Luna harus memilih antara karir atau kehidupan rumah tangganya. Pencapaiannya sebagai seorang koki profesional harus dipertaruhkan karena keegoisan sang suami, bernama David. Pria yang sudah 10 tahun menjadi suaminya itu merasa tertekan dan tidak bisa menerima kesuksesan istrinya sendiri. Pernikahan yang telah dikaruniai oleh 2 orang putri cantik itu tidak menjamin kebahagiaan keduanya. Luna berpikir jika semua masalah bisa terselesaikan jika keluarganya tercukupi dalam hal materi, sedangkan David lebih mengutamakan waktu dan kasih sayang bagi keluarga.
Hingga sebuah keputusan yang berakhir dengan kesalahan cukup fatal, mengubah jalan hidup keduanya di kemudian hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SAFIRANH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Luna yang tengah berada dalam kamarnya, duduk terdiam di tepian ranjang dengan tatapan mata yang hampir kosong sepenuhnya. Semilir angin malam baru saja masuk melalui jendela yang memang sengaja dibiarkan terbuka.
Hembusan angin menerpa wajah dan rambutnya yang panjang. Terasa dingin, seperti hatinya saat ini yang seolah tersesat tanpa jawaban.
Memikirkan bagaimana perlakuan David dan keluarganya. Sebenarnya kehidupan rumah tangga akan baik-baik saja jika pihak suami mendukung penuh pada keinginan istri.
Tapi David memang lain, dia tidak pernah sependapat dengan Luna. Bahkan terkadang, Luna berpikir jika David menganggapnya sebagai seorang musuh yang harus dikalahkan.
Sempat berpikir untuk menyerah, tapi Luna kembali mengingat bagaimana nasib anak-anaknya nanti. Setidaknya jika Luna ingin pergi, maka anak-anak harus ikut dengannya tanpa adanya paksaan.
“Jika suatu saat nanti pernikahanku harus berakhir, maka anak-anak tetap harus ikut denganku,” pikir Luna penuh tekad. “Maka dari itu, sebisa mungkin aku akan tetap bertahan sampai saatnya tiba.”
Seketika renungan Luna buyar saat mendapati ponsel miliknya bergetar, sebuah pesan baru saja masuk.
Luna segera membukanya, dan rupanya pesan itu berasal dari teman kuliahnya dulu, namanya Hani.
Setelah beberapa saat membaca isi pesannya, mata Luna tiba-tiba membulat tak percaya. Mulutnya bahkan terbuka, karena terkejut.
Disana tertulis jika Hani tengah membutuhkan seorang pembicara berpengalaman di bidang memasak, dan hal itu bisa dilakukan dimana saja, yang artinya Luna mendapatkan kesempatan untuk tetap bekerja dari rumah.
Buru-buru Luna menghubungi temannya itu untuk memastikan apakah pesan itu memang benar. Beberapa saat menunggu akhirnya panggilan itu dijawab.
[ Halo…iya Lun, kamu berminat? ] tanya Hani dari seberang telepon sana.
“Kamu serius dengan pesan tadi?” Luna masih penasaran.
[ Ya serius lah…gimana, kamu mau nggak? ]
“Aku mau,” jawab Luna dengan antusias. “Kapan aku bisa mulai?”
[ Secepatnya, tapi aku harus mempersiapkan materinya dulu. Nanti akan ku kabari lagi. ]
“Oke, aku tunggu.”
[ Gajinya sih tidak seberapa, tapi cukuplah jika hanya untuk jajan dan membeli barang-barang bagus ] Hani terdengar terkekeh.
“Tidak masalah, yang penting aku punya kegiatan.”
[ Secepatnya akan ku kirimkan materinya.]
“Oke, sampai jumpa,” Luna menutup ponselnya.
Ia langsung melompat ke atas ranjang saking bahagianya. Akhirnya, ia bisa kembali menghasilkan uang di bidang yang disukainya.
Tapi, tunggu!
Luna baru ingat jika dirinya harus menyembunyikan pekerjaan ini dari semua orang di rumah. Apalagi jika David sampai tahu, pria itu pasti akan marah dan tidak setuju.
“Baiklah, aku akan bekerja secara diam-diam,” ucap Luna dengan mantap.
***
Maria tampak melangkah dengan berat menuju ke arah kamarnya. Tubuhnya tak hanya letih dan juga lengket karena kegiatan seharian penuh, tapi juga terasa pegal di seluruh susunan tulang belakangnya.
Saat membuka kamar, Maria melihat jika Doni, suaminya, tengah berada di atas ranjang sambil memegang beberapa lembar kertas.
Sepertinya pria itu masih bekerja. Karena tugasnya memang bertanggung jawab atas segala laporan yang ada di ladang tempatnya bekerja.
Doni yang sadar jika Maria baru saja memasuki kamar, langsung mendongak menyambut istrinya itu. “Sudah selesai?” tanyanya santai.
Tak ada jawaban. Maria justru melangkah dengan menghentakkan kakinya cukup keras ke atas lantai. Wanita itu mulai duduk di tepian ranjang, namun dengan posisi membelakangi suaminya.
Doni tersenyum, melihat istrinya yang tengah merajuk. Ia pun meletakkan kertas di atas ranjang, lalu mencoba untuk mendekat. Kepalanya sengaja ia letakkan di atas pundak Maria.
“Ada apa?” tanya Doni setengah berbisik di telinga Maria.
“Masih tanya kamu?” jawab Maria dengan nada emosi. “Seharian aku membantu Ibu dan adikmu, bahkan sampai malam begini aku masih harus tetap membantu mereka!”
