NovelToon NovelToon
Renjana

Renjana

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Nikahmuda / Spiritual / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:38
Nilai: 5
Nama Author: idrianiiin

Allah akan menguji iman masa mudamu dengan didatangkannya sosok yang dulu pernah diminta. Seseorang yang selalu riuh dalam doa, dipuja, serta kerapkali dijadikan sebagai tujuan utama.

Dihadapkan pada dua pilihan, bukan perihal dia lagi yang harus diperjuangkan, melainkan Dia-lah yang jauh lebih pantas untuk dipertahankan. Hati bersorak agar kukuh pada pendirian, tapi bisikan setan tak kalah gencar melakukan perlawanan.

Perkara cinta dan dunia memang tak dapat dipisahkan, terlebih jika sudah menyangkut ihwal iman yang kadangkala turun tanpa pemberitahuan.

Lantas siapakah yang kini harus diprioritaskan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon idrianiiin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kehilangan

...بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم...

..."Sejatinya kita tidak pernah memiliki, semua hanya sekadar titipan Sang Illahi, yang sewaktu-waktu bisa pergi."...

...°°°...

Anin termenung di dalam kamar, tubuhnya terlentang dengan tangan dijadikan sebagai bantal. Pandangan perempuan itu lurus ke langit-langit. Pikirannya seketika kacau, dipenuhi berbagai hal yang membuat kepala terasa pusing.

Sudah hampir dua pekan setelah pertemuan tak sengaja dirinya bersama Arhan. Tapi, sampai sekarang pria itu tak kunjung datang. Sepertinya Anin terlalu percaya diri dan terlalu tergesa-gesa menyimpulkan, bahkan dia sudah lancang bermain hati.

Dilema, menjadi kawan akrabnya saat ini. Isi kepala dan hati seolah berkompromi untuk semakin membuat Anin kelimpungan menguasai diri. Dia sudah salah langkah, sok tahu, dan mendahului takdir Allah. Seharusnya jangan dulu pakai hati.

Suara pintu yang dibuka membuat Anin refleks menolah dan duduk tegak saat melihat kedatangan sang ibu.

"Kenapa, Ma?"

Arini duduk di samping sang putri lantas berkata, "Seharusnya Mama yang tanya gitu."

Kening Anin terlipat, tak mengerti dengan perkataan beliau. "Maksud, Mama?"

"Ada masalah apa, hm? Akhir-akhir ini kamu sangat murung dan seperti lagi banyak pikiran," cetusnya membuka obrolan.

"Nothing, Ma. Anin baik-baik saja."

Mata Arini menyelidik tak percaya. "Mama bukan orang yang tepat untuk kamu bohongi. Mama tahu kamu sedang tidak baik-baik saja."

Anin terdiam dan memilih untuk menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang. Tangan perempuan itu mengambil sebuah novel yang berada di atas laci. "Sepertinya Anin terlalu tergesa-gesa menjatuhkan hati, lelaki yang Anin kira akan datang bersama orang tuanya itu tak kunjung datang juga."

Arini menghadapkan diri di depan sang putri, membawa tangan sang putri ke dalam genggaman lantas berkata, "Mungkin nanti, tidak dalam waktu dekat ini. Lelaki yang benar-benar serius akan datang di waktu yang tepat, bukan cepat."

Tangannya beralih merapikan surai sang putri yang sedikit berantakan. "Jangan terlalu terburu-buru, jika memang ditakdirkan untuk bersatu, Allah pasti akan mempermudah jalanmu menuju ke arahku. Itu, kan yang kamu tulis di dalam buku? Bersabarlah, tapi jangan terlalu memupuk harapan agar kamu tidak kecewa jika kenyataan yang terjadi tidak sesuai ekspektasi."

Terkadang yang membuat seseorang kecewa itu bukan karena takdir Allah Ta'ala, tapi karena manusianya saja yang terlalu berekspektasi tinggi terhadap dunia. Terlalu mudah berangan, hingga lupa diri pada kenyataan.

"Tidak semua yang kita inginkan mudah didapatkan, adakalanya harus dibarengi dengan perjuangan agar pada saat kita mendapatkannya, tak ada keinginan untuk berpaling," imbuhnya seraya tersenyum lebar.

Anin mengangguk pelan lantas berujar, "Tapi Anin bingung sama perasaan Anin sendiri. Rasanya campur aduk gak keruan."

Arini tertawa lalu berkata, "Kamu itu lagi galau, Anindira Maheswari. GALAU!"

"Masa iya?"

Beliau mengangguk semangat. "Itu hal wajar, apalagi di antara kalian tidak ada komunikasi sama sekali. Tapi, sudah pernah ada omongan serius untuk menikahi. Antara hati dan pikiran saling berkonspirasi dan membuat kamu pusing sendiri."

Apa yang dikatakan Arini memang benar, sampai detik ini pun Anin dan Arhan tidak saling bertukar nomor ponsel. Bahkan, tidak saling follow akun media sosial, karena memang tidak saling mengetahui dan mencari tahu.

Komunikasi yang terjalin jika tak sengaja berpapasan. Itu pun sudah tidak lagi terjadi karena semenjak kejadian di kedai mie ayam, Arhan tak lagi terlihat mengunjungi kafe. Karena hal itu pulalah yang membuat Anin galau sekaligus overthinking.

