Berawal dari ketidaksengajaan lalu berujung pada pernikahan yang tidak direncanakan. Nadia yang mencoba bertahan hidup dengan menggantungkan harapannya pada pernikahan yang hanya dijadikan sebagai hubungan sebatas ranjang saja, tak mengira hidupnya akan berubah setelah ia memberi Yudha seorang anak yang diidam-idamkan.
“Jangan berharap lebih dari pernikahan ini. Aku menikahimu bukan karena cinta, tapi karena kita sama-sama saling membutuhkan,” kata Yudha.
“Tapi bagaimana jika kamu yang lebih dulu jatuh cinta padaku?” tanya Nadia.
“Tidak akan mungkin itu terjadi,” sarkas Yudha.
Lantas bagaimanakah kelanjutan hubungan pernikahan Nadia dan Yudha yang hanya sebatas ranjang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fhatt Trah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19. Membuang Prasangka
Membuang Prasangka
Untuk yang ke lima kalinya, Yudha akhirnya menyerah. Ponsel ia simpan kembali ke dalam saku jas. Rizal tidak akan datang. Mungkin saja dia masih punya pasien. Atau mungkin saja mendadak ada pasien gawat darurat. Yudha berpikir seperti itu. Sahabatnya itu adalah seorang dokter, jadi waktunya banyak tersita untuk pasien. Tidak mungkin dia tidak datang bertemu karena sesuatu hal yang lain.
Sedangkan Maura, pagi tadi sebelum ia berangkat ke kantor, Maura sudah memberitahu bahwa hari ini dia ada jadwal pemotretan outdoor. Lokasi pemotretan katanya terletak cukup jauh dari pusat kota. Mungkin sekarang Maura sedang sibuk, sehingga Maura tidak bisa menjawab teleponnya.
Tapi dan tapi, bukankah Maura punya asisten? Biasanya Stella, asisten Maura yang akan menjawab jika ada telepon yang masuk ke ponsel Maura. Apakah Stella tidak sedang bersama Maura sekarang? Apakah benar Maura sedang ada pemotretan?
Tidak ... tidak!
Yudha tidak ingin berpikir yang bukan-bukan tentang Maura. Ia berusaha membuang pikiran itu jauh-jauh. Penolakan yang selalu ia dapat dari Maura ketika ia ingin menyalurkan hasratnya, ia anggap memang karena penyakit Maura saja. Yang kata Maura selalu saja timbul rasa sakit di area kewanitaannya setiap kali mereka berhubungan.
Mereka juga pernah memeriksakan hal itu ke dokter. Dokter juga sudah menyarankan agar Maura beristirahat sejenak dari aktifitas intim sampai pembengkakan dan iritasi di sekitar area kewanitaannya sembuh total.
Akan tetapi, ini sudah berbulan-bulan lamanya setelah mereka berkonsultasi ke dokter. Apakah iya, sampai sekarang masih belum sembuh juga?
“Jer, tolong berkas-berkas yang sedang aku periksa tadi kamu rapikan kembali. Taruh berkas itu di tempat yang terpisah,” titahnya melalui sambungan telepon.
Pikirannya terlalu mumet. Sampai-sampai membuat kepalanya terasa pening. Hati dan perasaannya pun menjadi tidak seiring sejalan, sebab ada sesuatu hal yang mengganjal yang selama ini ia tahan.
Pernah sekali ia sempat berpikir untuk mengakhiri rumah tangganya karena kebutuhan biologisnya yang sering tidak terpenuhi. Juga karena sampai hari ini belum adanya keturunan. Belum lagi tuntutan orangtua yang membuat kepalanya terasa hampir mau pecah.
Namun, jatuh cinta tidaklah mudah baginya. Menemukan seseorang yang pas di hati dan pantas menjadi pendamping hidup itu bukan perkara mudah. Ia bukan tipe pria yang cepat melabuhkan hati pada seseorang. Sekali ia jatuh cinta, wanita itu akan terus bertahta di hatinya.