“Lho, bukannya kamu senang membantu Ibu?” ucap Doni tenang. “Aku sudah sering mencegah Ibu untuk terlalu merepotkanmu, tapi kamu justru marah padaku dan mengatakan jika Ibu adalah yang paling penting di rumah ini.”
“Ya, tapi itu kan, hanya—” ucapan Maria terhenti.
Ia merasa tertampar oleh ucapan Doni. Memang benar, ia seringkali mencegah Doni saat pria itu hendak membelanya. Bahkan terkadang ia lebih memilih memarahi Doni daripada harus dicap manja oleh Ibu mertuanya.
Doni tampak menatap Maria, menunggu istrinya tersebut melanjutkan ucapannya. Namun, wajah Maria mendadak memerah, dan wanita itu akhirnya memutuskan untuk pergi keluar dari dalam kamar setelah menyambar handuk yang berada di dalam lemari.
BRAKK…!
Suara nyaring dari pintu yang ditutup oleh Maria menggema di dalam kamar yang tidak terlalu luas itu. Menyisakan Doni yang sebenarnya prihatin dengan kondisi istrinya yang seperti kehilangan arah setelah menikah dengannya.
Padahal dulu, Maria adalah wanita yang ceria dan sangat menyenangkan. Tapi, setelah mereka menikah, Maria berubah seperti bukan dirinya lagi.
Apalagi jika menyangkut tentang anggapan orang lain, Maria akan sangat sensitif dan tidak mau kalah dengan siapapun.
“Maria, bisakah aku membawamu kembali seperti dulu?” ungkap Doni sedih.
***
Pagi harinya, Luna tengah membersihkan halaman depan. Musim kemarau seperti ini banyak daun kering yang jatuh terbawa oleh angin.
Apalagi halaman depan rumah mertuanya memang banyak ditumbuhi oleh pohon buah sampai pohon yang besar. Maklum di kampung, jadi masih banyak pepohonan yang tumbuh dengan suburnya.
Beberapa saat kemudian, tampak tukang sayur yang lewat dan berhenti tepat di depan rumah. Dalam sekejap para ibu langsung berkerumun untuk berbelanja.
Maria juga baru keluar dari dalam rumah, sepertinya hendak berbelanja. Saat lewat di samping Luna, Maria sama sekali tidak mengatakan apapun. Wanita itu bahkan menginjak daun kering yang hendak diambil oleh Luna begitu saja.
Tapi Luna tetap tidak akan mempermasalahkannya. Ia dengan santai melanjutkan untuk menyapu halaman.
“Selamat pagi, Mbak Maria,” sapa seorang Ibu yang adalah tetangganya.
“Pagi, Bu,” jawab Maria sambil mengangguk. Tangannya mulai meraih satu ikat kangkung dari dalam keranjang sayur.
“Eh, Mbak Maria, kok adik iparnya nggak diajak belanja?” tanya Ibu yang tengah memilih bawang merah.
“Ajaklah sesekali, biar kenal sama tetangga yang lain,” timpal Ibu yang lain.
“Dia orangnya memang seperti itu,” jawab Maria ketus. “Tidak suka bergaul dengan sembarang orang,” lanjutnya berbohong.
“Wah, kok gitu ya,” beberapa Ibu itu langsung mengeluarkan ekspresi julid saat mendengar jawaban dari Maria.
Maria menoleh ke arah Luna yang masih menyapu di halaman. “Dia itu besar di kota, Bu. Tidak bisa bekerja dan bergaul dengan orang seperti kita,” ucap Maria melanjutkan hasutannya.
“Jadi, Mas David memang sudah akan tinggal di sini selamanya, ya?”
Maria menoleh ke arah Ibu yang bertanya, “Mungkin saja, Bu. Dari yang kudengar David sudah keluar dari tempat kerjanya di kota.”
“Wah, Mbak Maria harus waspada tuh,” ucap Ibu yang lain tiba-tiba.
“Memangnya ada apa, Bu?” si tukang sayur juga akhirnya ikut berkomentar karena penasaran.
Begitupun dengan Maria yang tidak mengerti akan perkataan dan maksud yang diucapkan oleh tetangganya itu.
“Salah satu dari kalian harus pindah rumah, atau membuat rumah yang baru.”
“Maksud Bu Ratna?” tanya Maria lagi, masih belum mengerti.
“Dengan kembalinya Mas David, rumah itu akan jadi perdebatan nantinya. Antara menjadi milik Mas Doni atau Mas David,” terang wanita yang dipanggil dengan nama Bu Ratna itu.
“Tapi aku dan Mas Doni sudah lama tinggal di rumah ini,” ucap Maria, wajahnya menunjukkan kegelisahan.
“Ya, tapi kan tidak menjamin jika sebenarnya Mas David dan istrinya kembali kesini karena sengaja untuk mengincar rumah itu,” Bu Ratna mengangkat bahunya sejenak saat menjelaskan.
“Iya, lebih baik Mbak Maria sama Mas Doni membicarakan hal itu lebih dulu. Percuma kan rumah sudah dibangun bagus-bagus…Eh nantinya malah jadi punya orang lain,” Ibu lain menambahkan.
Memang masuk akal apa yang baru dibicarakan oleh para Ibu itu. Maria bahkan tidak berpikir sampai sejauh itu. Lagipula, Ibu mertuanya sangat sayang kepada David, berbeda jika kepada Doni.
Rasa benci dan marah itu semakin meluap dalam hati Maria kepada Luna. Tatapan tajam bercampur amarah terekam jelas saat Maria kembali menoleh ke arah Luna.
“Tidak akan kubiarkan wanita itu mengambil semuanya dariku. Awas saja kamu nanti, Luna.”
Maria mengeratkan giginya, menahan rasa marah.
BERSAMBUNG