NovelToon NovelToon
Azizah Dikira Miskin

Azizah Dikira Miskin

Status: sedang berlangsung
Genre:Penyesalan Suami / Ibu Mertua Kejam
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: SOPYAN KAMALGrab

Azizah pura pura miskin demi dapat cinta sejati namun yang terjadi dia malah mendapatkan penghinaan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 20 kekacauan raka dan ketenangan aziza

Malam itu, suasana di ruangan pertemuan keluarga Wijaya dan Aditama dipenuhi dengan percakapan yang hangat dan penuh semangat. Gelas-gelas kristal beradu pelan saat mereka bersulang merayakan kesepakatan yang baru saja dicapai. Setiap orang berbicara dengan antusias, saling bertukar informasi tentang peluang bisnis yang bisa dikembangkan.

"Kami berencana membuka beberapa cabang perusahaan di Karawang,"ujar salah satu anggota keluarga Wijaya dengan penuh percaya diri.

"Kebetulan sekali, kami juga akan memperluas usaha ke Bandung,"balas perwakilan dari keluarga Aditama. "Dengan sinergi yang tepat, ini akan menjadi investasi besar yang menguntungkan."

Keduanya tertawa ringan, puas dengan rencana besar yang telah mereka susun. Namun, di tengah semua pembicaraan bisnis yang gemilang ini, ada satu kesepakatan lain yang tak kalah penting—perjodohan antara Luna Wijaya dan Romi Aditama.

Keduanya duduk di meja yang sama, tetapi jelas terlihat bahwa tidak ada sedikit pun antusiasme di wajah mereka.

Luna menyilangkan tangan di dadanya, tatapan matanya tajam menusuk ke arah orang-orang yang sibuk berbicara tentang masa depannya seolah-olah dirinya tak punya hak bicara. Bibirnya terkatup rapat, menahan keinginan untuk menyela dan membatalkan semua ini.

"Perjodohan? Serius? Apa mereka pikir ini masih zaman Datuk Maringgih yang menjual Siti Nurbaya?"batinnya mendidih.

Ia melirik ke arah Romi yang tampaknya juga tenggelam dalam pikirannya sendiri.

"Awas saja kalau bocah itu terima perjodohan ini. Gue jadiin perkedel nanti."

Sementara itu, Romi tampak gelisah. Ia memegang gelas di tangannya, memutar-mutarnya tanpa minum. Makanan mewah yang terhidang di depannya tak sedikit pun menggugah selera. Pikirannya terlalu penuh.

Ia mendengar Luna berbicara dengan nada kesal kepada seseorang di sebelahnya, tapi kata-katanya hanya bergema tanpa makna di kepalanya. Yang ada hanya bayangan seseorang—seseorang yang seharusnya jauh dari pikirannya malam ini.

Azizah.

Setiap kali ia menatap meja ini, ia tidak melihat hidangan mahal yang tersaji, tetapi wajah Azizah yang kelelahan. Wajah yang ia bayangkan saat perempuan itu duduk di kamarnya, menahan sakit karena kehamilannya.

"Kapan ya lu lahiran?"pikirnya, dadanya terasa sesak. "Gue pengen banget nemenin lu, Zi."

Sebuah perasaan aneh muncul dalam dirinya—campuran antara kepedulian, kerinduan, dan sesuatu yang tak ingin ia akui. Tapi kemudian, suara lain dalam kepalanya menamparnya kembali ke realitas.

"Romi, lu gila. Aziza udah punya suami. Jangan sampai lu dapat julukan perebut bini orang."

Ia menarik napas panjang, mencoba menyingkirkan pikiran itu. Namun, semakin ia berusaha, semakin bayangan Azizah menguat dalam benaknya.

Kecewa dan berharap.

Dua perasaan itu terus bertarung dalam dirinya, dan ia tidak tahu mana yang akan menang.

..

Suasana di rumah Raka terasa tegang. Wajahnya memerah, tangannya mengepal, tapi tatapannya kosong, seolah pikirannya sedang berperang dengan dirinya sendiri.

"Kak, emang Kakak nggak bilang ke Susan kalau aku sudah menikah?" Raka menatap Sari dengan wajah penuh harap, seakan masih ingin percaya bahwa keluarganya tak seburuk yang ia pikirkan.

Sari malah tertawa kecil, santai seperti sedang membahas cuaca. "Belum waktunya, Rak. Nanti aja kalau lu udah nidurin Susan, baru deh lu ngaku."