“Halo, Stel? Aku suaminya Maura.” Tidak ingin berprasangka buruk terhadap istrinya, ia kemudian menghubungi Stella, wanita jadi-jadian asisten Maura, untuk memastikan keadaan sang istri. Karena kemarin kepala Maura pusing dan dokter sudah menyarankan Maura untuk beristirahat. Tetapi Maura tetap memaksa untuk pergi bekerja hari ini. Jadi ia hanya ingin mengetahui keadaan sang istri saja.
“Pemotretan hari ini selesai jam berapa kira-kira? Lokasinya di outdoor kan? Daerah mana, biar aku ke sana menjemput istriku,” lanjutnya.
Namun jawaban Stella membuatnya kembali bertanya-tanya dan berpikir yang bukan-bukan.
“Hari ini tidak ada pemotretan, Pak Yudha. Lusa baru ada pemotretan dan syuting di outdoor untuk iklan sampo. Mbak Maura tidak sedang bersama saya, Pak. Coba Pak Yudha hubungi Bang Baron, manajernya. Mungkin Mbak Maura sedang bersama Bang Baron.”
“Kamu bisa kirimkan nomornya padaku?”
Yudha kemudian memutus telepon. Tak lama berselang, pesan teks dari Stella masuk ke ponselnya. Segera ia menekan deretan angka yang dikirimkan oleh Stella. Namun lagi-lagi, jawaban Baron tidak jauh berbeda dengan jawaban Stella. Membuat Yudha semakin cemas saja.
****
Tersadar dari keadaan yang sempat menghilangkan akal sehatnya, Rizal lekas mengakhiri ciuman yang semakin memanas. Dilepasnya Maura dari pelukan, lalu ia mengambil jarak beberapa langkah mundur. Hampir saja ia lupa diri. Andai ia kehilangan kendali pada dirinya sendiri, mungkin saat ini mereka sudah berakhir di atas tempat tidur.
“Maafkan aku, Ra.” Rizal menyesal, bagaimana bisa ia sampai begitu rakusnya mencumbu Maura. Padahal selama ini ia sudah bersusah payah menjaga batasan diantara mereka. Lalu bagaimana bisa, hanya karena sedikit godaan ia sampai melupakan batasan itu.
Maura tersenyum singkat, tak memungkiri ada sedikit kekecewaan yang ia rasakan. Memendam rindu begitu lama pada pria yang pernah dicintainya ini membuat ia terlena dengan sentuhannya. Tak mau munafik, Maura rindu semuanya. Rindu semua tentang Rizal, rindu kenangan-kenangan mereka dulu. Bahkan egoisnya, ia sampai berharap kenangan itu terulang kembali.
Lebih egois lagi, Maura pun tak ingin kehilangan Yudha sebab suatu alasan yang tak bisa ia utarakan. Raganya hidup bersama Yudha, namun separuh jiwanya ada pada masa lalunya.
“Ternyata kamu masih sama seperti dulu, Zal,” kata Maura. Hubungan mereka memang sudah berubah, namun sentuhan Rizal kepadanya ternyata masih sama lembut seperti dulu.
“Yang tadi itu, anggap saja tidak pernah terjadi. Aku khilaf. Maaf, aku tidak bermaksud lancang. Kami tidak seharusnya berada di sini, Ra. Aku minta, tolong jangan pernah lagi kamu datang ke sini. Dan jangan pernah lagi kamu berbuat seperti itu.” Padahal yang memulai duluan adalah Maura, malah Rizal yang merasa bersalah. Ia akui hasratnya sempat terpancing, menggebu-gebu, namun harus ia tahan dan ia redam demi kebaikan bersama.
Rizal tidak ingin menghancurkan persahabatannya dengan Yudha. Hutang budi sanggup membuat ia mengorbankan perasaannya sendiri. Andai saja Maura tahu betapa ia sangat terbebani dengan hutang budi ini.
“Tapi kenapa, Zal? Kenapa tidak bisa?”
“Karena mungkin aku bisa lebih dari khilaf. Aku mungkin tidak akan bisa mengendalikan diriku lagi kalau kamu seperti ini, Ra.”
