Prayitno, seorang pria miskin yang nekat merantau ke kota besar demi mencari ibunya yang hilang, justru terperangkap dalam kehidupan penuh penderitaan dan kesuraman. Setelah diusir dari kontrakan, ia dan keluarganya tinggal di rumah mewah milik Nyonya Suryati, yang ternyata menyimpan rahasia kelam. Teror mistis dan kematian tragis menghantui mereka, mengungkap sisi gelap pesugihan yang menuntut tumbal darah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Its Zahra CHAN Gacha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menembus Lintasan Arwah
#Bagi yang sudah membaca 2 bab sebelumnya, harap baca ulang 2 bab sebelumnya agar tidak rancu dalam membaca bab ini. Karena bab sebelumnya sudah saya revisi.
Udara malam semakin berat. Cahaya di sekitar rumah kontrakan Prayitno mulai meredup seiring lilin-lilin ritual menyala. Mbah Gondo duduk bersila di tengah lingkaran bunga tujuh rupa, dupa, dan air kembang, sementara Nurul dan Prayitno duduk berhadapan, tangan mereka saling menggenggam erat. Di antara mereka tergeletak seutas rambut Aryo yang berhasil diambil dari baju tidurnya, benda itu menjadi kunci penghubung ke dimensi tempat arwahnya tersesat.
Keduanya mantap untuk melakukan ritual demi menyelamatkan putra mereka.
"Gamelan jagat, lawang pangider... bukakna jagad kawula!" suara Mbah Gondo membelah ruang, berat dan bergema, seolah bukan hanya dari kerongkongan manusia.
Api lilin tiba-tiba bergerak tidak biasa berkedip ke kanan dan kiri, lalu berdiri tegak. Asap dupa membentuk pusaran, dan dari pusaran itu terdengar suara lirih Aryo memanggil kedua orang tuanya,
"Ayah... Ibu..."
Seketika lantai bergetar. Dinding rumah seperti berdenyut. Nurul memejamkan mata kuat-kuat saat tubuhnya terasa melayang. Semua terasa kabur, suara Mbah Gondo terdengar jauh, seperti berada dalam terowongan panjang. Tiba-tiba, gelap. Hening. Lalu terang menyilaukan meledak di hadapan mereka.
Prayitno dan Nurul terlempar ke dunia yang bukan milik manusia. Tanahnya hitam berpasir, langit merah menyala. Di sekeliling mereka berdiri pepohonan kering dengan akar menjulur seperti tangan yang mencoba mencengkeram apa saja yang lewat. Bayangan-bayangan tanpa wajah melintas cepat, menatap mereka dari kejauhan.
"Inikah... alam arwah?" tanya Nurul dengan suara tercekat.
"Ya... dan Aryo ada di sini," ucap Prayitno.
Ia menggenggam erat tangan istrinya yang tampak ketakutan.
Mereka berjalan menyusuri jalanan yang seperti membentuk labirin. Di kejauhan terlihat sebuah rumah panggung tua yang menyerupai rumah Nyonya Suryati, namun lebih gelap, lebih rusak. Dari dalam rumah itu terdengar suara gamelan lirih yang mendayu seperti ratapan.
Suara gamelan itu seolah menyambut kedatangannya. Keduanya berhenti melangkah dan saling memandang.
Nurul merasakan tubuhnya tiba-tiba membeku.
"Mas aku tidak bisa berjalan," pungkasnya dengan wajah ketakutan
"Jangan takut, ada aku," sahut Prayit
Ia kemudian membisikkan ayat-ayat suci Alqur'an ke telinga istrinya.
Perlahan Nurul merasakan ikatan yang membelenggu tubuhnya perlahan menghilang.
Prayitno menggenggam erat jemari tangannya dan mengajaknya kembali menyusuri lorong itu untuk mencari keberadaan putranya.
Saat mereka mendekat, sosok anak kecil dengan mata putih berdiri di depan tangga rumah itu. Wajahnya pucat, namun senyum kecilnya menggetarkan hati Prayitno.
"Aryo...?" bisik Nurul, air matanya jatuh.
Aryo segera menutup mulutnya saat wanita itu hendak memanggilnya.
"Jangan bersuara," bisik Prayitno
Anak itu tidak menjawab, Ia hanya menunjuk ke dalam rumah. Lalu bayangannya buyar perlahan seperti kabut yang tertiup angin. Aryo menghilan. Tangis Nurul nyaris pecah, Prayitno langsung memeluknya erat menahannya untuk tidak bersuara.
Kini keduanya melanjutkan perjalanan mereka. Prayitno naik perlahan, mengulurkan tangannya untuk menarik Nurul. Setiap langkah terasa seperti melangkah di atas tubuh-tubuh tak kasat mata. Ruangan dalam rumah itu hanya diterangi cahaya temaram dari lentera merah. Di tengah ruangan duduk sosok tua mengenakan kebaya lusuh, rambutnya terurai panjang, wajahnya tertutup kerudung putih.
