Dilahirkan sebagai salah satu tokoh yang ditakdirkan mati muda dan hanya namanya yang muncul dalam prologue sebuah novel, Axillion memutuskan untuk mengubah hidupnya.
Dunia ini memiliki sihir?—oh, luar biasa.
Dunia ini luas dan indah?—bagus sekali.
Dunia ini punya Gate dan monster?—wah, berbahaya juga.
Dia adalah Pangeran Pertama Kekaisaran terbesar di dunia ini?—Ini masalahnya!! Dia tidak ingin menghabiskan hidupnya menjadi seorang Kaisar yang bertangung jawab akan hidup semua orang, menghadapi para rubah. licik dalam politik berbahaya serta tidak bisa ke mana-mana.
Axillion hanya ingin menjadi seorang Pangeran yang hidup santai, mewah dan bebas. Tapi, kenapa itu begitu sulit??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Razux Tian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 19
"Jadi, kalian kembali setelah itu?" tanya Owen pada Lilia. Berbaring bersama di atas tempat tidur dalam kamar tidur Lilia di Istana Sapphire, dia mendengar cerita dari istrinya akan apa yang terjadi hari ini.
"Iya," jawab Lilia sambil menghela napas. Menyandarkan kepala pada dada Owen yang ada di samping, dia mengernyitkan dahinya. "Xion bilang sudah tidak ada yang menarik untuk dilihat."
"Mengerti." Balas Owen pelan dan singkat. Tangan kanannya bergerak membelai rambut Lilia pelan.
"Apakah Xion benar-benat tidak ingin mengangkat pengawal pribadi?" Tanya Lilia pelan. Apa yang terjadi tadi siang masih diingatnya dengan jelas. Bagaimana Axillion mengajaknya pulang ke istana Sapphire karena tidak ada yang menarik lagi. Dia terlihat tidak peduli sedikitpun dengan keributan yang terjadi saat itu, dan yang terpenting, dia tidak peduli sedikitpun dengan pandangan Knight berambut hitam yang terus menatap punggungnya menjauh.
Owen tidak menjawab kali ini, dia hanya terus menggerakkan tangan membelai lembut rambut Lilia.
"Saya kira Xion akan menunjuk Knight berambut hitam tersebut menjadi pengawal pribadinya," gumam Lilia pelan. "—ternyata aku salah."
Owen tertawa kecil dan tidak mengatakan apapun. Kejadian hari ini, dia sudah tahu. Sebagai Kaisar, dia sudah mendapatkan informasi akan apa yang terjadi di tempat latihan Blue Royal Knight. Namun, dia juga tidak keberatan mendengarnya sekali lagi melalui Lilia.
"Anda menyarankan saya membawa Xion ke tempat latihan Blue Royal Knight, tapi sama sekali tidak membuahkan hasil" menoleh menatap Owen, Lilia menghela napas sekali lagi dan bertanya. "Apakah saya harus membawanya ke tempat latihan Red Royal Knight?"
"Kemanapun kau membawanya, hasilnya akan sama," jawab Owen sambil tersenyum. Tangannya masih tidak berhenti membelai rambut Lilia. "Dia keras kepala dan tidak akan mengubah keputusannya."
Alasan Owen menyarankan Lilia membawa Axillion ke Blue Royal Knight sebenarnya bukanlah karena Blue Royal Knight adalah kesatuan yang terbaik. Dia menyarankan ke sana karena tempat latihan Blue Royal Knight berada tepat di samping Istana Sapphire. Dengan begitu banyak orang yang ingin menemuinya, Axillion pasti akan dikerumuni jika dia pergi ke tempat latihan yang lain. Owen tahu, putranya tersebut benci dengan sesuatu yang merepotkan, karena itu, untuk kali ini saja, sebagai tanda terima kasih untuk kerja kerasnya akhir-akhir ini, dia membantunya.
Hanya saja, setelah dipikir-pikir, Axillion itu memang memiliki banyak cara untuk menarik perhatian. Belum mereda keributan akan dirinya mengenai kemampuan sihir serta pengetahuannya, dia kembali lagi membuat keributan baru. Owen tahu, Knight berambut hitam yang ada dalam cerita Lilia, selama ini dikenal sebagai Knight cacat yang tidak bisa menggunakan Aura. Dia adalah seorang penderita Mana Clog. Tapi, putranya menyembuhkan Knight tersebut.