Raka melangkah mundur, seakan ucapannya barusan adalah tamparan yang baru ia sadari sakitnya. "Astagfirullah, Kak! Aku nggak mau ngerusak orang."

Sari mendecakkan lidah, menatap Raka seperti menatap anak kecil yang merengek minta mainan. "Alah, kolot banget sih lu. Emangnya kalau gue cerita lu udah nikah, Susan masih mau dinikahin sama lu?"

Raka menelan ludah, pikirannya kacau. "Tapi, Kak, ini salah! Kita lebih baik jujur. Lagian, usaha gue tetap lancar meski tanpa Susan."

Sari mendengus, melipat tangan di dada. "Lancar, tapi jalan di tempat. Usaha lu baru naik tiga tahun ini, Rak. Kalau nggak dikembangin, lu bakal kalah saing. Dunia usaha lagi nggak baik-baik aja, dan lu harus rasional kalau mau bertahan."

Sumarni yang sejak tadi diam kini angkat bicara, suaranya lembut tapi menusuk. "Iya, dengerin Kakak kamu, Raka. Kita hidup harus maju, jangan gampang puas. Kita butuh koneksi luas buat ngembangin usaha kamu."

Raka meremas rambutnya frustasi. "Tapi, Bu... gimana kalau Susan tahu nanti? Kalau dia kecewa, kalau keluarga Warseno menghancurkan usaha kita?"

Sari terkekeh, seakan itu bukan masalah besar. "Makanya, hamilin dia dulu. Kalau dia udah ngandung anak lu, dia nggak bakal bisa ninggalin lu. Mumpung dia lagi mabuk kepayang sama lu."

Raka membelalak, nafasnya memburu. "Astaga, Kak! Aku nggak mau ngehamilin anak orang di luar nikah!"

Sari mendesah, matanya melirik Sumarni seakan meminta dukungan. "Udah, jangan sok suci. Lu juga nggak bakal kabur, kan? Lu bakal tanggung jawab dan nikahin Susan. Jadi, apa bedanya?"

Sumarni mengangguk mantap, memberi tatapan tegas yang membuat Raka merasa semakin kecil. "Dengerin kakak kamu, Raka. Ini untuk kebaikan kita semua."

Raka terdiam. Ia tahu, jika Sumarni sudah bersabda, maka tak ada yang bisa ia lakukan. Andai ibunya menyuruhnya jadi gigolo pun, mungkin ia akan menurut. Karena Raka, si bodoh yang berbakti, terlalu sayang pada keluarganya hingga buta akan benar dan salah.

Malam itu, Raka duduk di teras rumah, menatap langit seolah mencari jawaban, padahal yang ada di kepalanya hanyalah kekosongan. Udara dingin menyelusup hingga ke tulangnya, tapi bukan itu yang membuatnya gelisah. Pikirannya berantakan, hatinya berdenyut dengan sesuatu yang menyerupai penyesalan—atau mungkin hanya ketakutan akan konsekuensi dari pilihannya.

Langkah kaki mendekat. Sari menjatuhkan diri di kursi sebelahnya, menyalakan rokok dengan gerakan santai, seperti seseorang yang sudah terbiasa dengan kelamnya dunia. Ia menghisap dalam-dalam sebelum menghembuskan asap ke udara.

"Lu masih mikirin omongan gue tadi?"

Raka tetap diam. Rahangnya mengeras.

Sari terkekeh, nada suaranya penuh kemenangan. "Rak, dunia ini nggak sesederhana idealisme lu. Lu pikir sukses bisa diraih cuma dengan kerja keras dan moral bagus? Salah besar." Ia menyeringai, mencondongkan tubuhnya. "Lu tahu siapa yang menang di dunia ini? Orang yang berani ngambil kesempatan, apapun caranya."

Raka mengepalkan tangan di atas pahanya. Jari-jarinya gemetar, bukan karena dingin, tapi karena sesuatu yang jauh lebih gelap merayap di benaknya. "Tapi, Kak... aku nggak mau jadi bajingan."

Sari tertawa kecil, penuh ejekan. "Oh, lu udah jadi bajingan, Rak. Cuma lu aja yang belum terima kenyataan." Ia menepuk bahu Raka pelan, seolah menenangkan, padahal justru mencabik-cabik sisa moral yang berusaha Raka pertahankan. "Dan kalau lu masih berpura-pura jadi orang baik, bersiaplah buat diinjak-injak."