“Biarkan saja. Kenapa harus dikendalikan? Kamu mau berbuat apapun padaku, aku tidak akan melarang, Zal. Kita sudah sama-sama dewasa. Aku tahu apa yang kamu rasakan sekarang.”
“Kamu sudah gila, Maura. Kamu_” Mendadak Rizal teringat janjinya dengan Yudha. Sudah sejam lebih dari waktu janjian mereka tadi.
Tidak menuntaskan kalimatnya, ia kemudian melangkah keluar kamar, mengambil hand bag miliknya yang ia letakkan diatas meja kecil di bawah rak dinding sewaktu ia menaruh kacamata di rak itu.
Rizal mengambil ponsel dari dalam hand bag itu. Pada layar ponsel tertera lima panggilan tak terjawab dan sebuah dari Yudha.
“Mungkin lain waktu saja kita bertemu. Maaf sudah mengganggu waktumu. Jangan merasa sungkan padaku, aku tahu kamu sibuk.”
Isi pesan Yudha itu justru membuat Rizal merasa tidak enak hati pada sahabat yang sudah banyak membantunya itu. Ia pun menjadi serba salah. Ingin segera meminta maaf, ponsel Yudha malah tidak aktif begitu ia balik menghubungi. Ia pun hanya bisa menghembuskan napasnya resah.
****
Memikirkan tentang Maura, Yudha hampir saja kehilangan konsentrasi di jalanan, nyaris menabrak seorang pejalan kaki yang memotong jalan di depan. Beruntung kakinya cepat menginjak pedal rem.
“Ya Tuhan, apa yang terjadi padaku?” gumamnya, sembari mengusap wajahnya gusar. Berbagai prasangka buruk itu datang merayu pikirannya. Maura yang ia cintai tidak akan mungkin berbuat sesuatu yang merugikan di belakangnya.
Tidak mungkin!
Menarik napas panjang, lalu meniupkannya perlahan demi menenangkan jiwanya yang gelisah, Yudha kemudian mulai mengemudikan mobilnya pelan-pelan. Bunyi klakson di belakang mobilnya terdengar beruntun, pertanda ia harus memberi jalan untuk kendaraan yang lain.
Beberapa menit berkendara, Yudha kemudian menepikan mobil di sebuah taman kota. Matahari sudah tergelincir, berganti senja dengan sinarnya yang temaram.
Di taman itu ada banyak anak-anak kecil yang sedang bermain. Turun dari mobil, ia berdiri memperhatikan anak-anak yang sedang bermain bola. Pemandangan itu membuat perasaannya sedikit tenteram.
Salah seorang anak tak sengaja menendang bola sampai mengenai punggung seorang gadis yang sedang berdiri di dekat gerobak yang menjual ketoprak. Gadis itu tersentak lalu menoleh ke belakang.
“Maaf ya, Tante. Tidak sengaja,” kata anak kecil yang hendak mengambil bola. Tapi bolanya sudah lebih dulu diambil gadis itu.
Gadis itu tersenyum, lalu membungkuk. “Tidak apa-apa, sayang. Kamu ganteng banget sih?” goda gadis itu.
Si anak kecil tersenyum. “Makasih, Tante. Aku emang ganteng, kok.”
“Narsis.” Gadis itu mengacak rambut si anak dengan gemas.
“Kamu mau bolanya kan? Nih, ambil ya?” Gadis itu menaruh bola ke tanah, kemudian ia menendangnya sampai tepat ke arah anak-anak yang sedang bermain bola tadi.
Gadis itu tersenyum-senyum melihat anak-anak yang sedang bermain bola. Senyuman gadis itu entah mengapa membuat perasaan Yudha lebih tenteram lagi.
“Nadia,” gumam Yudha.
-To Be Continued-
ngomong rindu tp giliran diladeni ngomong capek ngantuk, kan pengin /Hammer//Hammer//Hammer/
suami mulai ada tanda tanda dengan bawahnya....klop deh