Dikhianati oleh dua orang yang paling ia percayai—tunangannya dan adiknya sendiri—Aluna Kirana kehilangan semua alasan untuk tetap hidup. Di tengah malam yang basah oleh hujan dan luka yang tak bisa diseka, ia berdiri di tepi jembatan sungai, siap menyerahkan segalanya pada arus yang tak berperasaan.
Namun takdir punya rencana lain.
Zayyan Raksa Pradipta, seorang pemadam kebakaran muda yang dikenal pemberani, tak sengaja melintasi jembatan itu saat melihat sosok wanita yang hendak melompat. Di tengah deras hujan dan desakan waktu, ia menyelamatkan Aluna—bukan hanya dari maut, tapi dari kehancuran dirinya sendiri.
Pertemuan mereka menjadi awal dari kisah yang tak pernah mereka bayangkan. Dua jiwa yang sama-sama terbakar luka, saling menemukan arti hidup di tengah kepedihan. Zayyan, yang menyimpan rahasia besar dari masa lalunya, mulai membuka hati. Sedangkan Aluna, perlahan belajar berdiri kembali—bukan karena cinta, tapi karena seseorang yang mengajarkannya bahwa ia pantas dicintai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Angin malam membelai wajah Aluna saat ia dan Zayyan melangkah menjauh dari butik yang baru saja menjadi saksi amarah dan luka. Hela napasnya belum teratur, dadanya naik-turun seperti baru saja lolos dari badai. Dan memang, itu bukan hanya kiasan. Niko adalah badai masa lalu yang kembali merusak tenangnya hari, merobek pertahanan yang selama ini coba ia bangun kembali.
Zayyan merangkulnya lebih erat, tak berkata apa-apa untuk beberapa saat. Diamnya bukan karena tak peduli, tapi karena ia tahu, kadang untuk menghilangkan luka lebih butuh waktu dibandingkan nasihat. Namun saat mereka tiba di mobilnya yang terparkir di seberang jalan, Aluna akhirnya membuka suara.
"Aku... tidak pernah menyangka, Zayyan," ucapnya pelan, nyaris seperti bisikan yang larut dalam angin malam. "Aku tahu Niko bisa manipulatif, bisa egois... tapi aku tidak pernah membayangkan dia akan memaksakan kehendaknya seperti itu... seperti tadi."
Zayyan membuka pintu mobil, membiarkan Aluna masuk terlebih dahulu. Setelah ia duduk di sampingnya, mesin belum dinyalakan. Cahaya lampu jalan menyinari wajah Aluna yang masih tampak pucat. Zayyan menggenggam tangannya lembut.
"Kau tidak salah, Aluna. Tidak ada yang bisa memprediksi betapa berbahayanya seseorang saat egonya terluka."
Aluna menggigit bibirnya, lalu menunduk. Jemarinya menggenggam tangan Zayyan lebih erat, seperti mencari kekuatan di sana.
"Tapi kenapa, Zayyan?" bisiknya, nyaris rapuh. "Kenapa masa lalu terus mendatangiku... saat aku sudah begitu mantap untuk tidak menoleh ke belakang? Saat aku bahkan sudah menutup pintu itu rapat-rapat?"
Zayyan menatapnya dalam. Di matanya, terpancar luka yang sama—karena ia tahu, sebagian dari penderitaan Aluna kini juga menjadi miliknya.
"Masa lalu itu seperti bayangan, Aluna. Ia tak akan hilang begitu saja hanya karena kita menutup mata. Tapi bayangan bukan berarti nyata. Ia hanya gelap karena ada cahaya—dan kau, kau sedang menuju cahaya itu."
Aluna menoleh. Matanya membasah, tapi kali ini bukan hanya karena takut. Ada sesuatu yang lain—kelegaan, mungkin. Atau kepercayaan.
Zayyan melanjutkan, suaranya kini lebih lembut, nyaris seperti desah dedaunan yang bergesekan di malam hari. "Kau tak bisa mengendalikan siapa yang datang mengetuk pintu hidupmu. Tapi kau selalu bisa memilih siapa yang akan kau bukakan pintu. Dan kau... sudah memilih. Kau memilih untuk tak menoleh ke belakang. Itu keberanian yang luar biasa."
Aluna tersenyum lirih. "Tapi kenapa rasanya tetap menyakitkan?"
"Karena kau punya hati, Aluna. Hati yang tidak terbuat dari baja. Dan orang-orang yang hatinya lembut seperti milikmu... memang akan lebih sering dilukai. Tapi mereka juga yang paling tahu cara untuk mencintai."
Dalam sunyi itu, Zayyan mengangkat tangan Aluna dan menciumnya pelan. "Aku di sini. Dan aku akan tetap di sini."
Sementara itu, di sisi kota yang berbeda, langkah Niko terhuyung saat ia menaiki anak tangga rumahnya. Wajahnya lebam, bibirnya sobek, dan rahangnya masih nyeri akibat tinju yang diberikan oleh Zayyan. Ia mencoba menenangkan napasnya, tapi tubuhnya terasa lebih lemah dari sebelumnya—bukan hanya karena luka fisik, tapi karena luka harga diri yang tercabik-cabik.
Ketika ia mendekat ke pintu, lampu teras rumahnya menyala. Seseorang berdiri di sana. Sosok itu menoleh dan matanya membelalak.
"Niko?! Ya Tuhan, apa yang terjadi padamu?!"
Tasya.
Tasya yang berdiri di sana dengan gaun biru muda dan wajah panik. Ia segera menghampiri Niko dan memegang wajahnya dengan tangan gemetar.
itu sakitnya double
bdw tetap semangat/Determined//Determined//Determined//Determined/