Raka tak menjawab. Matanya tetap menatap ke depan, tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda di sana—sebuah keputusan yang mulai mengakar, perlahan tapi pasti.

Raka tak banyak bicara. Dengan rahang yang tegang dan langkah berat, dia beranjak dari teras, memasuki kamarnya dengan kepala yang dipenuhi kegelisahan.

Setibanya di sana, matanya langsung tertuju pada kasur. Seharusnya, Azizah ada di sana—tertidur dengan wajah yang penuh ketenangan, atau duduk dengan buku di tangan, mencoba mengalihkan diri dari dunia yang penuh kebohongan ini. Tapi sekarang, hanya ada kesepian yang menyesakkan.

Pandangannya beralih ke mihrab kecil di sudut kamar, tempat Azizah selalu shalat malam. Bahkan dalam kondisi hamil, dia tetap melakukannya. Raka merasa sesuatu yang mencekam di dadanya, tapi itu bukan kerinduan. Itu kebencian. Kebencian yang tak tertahankan.

"Azizah... kemana kamu?"

Kata-kata itu seperti teriakan dalam kepalanya. Ia menggertakkan giginya, marah pada kenyataan bahwa semua ini terjadi.

"Sialan kamu! Kurang ajar kamu! Pergi dari rumah tanpa seizin aku, itu yang kamu lakukan!"

Tangannya menggenggam rambutnya dengan keras. Rasa benci itu semakin menggerogoti dirinya, semakin liar.

"Kalau nanti aku berzina, itu salah kamu, Azizah! Kalau aku harus menikahi Susan dan menghamilinya dulu, itu karena kamu! Kalau aku terjebak dalam pernikahan bodoh ini, itu semua gara-gara kamu!"

Pikiran itu terus bergulir, semakin mengaburkan logika dan akal sehat. Semua ini adalah salah Azizah—selalu salah dia, menurut Raka.

"Kamu pikir kamu bisa pergi begitu saja? Kamu dari keluarga miskin, dihina oleh ibu dan kakakku, dan kamu malah lari! Seharusnya kamu tetap di sini, bertahan! Tapi enggak, kamu malah kabur dan ninggalin aku! Semua ini salah kamu, Zah! Semuanya!"

Dadanya bergetar, napasnya semakin berat. Tangannya mengepal, tubuhnya tegang, seolah ingin meledak.

"Aku udah siapin semuanya untuk kamu, rumah yang nyaman, segala yang kamu mau, dan ini yang kamu beri? Kamu pergi, kamu ninggalin aku dalam kekacauan ini, dan sekarang aku harus ngadepin ini sendiri! Aku benci kamu, Zah! Aku benci kamu nggak ada di sini!"

Raka terdiam, terengah-engah, tapi kebenciannya terus mengalir, tak pernah berhenti. Dia tak sadar—dia tidak melihat bahwa dia sedang menutupi kesalahannya dengan tumpukan kebencian yang semakin membakar. Dalam pikirannya, dia adalah korban. Dalam pikirannya, semuanya adalah salah Azizah.

"Kalau kamu ada di sini, Zah, aku nggak bakal terjebak dalam semua ini! Aku benci kamu, dan itu salah kamu!"

Dia berdiri di tengah kamar, bingung dan marah, tapi tak ada satu pun yang bisa menenangkannya. Tidak ada yang bisa membuatnya melihat kenyataan yang sebenarnya—bahwa kebenciannya itu salah, dan dia sendiri yang telah merusak semuanya. Tapi Raka terlalu angkuh untuk menyadarinya.

,,

Sementara itu, di kamar yang mewah, Azizah duduk dengan tenang setelah menunaikan shalat malam. Suasana kamar yang sejuk dan nyaman memberi ketenangan yang tak ternilai. Di sudut-sudut kamar, ada dua art yang juga ikut shalat, berjaga-jaga untuk membantu jika Azizah membutuhkan sesuatu. Tapi bagi Azizah, malam ini, fokusnya hanya pada satu hal—doa yang dipanjatkan dengan penuh harapan.

Dengan hati yang khusyuk, Azizah bermunajat, merendahkan diri di hadapan Tuhan. Doa-doanya mengalir lembut, seolah semua keluh kesah dunia lenyap begitu saja dalam kekhusyukan malam. Ia memohon dengan tulus agar kelahiran bayinya lancar, tanpa hambatan. Ia memohon agar anaknya lahir dengan selamat, tak kurang sedikit pun—sehat, kuat, dan penuh berkah.