"Sudah jangan terlalu dipikirkan, bawa santai saja. Kalau datang alhamdulilah, kalau tidak ada pun ya sudah gak papa. Biarkan semua berjalan sesuai dengan ketetapan Allah," pungkas Arini.

Anin hanya mengangguk saja.

Arini mengambil alih novel yang tengah dipegang sang putri, membukanya terlebih dahulu lantas berkata, "Semoga kebaikan selalu bersamamu, dan yang terbaik selalu menjadi milikmu. Pada saat itu membacanya dengan binar bahagia, tapi sekarang kok nyesek yah."

Anin mendelik tajam mendapat ledekan dari sang ibu yang begitu menusuk ulu hati. Serasa ada yang berdenyut ngilu, dan dia sangat menyadari akan hal itu.

Arini tertawa terpingkal-pingkal. "Daripada galau mending healing. Sudah lama kamu gak keluyuran juga, kan?"

"Kafe lagi rame, Ma. Masa karyawan Anin pada sibuk kerja, eh Anin malah sibuk liburan. Anin gak setega itu," sahutnya.

Semenjak Haidar menuliskan artikel terkait Senandika Cafe di media digital, usahanya itu semakin kebanjiran pengunjung. Apalagi jika weekend, kafenya selalu full dipenuhi oleh muda-mudi dari berbagai daerah.

"Gak usah yang jauh-jauh, yang deket juga banyak. Kamu perlu refreshing," saran Arini.

"Ke mana?"

"Terserah kamu atuh, Bandung itu dipenuhi dengan beragam destinasi wisata terbaik. Orang-orang luar pada ke Bandung, kamu yang orang Bandung malah melancong ke kota orang. Aneh!"

Anin mendengkus. "Iya nanti Anin akan menjelajah ke pelosok kota Bandung."

...°°°...

Terlihat seorang pria tengah berdiri resah di ruang tunggu rumah sakit. Sedari tadi langkahnya tak pernah lelah mondar-mandir, mengkhawatirkan kondisi sang ibu yang tengah ditangani dokter di ruang tindakan.

"Duduk dulu, Bang. In syaa allah semua akan baik-baik saja," tutur Arhan yang sedari tadi menemani Haidar.

"Lebih baik kamu pulang, Abang bisa sendiri," sahut Haidar.

Arhan berdiri dan lebih mendekat ke arah Haidar. "Arhan mau di sini."

Keadaan Hera kian memburuk dari hari ke hari, terlebih wanita setengah baya itu tak lagi mengonsumsi obat-obatan yang telah Haidar belikan. Bahkan untuk cuci darah saja beliau tidak mau, sekalipun sudah dipaksa dan dibujuk.

Tadi sepulang kerja, Haidar mendapati sang ibu yang tengah sesak napas. Tanpa pikir panjang lagi dia segera membawa Hera ke rumah sakit, dan sampai sekarang ibunya masih dalam penanganan tenaga medis.

"Minum dulu biar tenang," pinta Arhan seraya memberikan sebotol air mineral yang tadi dia beli di kantin rumah sakit.

Arhan menerimanya dan langsung menandaskan minuman itu hingga tersisa setengah. Pikirannya benar-benar kacau, dia sangat mencemaskan sang ibu.

Haidar melirik resah arlojinya yang terasa melaju begitu lambat. Entah sudah berapa jam dirinya berdiri dengan perasaan tak tenang, bahkan perutnya yang keroncongan tidak begitu dihiraukan.

Terlihat Anjar dan Asma berjalan cepat menghampiri Arhan dan Haidar. Mereka langsung menuju ke rumah sakit saat mendapatkan kabar kurang baik yang disampaikan Haidar.

Arhan menyalami orang tuanya secara bergantian, tapi hal itu tak dilakukan Haidar. Kilat kemarahan sangat kentara jelas menghiasi bola mata Haidar yang menatap tajam ke arah Anjar dan juga Asma.

Mereka berkawan geming, suasana terasa sangat dingin dan mencekam. Tidak ada satu pun yang berani bersuara, apalagi pada saat melihat kedua tangan Haidar yang terkepal kuat.

Asma merapatkan matanya sejenak, menarik napas panjang lantas mengembuskannya secara perlahan. Dia mengelus lembut lengan Haidar lalu berujar, "In syaa allah semua akan baik-baik saja."

Tangan yang sedari tadi terkepal seketika terurai, dan tanpa diduga Haidar berhambur memeluk Asma. Tubuh wanita setengah baya itu menegang sempurna, tapi detik berikutnya melemah dan dengan penuh kasih sayang seorang ibu, beliau mengelus punggung tegap anak sambungnya.

Tangis Haidar pecah, menjadikan bahu Asma sebagai sandaran untuk membagi luka. Rasa takut akan kehilangan sang mama membuat dirinya lemah, dan dia sangat membutuhkan seseorang untuk mengadu.

Cukup lama keduanya bertahan dalam posisi tersebut. Sampai pada akhirnya terlepas karena mendengar suara kenop pintu yang terbuka.

Di sana menampilkan seorang dokter. Dia membuka maskernya sejenak sebelum akhirnya berucap, "Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi takdir Tuhan berkata lain. Ibu Hera telah wafat."

Tubuh Haidar merosot dan terduduk di atas dinginnya lantai, tangis pria itu kembali pecah tak terbendung. Kedua kakinya ditekuk, dan dipeluk dengan begitu erat.  Dadanya begitu sesak bukan kepalang, seperti ingin menjerit tapi suaranya justru tercekat.

...°BERSAMBUNG°...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!