Juru masak di bistro bernama Ruby River yang diminta bekerja di mansion milik keluarga kaya. Di mansion mewah itu, Ruby bertemu dengan pria dingin, arogan, dan perfeksionis bernama Rhys Maz Throne, serta si tengil dan rebel, Zade Throne. Zade jatuh hati pada Ruby pada pandangan pertama. Rhys, yang selalu menjunjung tinggi kesetaraan dan menganggap hubungan mereka tidak pantas, berupaya keras memisahkan Ruby dari adiknya. Ironisnya, usaha Rhys justru berbuah bumerang; ia sendiri tanpa sadar jatuh cinta pada Ruby, menciptakan konflik batin yang rumit.
Perasaan Rhys semakin rumit karena sifatnya yang keras kepala dan keengganannya mengakui perasaannya sendiri. Sementara itu, Ruby harus menghadapi dua pria dengan kepribadian yang sangat berbeda, masing-masing menawarkan cinta dengan cara mereka sendiri. Di tengah dilema ini, Ruby harus memilih: mengikuti kata hatinya dan menerima cinta salah satu dari mereka, atau menjaga harga dirinya dan memendam cintanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lyraastra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERMAINAN AWAL
Dini hari, Rhys baru kembali ke mansion. Semua pelayan dan penjaga telah menghilang, beristirahat setelah sepanjang hari bekerja keras dalam melayani kebutuhan mansion yang megah ini. Rhys melangkah masuk, masih mengenakan kemeja putih di mana kancing atas ia buka, sedikit memperlihatkan otot dadanya yang bidang. Lampu-lampu redup di ruang utama hanya menerangi beberapa sudut, menciptakan bayangan-bayangan dirinya yang samar di dinding-dinding tinggi. Hampir sehari penuh berjibaku dengan tumpukan dokumen dan layar monitor yang membuat matanya semakin berat, ia membutuhkan minuman segar— mungkin soda atau kopi hitam. Berjalan ke lantai dasar, di mana dapur berada, tujuannya sekarang. Suara ketukan sepatu bergema pelan di lantai marmer. Sepi dan tenangnya mansion, diselingi langkahnya sendiri, sedikit mengalihkan pikirannya yang lelah dari beban pekerjaan.
Akhirnya, dapur terpampang dihadapannya. Namun, bukan hanya kesunyian yang menyambut. Seorang wanita muda, Ruby, berdiri didekat konter dapur, punggung belakang menghadapnya. Rambut pirang yang sering dicepol, kini tergerai panjang dengan indah. Cahaya redup dari lampu dapur menerangi profilnya yang tampak gelisah, dan tanpa sadar menyisir rambutnya sendiri dengan kasar. Rhys berfikir sejenak, sebelum mendekat dengan langkah tenang. Bayangannya jatuh di lantai marmer, memanjang di belakangnya. Perbedaan tinggi badan mereka sangat kentara; Rhys yang amat tinggi, gagah dan tegap menjulang di atas Ruby yang mungil. Ia berhenti beberapa langkah dari wanita itu.
"Berdiam diri di dapur tidak akan membuat pikiranmu membaik," lontarnya, spontan. Tapi suaranya lebih lembut dari yang ia maksudkan. Ia melihat Ruby tersentak, memutar tubuhnya dengan cepat, rambut pirangnya yang terurai berputar mengikuti gerakannya yang terburu-buru.
Ruby menggigit bibir bawahnya. Panik sekaligus berusaha keras agar terlihat baik-baik saja. Menyembunyikan kegugupannya di balik senyum terpaksa. "Aku... aku hanya—" suaranya tercekat.
Rhys mengangkat sebelah alis. "Hanya apa?"
"Aku... aku hanya... tidak bisa tidur. Jika tidak ada yang perlu Tuan perintahkan, maka aku akan kembali ke kamar. Selamat malam." Ruby membungkuk sedikit, dan berusaha melewati tubuh Rhys dengan langkahnya yang tiba-tiba memberat. Namun...