"Ya Allah, permudahkanlah proses kelahiranku, dan jadikan anak ini anak yang sholeh, yang akan menjadi cahaya bagi dunia ini,"ucapnya dalam hati, sambil menatap ke langit-langit yang gelap, seperti berbicara langsung kepada Sang Pencipta. Tak ada rasa takut, tak ada rasa cemas. Hanya doa dan harapan tulus yang keluar dari hatinya.

Azizah tidak memikirkan Raka yang sedang berada dalam kekacauan pikirannya. Tidak ada sedikit pun perhatian yang ia berikan pada suaminya yang tampaknya terperangkap dalam kebingungannya sendiri. Bagi Azizah, itu adalah dunia yang sudah jauh di belakangnya. Tidak ada ruang untuk Raka dalam doanya malam itu, tidak ada rasa kasihan, tidak ada rasa bersalah.

Ia tidak merasakan penderitaan yang selama ini diharapkan oleh Sari, Sumarni, atau bahkan Raka sendiri. Tidak ada sedikit pun ketakutan bahwa ia akan jatuh atau tersesat. Sebaliknya, ia hidup dengan kedamaian yang lebih dari cukup. Azizah tidak peduli dengan apa yang mereka pikirkan, dengan apa yang mereka harapkan darinya. Ia hanya peduli dengan satu hal—bayinya yang akan lahir, dan dirinya sendiri, yang telah melepaskan semua beban yang dulu mengikatnya.

Keputusan untuk meninggalkan rumah Raka bukanlah sebuah keputusan yang terburu-buru. Itu adalah langkah yang diambil dengan penuh keyakinan. Kini, ia hidup tanpa beban, tanpa rasa takut akan cemoohan atau rasa bersalah yang sempat coba ditanamkan oleh mereka. Bagi Azizah, hidupnya sekarang adalah tentang anaknya, tentang dirinya yang bebas dari segala kekacauan yang diciptakan oleh orang-orang di sekelilingnya.

Tanpa mengetahui atau peduli dengan apa yang terjadi di luar sana, Azizah tetap fokus pada doanya. Malam ini, ia hanya ingin merasakan kedamaian, jauh dari segala drama dan kebingungannya yang sempat mengganggu hidupnya dulu.

1
Ma Em
Tuh kan Azizah nya tdk apapa kan kalian keluarga pratama dan Aditama malah adu kekuatan dan pamer kekayaan , kalian harus akur karena mungkin tdk lama lagi kalian akan jadi besan 🤭🥰🥰
Jerni
tutorial biar yang baca banyak gimana ya? 😭
Jerni: gila banget 10 Bab sehari /Sob/
SOPYAN KAMALGrab: bikin Sahari 10 bab.. langsung sistem merekomendasikan...aku bikin satu bab satu bab pembacanya sedikit,
total 2 replies
Ma Em
Azizah sdh ceraikan Raka sebelum Raka tau Azizah anak orang kaya takut nanti Raka tdk mau menceraikan Azizah kalau keluarga Raka tau Azizah anak orang kaya maklum ibunya Raka dan kakaknya matre semua
Ma Em
Akhirnya Raka masuk jebakan Susan semoga Susan hamil agar Raka menikah dgn Susan dan Azizah jadi mudah pisah dgn Raka dan Azizah bisa dgn Romi biarkan Raka dan keluarganya menyesal karena sdh membuang istri dan menantu kayanya apalagi kakaknya Raka yg matre yg selalu bilang Azizah miskin dan tdk berguna itu anak seorang konglomerat
Ma Em
Romi kalau kamu mau tau kemana suaminya Azizah makanya yg kamu selidiki itu suaminya Azizah siapa, dimana dan kenapa tdk bersama Azizah jgn Azizah nya yg ditungguin sama anak buah kamu Romi dan untuk pak Warseno yg matre meskipun sdh kaya semoga saja Susan dgn Raka
Ma Em
Raka turuti terus kemauan ibumu dan kakakmu itu pasti akan membawamu dalam kehancuran, ibumu dan kakakmu itu ambisinya terlalu besar jadi menghalalkan segala cara meskipun itu dgn cara salah tapi ada untungnya Raka dan ibunya tdk tau bahwa Azizah anak seorang pengusaha makanya Azizah lebih baik cepatlah ceraikan Raka.
Phoebe
Puas hati!
SOPYAN KAMALGrab: makasih
total 1 replies
ChopSuey
Gilaaa ceritanya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!