Tumbuh dewasa di bawah asuhan sebuah panti sosial, membuat Vanila berinisiatif untuk pergi keluar kota. Dengan bekal secarik kertas pengumuman lowongan kerja di salah satu usaha, yang bergerak di bidang cuci & gosok (Laundry).
Nahas, biaya di Kota yang cukup tinggi. Membuat Vanila mencari peruntungan di bidang lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anggika15, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 24 (Siblings)
Edgar melirik perempuan yang masih betah duduk di sampingnya, lantas mengangkat salah satu tangan dimana disana masih melingkar arloji mewahnya.
“Sudah hampir jam sebelas, tidak mau pulang ‘kah!” Edgar sedikit menyindir.
“Sejak kapan kau mempermasalahkan keberadaanku?”
Tentu saja, Sabrina merasa heran dengan sikap kakak laki-lakinya. Tidak hadirnya di cafe biasa, lalu pulang lebih cepat, bahkan sekarang risih dengan keberadaannya, membuat Sabrina semakin bertanya-tanya.
Ada apa dengan Edgar?
Konflik keluarga yang sudah terjadi bertahun-tahun, sepertinya sedikit mengguncang mental Edgar, sehingga Sabrina sedikit merasa takut dan khawatir.
Ya, hanya Edgar yang memilih jalannya sendiri. Sementara Sabrina tetap berhubungan baik bersama sang ibu, walau tak bisa disangkal ia pun merasa sangat kecewa.
“Kau menyembunyikan sesuatu ya?” Mata Sabrina sedikit memicing.
Mencurigai gelagat aneh pria yang 5 tahun lebih tua darinya itu.
“Menyembunyikan apa? Apa yang kamu curigai dariku, huh!”
Sabrina masih menatapnya penuh curiga.
“Astaga…”
“Salah satu dari wanitamu, hamil?”
“Jangan sembarangan, aku tidak bodoh kalau urusan yang satu itu!”
“Oh bukan karena itu, ya? Terus apa penyebab dari sikapmu yang menjadi aneh seperti ini?”
Edgar menghela nafas, kemudian menggaruk keningnya yang tidak gatal.
“Lebih baik kamu pulang, Sabrina!”
“Tidak sampai kau mengatakan sesuatu.”
“Apa? Aku harus mengatakan apa?”
Sabrina mengedikkan bahu.
“Atau pergi cari kekasih, kau ini sudah besar. Tidak bagus terus menjadi penguntit kakakmu sendiri!”
Sabrina langsung berdiri, lantas menggenggam straps tas dan menjawab;
“Aku tidak akan mencari pria sampai kamu benar-benar berhenti.”
“Berhenti apa!?” Kening Edgar mengkerut.
“Bermain perempuan. Karena yang akan menanggung karmanya adalah aku!”
Edgar terdiam mencerna ucapan sang adik, sebelum akhirnya dia tertawa terbahak-bahak karena merasa lucu.
“Tahun berapa sekarang? Masih saja percaya sama tahayul.”
“Terserah saja kalau tidak mau percaya. Apa yang kamu lakukan sekarang akan berimbas pada ibu, kakak atau adik perempuan, … dan bahkan putrimu sendiri!”
“Ya ya ya, terserah saja.”
Tiba-tiba Edgar ikut berdiri, setelah itu pergi dari sana meninggalkan Sabrina begitu saja.
“Hey!”
Sambil berjalan, Edgar hanya mengangkat satu tangannya. Tidak bersuara, apalagi menoleh.
“Ed, kamu tidak mau tau kabar mama?” Teriak Sabrina.
“Dia baik, dia masih hidup.”
Sebuah jawaban yang selalu Sabrina dengar kala dirinya berusaha memperbaiki hubungan antara ibu dan anak yang kini sedang tidak baik.
Entah sampai kapan, tapi Sabrina sudah merindukan momen dimana mereka bisa berkumpul bersama.
“Mungkin aku akan menyerah, Ed. Rasanya sulit sekali menarikmu untuk kembali,” Sabrina berujar.
Edgar yang sudah sampai di tengah-tengah tangga menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke arah bawah dimana sang adik berdiri sambil menenteng tas mahalnya.
“Sudah terlalu lama, Ed!”
“Ini hidupku sekarang, Sabrina. Jika kalian mau datang rumah ini terbuka, … asal jangan memintaku datang kesana apalagi menemui suaminya. Itu menjijikan!”
“Mengertilah jika hidup itu tetap berlanjut.”
“Aku tahu, tapi apa dengan menikah lagi hidupnya tidak bisa berlanjut?” Sorot matanya memperlihatkan banyak rasa kecewa.
“Ed—”
Belum selesai bicara, Edgar langsung menyanggah;
“Hanya papa yang pergi, … seharusnya bisa jika hanya untuk melanjutkan hidup. Lantas kenapa menikahi supir sialan itu, enak sekali hidupnya menikmati harta-harta ayahku tanpa harus bekerja keras.”
“Edgar…”
“Pulang Sabrina, sudah malam!” Tegas Edgar seraya memutar tubuh dan kembali melangkahkan kaki.