Rhys dengan cepat menahan tangan Ruby sebelum berhasil melangkah pergi. "Tunggu," katanya tegas tetapi terdengar lembut.
Kemudian, Rhys menarik tubuh Ruby hingga bersentuhan dengan tepi konter dapur, merengkuhnya, tak memiliki ruang untuk melepaskan diri. Tidak ada yang Ruby lakukan selain terkejut dan menegang. Mata cantiknya membulat sempurna, menatap Rhys dengan campurnya rasa takut.
Ruby melihat pria tinggi yang merengkuhnya itu perlahan menunduk. Wajah mereka kini hanya berjarak beberapa inci. Rambut pirangnya, yang biasanya ditata dengan rapi, kini sedikit menutupi wajah pucatnya, menambah kesan rapuh. Napasnya memburu, dadanya naik turun di bawah kaos tipisnya. Dari jarak sedekat ini, Rhys tak bisa mengalihkan pandangan. Bener yang dikatakan Elias, kokinya itu memang cantik, bahkan tanpa riasan dan berpakaian sederhana. Pupil mata biru; jernih dan polos, bulu mata lentik yang berkedip-kedip lucu, menyimpan secercah rasa takut yang—Rhys akui dengan getir—justru membuat terlihat semakin...
Ah, sial. Perasaan asing apa ini?
"Tuan, ba—bagaimana jika ada yang melihat, aku takut dalam masalah besar."
"Mereka sudah terlelap, tidak akan ada yang melihat."
"Tuan Rhys... aku tidak bisa bergerak," lirih wanita itu, mencari alasan lain.
Rhys menikmati kendali yang ia miliki atas Ruby, ketakutan di mata wanita itu adalah bukti nyata kepuasannya. Ia tak bergeming, menikmati reaksi Ruby yang semakin panik. "Katakan, apakah kau ingin aku melepaskannya?"
Ruby mengangguk gemetar. Rhys semakin tak memberi jarak, hingga tubuhnya terhimpit, bahkan untuk sekedar bernafas saja rasanya sangat sulit.
"Dan apa yang akan kau lakukan jika aku tidak bergerak?" tanya Rhys, suaranya terdengar meremehkan.
"Aku... aku akan mendorong tubuh Tuan Rhys! Aku bisa melakukannya jika tuan benar-benar tidak ingin menjauh."
Tangan Ruby yang semula terangkat sedikit, kini kembali jatuh ke samping, tanpa kekuatan untuk melakukan apa pun. Mata biru beningnya itu berkaca-kaca, tanpa memutuskan kontak mata, dan melihat sorot tajam yang dilayangkan Rhys untuknya. Rhys, pria yang tak terbaca dan membingungkan. Pria yang selalu melakukan hal yang tiba-tiba, yang membuatnya merasa selalu berada di ujung tanduk. Keberanian palsu yang ia tunjukkan itu sirna, ia menyadari betapa bodohnya mencoba bersikap berani pada Rhys, pria yang mampu merenggut kendali atas dirinya hanya dengan tatapan mata.
"Jika bisa, lakukan sekarang." Rhys menantang, namun tidak ada pergerakan wanita itu. Sialnya, tatapannya semakin turun pada bibir berisi Ruby yang digigit dalam.
Sedangkan dibenak Ruby hanya ada kekacauan. Ia bisa merasakan keringat dingin yang membasahi kulitnya, dan juga bibir yang digigitnya itu semakin sakit. Bersama dengan menunduknya, Rhys mulai menjauh, seolah lupa dengan ucapannya tadi.
"Lupakan itu," ucap Rhys datar. Mengalihkan pembicaraan dengan tiba-tiba, membuat Ruby reflek menatapnya dengan skeptis. Tenang dan berlalu, pria itu berjalan santai kearah lemari es, membukanya. Memilih kaleng soda, gerakannya terbilang sederhana, namun tak luput dari perhatian Ruby.
"Ingat dengan perkataanku kemarin malam?" Mendapat anggukan bimbang Ruby, Rhys menyeringai tipis. Kemudian, membuka kaleng soda itu dengan mudah.
