Reina, seorang siswi yang meninggal karena menjadi korban buly dari teman temannya.
Di ujung nafasnya dia berdoa, memohon kepada Tuhan untuk memberikan dia kesempatan kedua, agar dia bisa membalas dendam pada orang orang yang telah berbuat jahat padanya.
Siapa sangka ternyata keinginan itu terkabul,
dan pembalasan pun di mulai.
Tetapi ternyata, membalas dendam tidak membuatnya merasa puas.
Tidak membuat hatinya merasa damai.
Lalu apa yang sebenarnya diinginkan oleh hatinya?
Ikuti kisahnya dalam
PEMBALASAN DI KEHIDUPAN KEDUA
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20
Suara riuh rendah kantin sekolah menyemarakkan suasana jam istirahat. Reina duduk berhadapan dengan Baim, menikmati semangkuk mie ayam. Namun, sebuah rasa tidak nyaman mulai menggelitik perutnya.
“Im!” Reina sedikit meringis. “Perutku… rasanya nggak enak. Aku ke toilet bentar, ya.”
Baim, yang sedang asyik mengunyah mie ayam, langsung meletakkan sumpitnya. Cowok tampan itu terlihat khawatir. “Apa mau aku antar?” tawarannya spontan.
Reina yang tadinya meringis, tertawa kecil, nada bicaranya sedikit mengejek. “Ish, Kamu ini. Yang bener aja? Aku ini mau ke toilet. Ya kali kamu mau nganterin?”
Baim mengangguk, tatapannya serius. “Aku tidak keberatan.”
“Nggak usah lebay, deh. Aku bisa sendiri.” Reina bangkit dari duduknya lalu pergi.
Baim menatap punggung Reina yang perlahan menghilang. Dia masih belum menceritakan apa yang dia temukan. Dia akan menunggu bukti penyelidikannya tentang Wulan dan Siska dulu.
***
Langkah Reina menuju toilet terhenti. Sebuah tangan kuat menariknya, menempelkan tubuhnya ke dinding dingin. Dia mengenali orang itu.
Bau parfum Sena, yang dulu pernah membuatnya mabuk kepayang, kini justru membuatnya mual. Ia menatap mata Sena, mata yang dulu bersinar arogan itu, kini memancarkan kecemasan dan kemarahan yang terselubung.
“Katakan kenapa kau menghindariku, Reina!” Suara Sena terdengar sedikit bergetar menahan marah.
Reina tersenyum sinis, sorot matanya tajam dan menusuk seperti pecahan kaca. Ia mendorong Sena hingga sedikit terhuyung. Tatapannya dingin, tanpa sedikitpun sisa-sisa kasih sayang.
“Aku? Menghindarimu? Kau terlalu menganggap dirimu penting, Barata Sena.” suara Reina terdengar datar.
Sena tampak terkejut. Reina benar-benar telah berubah. Ini tak boleh terjadi. “Tapi kenapa? Bukankah dulu kau selalu ingin berada di dekatku?”
“Hanya sudah tidak ingin. Memang nya masalah?” sahut Reina cuek.
“Semudah itu kau bicara? Setelah aku memberimu lima puluh juta? Apa kau tidak berpikir dirimu terlalu semena-mena?” Sena menahan gemeletuk giginya. Dicekal nya tangan Reina agar tak bisa kabur.
Reina tertawa lagi, lebih keras dari sebelumnya Tawa yang mengejek, merendahkan. “Lima puluh juta? Kau mengungkit itu? Apa kau tidak salah? Kau pikir itu banyak? Ketua osis, Kau benar-benar tidak bisa berhitung, ya? Lima puluh juta itu bahkan untuk membayar tenaga guru privat selama hampir tiga tahun ini saja tidak cukup!”
Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Sena, bisikannya dingin dan tajam, seperti pisau yang menusuk jantung. “Apa kau mau, semua yang orang tahu, kau mengeluarkan uang untuk bisa terpilih jadi ketua OSIS?”
Sena menelan ludahnya susah payah. Jika apa yang diucapkan Reina benar-benar terjadi, reputasinya akan semakin hancur.
Reina menghempaskan tangan Sena. Ia meninggalkan Sena yang terpaku di tempat dengan wajah pucat pasi. Di depan pintu toilet ia berhenti, lalu berbalik menatap Sena sekali lagi.