Sementara Vanila, dia berdiri tepat di belakang pintu kamar sambil menajamkan pendengaran.
Seketika hening, suara perdebatan yang sedari tadi terdengar tiba-tiba lenyap. Sehingga keadaan rumah itu kembali hening seperti sedia kala.
“Hidup pak Edgar misterius sekali!” Bisik Vanila.
Sekarang Vanila semakin penasaran. Siapa Edgar, apa pekerjaan pria itu hingga mempunyai banyak uang, lalu kenapa menjauh dari keluarga dan memilih untuk tidak menikah bahkan usianya sudah bisa dibilang sangat cukup.
“Ah dia bahkan sudah pantas mempunyai anak, tapi kenapa malah memilih hidup yang seperti ini. Apa tidak lelah ya? Kalau menikah ‘kan pulang ada yang nyambut, keperluan dia ada yang urus,” Vanila bermonolog.
Kaki mungilnya mulai melangkah menjauh dari pintu, lalu mendudukan diri di tepi ranjang.
“Astaga, aku harus ke kamar itu ‘kan?”
Vanila langsung menyadari sesuatu saat pandangannya tertuju pada setiap tas belanja yang berjejer rapi di sudut kamar.
Dia menyambarnya, kemudian berlari ke luar kamar.
***
Mandi sudah, mempersiapkan diri dengan memakai salah satu dress tidur juga sudah. Tapi tidak tahu kenapa Edgar belum memperlihatkan batang hidupnya sampai sekarang, ketika jam sudah menunjukkan lewat tengah malam.
Vanila mondar-mandir di depan ranjang, sambil memainkan jari-jari tangannya yang cukup lentik.
“Samperin ke kamarnya gitu?” Vanila berhenti melangkah, dia berpikir keras.
“Ih tapi katanya ga boleh.”
Vanila melipat tangan di dada.
“Udah hampir dua jam, … di telepon ga diangkat, pesan juga tidak dibalas. Kenapa kira-kira?”
Peperangan batin mulai terasa. Hatinya meminta untuk pergi, setidaknya memeriksakan keadaan pria itu setelah terdengar berdebat tadi. Namun, pikirannya menolak keras karena larangan dari Edgar tempo hari.
“Ah coba dulu deh, gimana kalo ada apa-apa?”
Vanila keluar dari dalam kamar tamu, mendongak menatap ke arah lantai 2 dengan perasaan sedikit ragu.
“Cuma periksa aja gapapa, Van!”
Perempuan itu memberanikan diri, berjalan mengendap-endap. Tak jarang juga Vanila berhenti di salah satu anak tangga, dia benar-benar takut Edgar marah.
Tapi Vanila juga takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada Edgar.
Tok tok tok…
Setelah berpikir cukup lama, akhirnya Vanila memberanikan diri untuk mengetuk salah satu pintu ruangan.
Ada dua, tapi tidak tahu kenapa Vanila yakin jika yang dirinya ketuk adalah pintu kamar milik Edgar.
“Pak?” Vanila memanggil.
Namun, tidak ada sahutan dari salam sana.
Tok tok tok….
“Pak Edgar?”
Masih tidak ada jawaban, sampai Vanila lebih memberanikan diri untuk menggenggam handle pintu dan menekannya ke bawah perlahan-lahan.
Klek…
Pintu itu tidak terkunci.
Gelap, satu kata yang berbisik di dalam hati Vanila setelah melihat keadaan ruangan itu.
“Pak?”
Vanila melangkah masuk, pandangannya menengadah melihat keadaan sekitar.
Gelap, sunyi dan sangat mencekam.
“Pak Ed—aaaaaaa!”
Vanila berteriak sangat kencang saat tangannya ada yang menggenggam dari arah belakang.
“Mau cari siapa disini?” Tanya Edgar, suaranya terdengar rendah.
“Ba-bapak!”
“Ini ruangan kosong, kamu tidak akan menemukan saya disini!”
Vanila diam, matanya membulat sempurna saat berusaha menatap wajah Edgar di bawah langit-langit kamar yang gelap. Tanpa banyak bicara Edgar segera menarik tangan Vanila, dan membawanya keluar dari dalam sana.
Terlihat pintu ruangan di sisi lain terbuka, sepertinya disanalah kamar Edgar berada. Satu hal yang tidak Vanila sangka adalah, pria itu menggiring nya masuk kedalam sana.
“Saya masih ada sedikit kerjaan, tunggu disana!” Katanya sambil melirik ke arah ranjang tidur yang sangat besar.
Edgar melepaskan tangan Vanila kemudian menutup pintu kamar, sebelum kembali ke arah satu meja di ujung ruangan. Disana terlihat keberadaan laptop yang menyala, juga beberapa map yang terbuka.
Lho, bukannya ga boleh? Tapi kenapa justru sekarang Edgar yang menariknya masuk ke dalam wilayah pribadinya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Uhuy😆😆
ternyata harus nunggu up lagi 😁😍
kicep tuh si om om 😁😍
atau vanila sengaja ya biar cepat ditalak🤔