"Kau ingat itu, tapi kau mengingkarinya," lanjutnya.
"Tuan melihatku bersama Tuan Zade pagi tadi?" pertanyaan itu keluar seperti bisikan. Ruby menelan ludah, tangannya mengepal erat. Belum siap mendengar jawaban pria itu lagi.
"Tentu saja. Aku menyaksikannya, kau tampak panik sedangkan Zade begitu senang bersamamu. Aku yakin kau masih mengingat jelas ucapanku, tapi mengapa kau tidak bisa untuk menolak?"
"Aku sudah... sudah mengatakan pada Tuan Zade untuk menjaga jarak setelah kejadian pagi tadi. Dia pun setuju—"
"Dan kau percaya begitu saja?"
"Tuan Zade tidak mengatakan apapun, tapi aku akan tetap menghindarinya setelah ini, sesuai apa yang Tuan inginkan."
"Aku pegang kata-katamu, Ruby. Kuharap kau bisa menepatinya. Memiliki sedikit kendali atas pilihanmu sendiri itu penting, bukan? Terutama jika kau ingin tetap berada di tempatmu sekarang." Rhys menatap Ruby dalam diam sesaat, seolah-olah sedang membaca pikiran lewat ekspresi wanita itu. Dengan tenang ia meneguk soda, tanpa mengalihkan pandangan sedikitpun.
"Aku mengerti, Tuan."
"Kembalilah ke kamarmu," Rhys berkata, suaranya datar, tanpa sedikitpun nada hangat. Ia meremas kaleng soda, menimangnya pelan. "Aku tidak ingin siapa pun terlambat bangun pagi. Baik kau, pelayan maupun pengawal." Setelah itu, ia meneguk kembali sodanya, tanpa menunggu jawaban Ruby.
Lagi, Ruby menganggukan kepala. Matanya tak berani menatap Rhys. Ia ragu sejenak sebelum berbalik, meninggalkan sosok pria menatapnya di dapur seorang diri.
.........
Di kamar, dengan fasilitas cukup mewah yang disediakan, Ruby merasa asing. Jauh berbeda dengan ranjang sederhana yang biasa ia gunakan, kamar di mansion ini terasa terlalu layak, bahkan melampaui kata layak. Ranjang berukuran queen, terasa empuk dan nyaman untuk beristirahat setelah bergerumuh di dapur. Meja rias sederhana dan lemari pakaian yang cukup besar, namun hanya beberapa pakaian yang mengisi kekosongan di dalamnya. Semua ini disediakan oleh Beatrice, memintanya untuk tinggal jika memang terlalu larut untuk pulang. Berbeda jika ia berada di bistro, ia akan memilih pulang kerumah bibinya, Clarissa.
Mungkin kamar ini lebih dari kata nyaman, akan tetapi tampaknya Ruby tak merasakan itu. Setelah kembalinya di dapur, tubuhnya terbaring, disisi lain matanya yang tak mau terpejam. Ia bergeliat gelisah, pikirannya penuh dengan berbagai hal.
"Masalah Paman, Archie, Tuan Zade, Tuan Rhys... Mengapa mereka semua muncul dalam pikiranku sekaligus? Apa yang harus kulakukan... "
Ia membalikkan badan, menatap langit-langit. Suara lirihnya terdengar lagi, "Apa dengan tidur, aku jauh lebih baik? Aku takut mimpi itu akan kembali datang."
Cukup lama terdiam, ia mencoba memejamkan mata. Namun, yang muncul justru wajah indah Rhys dengan tatapan tajamnya itu. "Melihatku berinteraksi dengan Tuan Zade saja, Tuan Rhys sudah mengancam dengan mencari tahu tentang masalalu ku. Bagaimana jika.... aku tidak bisa menempati janji itu padanya? Apa dia akan membunuhku dengan sadis?" Pikiran aneh yang membuatnya panik. Ia menarik seluruh selimut hingga menutupi wajahnya.
"Hidupku memang di penuhi masalah, tapi aku tidak ingin mati muda."