“Lima puluh juta itu hanya uang jajan kecilmu. Tapi terhadapku kau begitu perhitungan. Sekarang aku sudah tidak butuh. Kita lihat saja, seberapa besar harga yang harus kau bayar untuk semua yang telah lalu.”
Dengan langkah pasti, Reina masuk ke toilet. Sena terpaku, dihantui oleh bayangan masa lalu, betapa buruknya perlakuannya pada Reina dulu.
***
Sementara itu
Beberapa menit berlalu, dan Reina belum juga kembali. Membuat Baim sedikit khawatir. Ia takut sesuatu yang baru terjadi. Terpeleset misalnya.
Meninggalkan lembaran merah di bawah mangkuknya, Baim segera berinisiatif menyusul Reina ke toilet.
Sesampainya di dekat toilet, pemandangan yang terlihat membuat darahnya mendidih. Sena, dengan wajah yang penuh amarah, sedang mencengkram tangan Reina.
Melihat Reina yang tak terlihat takut, Baim menghentikan langkahnya. Tampaknya Reina bisa mengatasi sendiri masalahnya. Ia mendengar percakapan mereka, setiap kata yang keluar dari mulut Sena dan Reina.
Begitu Reina masuk ke dalam toilet, Baim melangkah mendekati Sena. Sena, yang menyadari kehadiran Baim, menelan ludahnya dengan kasar. Cowok culun yang dulu selalu ia remehkan, kini memancarkan aura yang berbeda. Ada kekuatan tersembunyi di balik kacamata tebal dan postur tubuhnya yang tegap.
Baim berjalan mendekat, satu tangannya tersimpan di dalam saku celananya, tangan lainnya membetulkan letak kacamata tebalnya. Langkahnya tenang, namun mampu membuat Sena semakin bergetar.
Keheningan menyelimuti mereka sesaat. Hanya suara detak jantung mereka yang terdengar.
Baim menatap sena dengan sorot menusuk sedingin es. Menusuk, seolah siap membekukan aliran darah Sena. Tak ada kata yang terucap, hanya dari tapannya saja seakan cukup untuk menyampaikan sebuah pesan tanpa bicara.
Dengan satu sentakan, Baim menarik kerah Sena yang kini terpaku tak mampu bergerak, mendekatkan wajah ke telinga Sena. “Jangan pernah lagi mengganggu Reina,” bisiknya. “Atau,,,, kau akan jadi orang pertama yang melihat siapa itu Ibrahim Herlambang.”
Sena merasakannya ada kekuatan yang tersimpan di balik penampilan Baim yang culun. Kekuatan yang siap meledak kapan saja. Menelan ludahnya kasar, keringat dingin membasahi dahinya. Ia mengangguk, kepala tertunduk patuh. Tak ada perlawanan yang berani ia lontarkan.
“Pergilah!” perintah Baim seraya menghempaskan kerah Sena.
Tanpa menunggu perintah kedua, Sena berlari meninggalkan tempat itu.
Begitu jauh dari pandangan Baim, Sena berhenti berlari. Napasnya tersengal-sengal, dada terasa sesak.
Dugh…
Dengan penuh amarah, ia meninju dinding tembok. Kepalan tangannya terasa sakit, namun rasa sakit fisik itu tak sebanding dengan rasa malu yang tengah ia rasakan.
“Sial! Kenapa aku harus takut pada si culun itu?!” Umpatannya terdengar kasar, meluapkan kekesalan yang terpendam. Ia adalah Barata Sena. Selama ini selalu berkuasa, bagaimana bisa ia membiarkan dirinya terancam oleh seorang Baim.
“Oh tidak… pamorku akan turun jika ada yang tahu hal ini!” Ia menggeram, pikirannya mulai memutar rencana.
“Sepertinya aku harus menggerakkan orang-orangku untuk memberikan pelajaran padanya!” Tatapan matanya berubah menjadi dingin dan penuh perhitungan.
"Tunggu saja Kau, Culun!"
baru komen setelah di bab ini✌️✌️. maaf ya kak Author
ini setting murid SMA kan? kalau di sebelah kuliah, apakah kaka author berkolaborasi dalam membuat cerita?
bagaimana ya kira² klo tahu reina ternyata justru anak kandungnya 🤔🫣