggu terakhir terasa seperti orang lain.
“Baiklah. Makasih,” ucapnya tulus, menatap lelaki itu dengan penuh rasa terima kasih.
Rakha tersenyum lembut. Geraknya tampak sedikit kaku pagi ini, ada kesan canggung yang sulit ia sembunyikan. Nadira bisa menangkapnya, meski samar. Benar-benar persis seperti Rakha yang dulu dikenalnya saat masih duduk di bangku SMA.
"Rakha..." panggil Nadira lembut, membuat lelaki itu menoleh dengan dahi berkerut.
"Kenapa?" tanya Rakha bingung karena Nadira hanya menatapnya tanpa berkata apa-apa, lalu tersenyum.
"Kalau ingat dulu, aku tidak menyangka kalau selera kamu ternyata tante-tante."
Perkataan Nadira barusan langsung membuat Rakha tersedak. Lelaki itu buru-buru mengambil air minum dan meneguknya cepat-cepat.
"Tante-tante apa? Kita cuma selisih lima tahun," ucap Rakha setelah meneguk airnya sampai habis.
Ia memang tidak pernah menganggap Nadira sebagai ‘tante-tante’. Baginya, Nadira hanyalah perempuan yang kebetulan usianya sedikit lebih tua. Dan lima tahun bukan jarak yang layak dijadikan bahan olok-olok, apalagi untuk perasaan seperti ini.
"Lagipula, tidak akan ada yang tahu kamu lebih tua dariku. Karena..." Rakha tidak melanjutkan kalimatnya, tapi gerakan tangannya cukup menjelaskan maksudnya—ia sedang menyinggung soal tinggi badan mereka.
Memang, meskipun Nadira lima tahun lebih tua, tinggi badan mereka tidak pernah mengisyaratkan hal itu. Justru sering kali orang mengira mereka seumuran—atau malah menganggap Rakha yang lebih tua karena postur tubuhnya yang terlihat lebih dewasa dibandingkan Nadira.
“Maksud kamu aku pendek?” tanya Nadira dengan nada tersinggung. Ia tahu betul kalau dirinya memang tidak terlalu tinggi untuk perempuan seusianya, tapi tetap saja, mendengarnya langsung dari Rakha membuatnya sedikit jengkel.
Rakha tersenyum. Bukan karena puas berhasil meledek, tapi karena akhirnya Nadira bisa menunjukkan ekspresi kesalnya sekarang. Sepertinya, luka kemarin perlahan mulai terlupakan.
“Kamu tersenyum sekarang?” Nadira semakin jengkel saat melihat Rakha tersenyum, seolah membenarkan bahwa ia memang menganggap Nadira pendek.
Tawa Rakha akhirnya pecah. Melihat Nadira kesal dengan pipi sedikit mengembung karena masih menyimpan makanan di mulutnya membuat lelaki itu tak kuasa menahan tawa. Nadira terlihat begitu lucu sekaligus menggemaskan.
Nadira makin tidak habis pikir. Ia benar-benar jengkel dengan Rakha yang seolah sengaja mengolok tinggi badannya. Namun, kekesalan itu tidak bertahan lama. Namun, kekesalan itu segera luluh oleh tawa—tawa yang membuat mereka lupa apa yang sempat terjadi kemarin.
***
Dunia kerja di DevaSpace HQ tetap berjalan seperti biasa—meski tanpa Nadira, sang Koordinator Khusus CEO, dan tanpa Rakha, CEO Mahendra Digital sekaligus pewaris Mahendra Group. Namun, di balik rutinitas itu, gosip mulai menyebar. Tentang Nadira yang pergi dalam keadaan kacau. Tentang secarik tulisan tangan yang ditinggalkan di meja kerjanya. Dan tentang calon suaminya, Galendra, yang masih berusaha mati-matian mencari tahu ke mana Nadira menghilang—menelusuri setiap jejak, memeriksa setiap kemungkinan.
“Saya dengar, katanya kemarin mantan pacar Pak Galen datang ke sini. Dia bilang hubungan mereka memang sudah lama selesai, tapi pernah sangat dekat saat kuliah. Lalu dia minta Bu Nadira untuk mundur,” bisik salah satu karyawan kepada temannya.
Mereka tidak menyadari, percakapan itu terdengar jelas oleh Dimas yang tengah berjalan bersama Pak Mahendra.
Langkah Pak Mahendra seketika melambat. Sorot matanya berubah. Wajah tenangnya menunjukkan keterkejutan yang tidak bisa disembunyikan. Kalimat itu menjelaskan banyak hal—tentang kepergian mendadak Nadira, tentang secarik kertas yang ditinggalkannya di meja kerja.
Ada kekhawatiran yang mengendap dalam hatinya. Ia ingin segera mencari tahu kabar Nadira, namun mencoba tetap rasional. Pekerjaan menumpuk, tanggung jawab besar menantinya, dan Rakha—yang biasanya jadi andalan—juga sedang tidak ada di tempat.
Untuk saat ini, ia hanya bisa berdoa dalam diam... berharap Nadira baik-baik saja, di manapun ia berada.
Dimas akhirnya mendapatkan jawaban atas pertanyaannya tadi malam. Orang yang menemui Nadira ternyata berasal dari masa lalu calon suaminya. Pantas saja Nadira begitu hancur dan memilih menghilang tanpa jejak.
“Aku rasa yang dimaksud bukan sekadar dekat sebagai kekasih... pasti lebih dari itu,” gumam Dimas dalam hati. “Tidak mungkin Nadira sampai sehancur itu kalau kedekatan mereka hanya sebatas hubungan masa lalu.”
Langkah kakinya tetap mengikuti Pak Mahendra, tapi pikirannya terus memutar ulang percakapan yang baru saja ia dengar. Telinganya diam-diam masih mencuri dengar—seolah ingin menggali lebih dalam tentang apa yang sebenarnya terjadi.
“Aku harus mencari tahu dan memastikan Nadira baik-baik saja... meskipun aku tahu, kemungkinan besar Pak Rakha sedang bersamanya sekarang,” gumam Dimas dalam hati.
Ia sadar, urusan Nadira bukanlah tanggung jawabnya. Ia bukan keluarga, bukan kekasih, bahkan sekadar rekan kerja pun sudah bukan. Tapi hati... hati memang sering kali tidak tahu batas. Ia ingin tahu keadaan Nadira meskipun sadar dirinya bukan siapa-siapa perempuan itu.