"Nyimas Surati..." ucap Prayitno pelan.
Sosok itu perlahan menoleh, dan saat wajahnya terlihat, Nurul menjerit. Wajah perempuan itu setengah manusia, setengah tengkorak, dengan senyum penuh darah.
"Anakmu... hampir menjadi penggantiku," katanya dengan suara yang serak dan menggema.
"Kau mengganggu jalanku, Prayitno. Tapi kau datang sendiri ke dunia ini. Mengantarkan nyawa mu sendiri padaku. Tumbal yang sudah ku tunggu dari dulu, kini menyerahkan dirinya padaku. Maka sekarang... akulah yang akan mengambil jiwamu dengan tangan ku sendiri, "
Seketika lantai di bawah Prayitno runtuh, dan ia terjerembab ke lorong gelap berisi. Nurul menjerit saat melihat suaminya terperosok di ruang bawah tanah.
Ia berusaha menolongnya, namun puluhan sosok tak kasat mata menarik tubuhnya menjauh dari suaminya.
suara-suara tangisan dan ratapan terdengar memilukan. Tubuh Prayitno terbanting, tapi ia bangkit cepat. Dalam cahaya remang-remang, ia melihat Aryo putranya. Bocah itu terikat pada tiang kayu, dikelilingi bayangan wanita-wanita yang terus menyanyi dan menari dengan wajah pucat.
Prayitno berlari, menabrak bayangan-bayangan itu. Mereka menjerit, mencakar, namun tubuhnya terus maju.
"Aryo!! Ayah di sini!" teriaknya.
Aryo membuka mata, matanya kini kembali hitam seperti sedia kala. "Ayah..." teriaknya
Prayitno memeluk anak itu erat. Saat ia melepaskan ikatan di tangan Aryo, seluruh ruangan bergetar hebat. Suara Nyimas Surati terdengar menggema marah.
"TIDAK ADA YANG BOLEH PERGI DARI SINI!"
Dinding-dinding retak. Langit merah menjadi hitam. Dari langit-langit jatuh sesosok tubuh hitam besar. Wujud asli Nyimas Surati. Tubuhnya tinggi, matanya menyala, rambutnya menjulur seperti benang-benang api. Ia melayang di atas mereka sambil menjerit. Suaranya begitu menusuk telinga. Aryo menutup telinganya rapat-rapat.
Sementara itu Nurul berusaha melepaskan diri dari bayangan wanita tanpa wajah.
Ia tahu suaminya dalam bahaya dan membutuhkan bantuannya.
Ia mengumpulkan keberanian melawan makhluk tak kasat mata itu.
"Jangan takut, manusia adalah makhluk paling sempurna, para lelembut itu tidak akan bisa membunuhmu, tapi kamu bisa membunuh mereka," kata-kata mbah Gondo terngiang-ngiang di pikirannya
"Ya, aku harus bisa mengalahkan mereka, demi Aryo, aku tak mau kehilangan putraku kedua kalinya!"
Nurul pun mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya dan melemparkannya kearah para bayangan itu.
Seketika bayangan itu pun menghilang, dan Nurul berlari ke tempat Prayit jatuh.
Nurul datang dari balik pintu, membawa kendi berisi air kembang yang telah diberi doa oleh Mbah Gondo. Ia menyiramkan air itu ke tubuh Nyimas Surati. Sosok itu mengerang. Ia menjerit kepanasan, tubuhnya meleleh seperti lilin terbakar.
"Darah penjaga! Air penyuci!" teriaknya marah sebelum akhirnya lenyap bersama gelap yang menelannya.
Dalam sekejap, dunia itu runtuh. Tanah terbuka, udara berputar.
"Mas!" Nurul berteriak memanggil suaminya
Ia melonggok ke lubang tempat suaminya terperosok.
"Mas Prayit!"
Tak ada jawaban. Wajah Nurul seketika berubah muram. Ia tampak sedih saat mengira ia akan kehilangan suaminya juga.
"Mas, Aryo, dimana kalian!" serunya lagi
"Mas jangan tinggalin aku sendiri!" tangisnya kini pecah
Dalam keputus asaan suara Mbah Gondo terdengar memanggil dari jauh
"Prayitno... Nurul... Danang... pulanglah sekarang!"
Nurul segera mendongakkan wajahnya saat melihat seseorang mengulurkan tangannya.
"Mas Prayit!"
Ketiganya terbangun di tengah ruangan tempat ritual. Mata mereka terbuka bersamaan, dan Aryo langsung menangis memeluk kedua orang tuanya. Lilin-lilin padam bersamaan, dan suasana kembali hening. Tapi semua orang tahu, itu belum akhir dari segalanya.
jd ngeri