Kelainan yang tidak dapat disembuhkan, berhasil disembuhkan Axillion dalan kurun waktu yang singkat. Owen tidak bisa membayangkan keributan dunia medis maupun sihir jika mengetahuinya. Untung kejadian tersebut terjadi di tempat latihan Blue Royal Knight dan dia dapat mengontrol berita tersebut tersebar keluar.
"Keras kepala Xion mirip dengan anda, Yang Mulia." Guman Lilia pelan. Matanya menatap lurus Owen tanpa rasa takut.
Owen tertawa mendengar ucapan Lilia.
"Jangan tertawa, Yang Mulia," dengan wajah cemberut, Lilia mengangkat kedua tangan menutup mulut Owen yang sedang tertawa. "—tidakkah anda khawatir akan Xion?"
Owen tertawa semakin keras mendengar pertanyaan Lilia. Dia mengerti kekhawatiran Lilia, mungkin ini adalah sifat alami seorang ibu kepada anaknya. Tapi, jika Lilia mengatakan itu pada orang lain, mereka semua pasti akan terdiam. Mengkhawatirkan Axillion?—anak yang bisa membantai para monster Gate terbuka dan menutupnya sendirian?
Suara hujan yang disertai petir memekakkan telinga terdengar di luar jendela. Cahaya kilat yang menyambar tanpa henti membuat kamar yang gelap gulita terlihat terang. Bau anyir tercium kuat, di dalam kamar, seorang anak laki-laki berusia lima tahun berdiri di tengah tumpukkan mayat beberapa orang dewasa berpakaian hitam dan genangan darah.
Wajah anak laki-laki itu cantik bagaikan lukisan atau pahatan malaikat maha karya pelukis terkenal. Namun, tidak ada ekspresi di wajah itu, begitu juga dengan mata hijaunya—datar tanpa emosi apapun.
Menyadari kehadiran dirinya, anak laki-laki itu menoleh kearahnya. Saat mata hijau identik mereka bertemu, seulas senyum memenuhi wajah sang anak. Matanya yang tanpa emosi berbinar penuh kebahagiaan. "Ayahanda, anda terlambat."
Kepingan ingatan akan masa lalu yang tiba-tiba terlintas dalam ingatan membuat Owen tersenyum. Dia tidak dapat menceritakannya pada Lilia, tapi, sejak dulu-dulu sekali, Axillion bukanlah anak yang perlu dikhawatirkan.
Menurunkan tangan Lilia yang menutup mulutnya, Owen tersenyum. "Tidak perlu menghawatirkannya."
"Meskipun anda berkata begitu," balas Lilia pelan. Dia bangkit duduk dan menatap Owen. "Hamba tetap merasa khawatir."
Owen tidak mengatakan apapun lagi, dia hanya tertawa sambil menggeleng kepala. Lilia mengatakan bahwa Axillion keras kepala karena mirip dengan dirinya, padahal kenyataannya sikap keras kepala putra mereka adalah warisan dari ibunya.
...****************...
Duduk di tempat tidur dalam kamarnya, Axillion menatap ke atas. Aksara-aksara sihir berwarna emas melayang mengelilingi dirinya. Berukuran kecil, Aksara sihir tersebut berjumlah ribuan. Jika ada yang melihatnya, orang tersebut pasti akan tidak percaya, karena aksara sihir tersebut adalah Rune.
Rune sendiri adalah sihir kuno yang terdapat dalam legenda. Sihir pertama dan juga termurni yang digunakan oleh para dewa. Namun, Axillion tahu, itu tidak benar. Rune bukanlah sihir para dewa, Rune hanyalah sejenis sihir yang komplek dan kuat. Sihir yang tidak menggunakan Mana sang Mage, melainkan Mana dari alam. Bagaimana dia tahu?—dia tentu saja tahu, karena dia membacanya dalam novel.
Axillion sendiri tidak mengingat detail novel yang dibacanya di kehidupan sebelumnya, namun untuk peristiwa penting yang akan terjadi, dia masih bisa mengingatnya. Hanya saja, dia tidak tahu lagi apakah peristiwa-peristiwa penting yang akan terjadi masih akan terjadi, sebab, semuanya sudah berbeda sekarang.
Aksara-aksara yang berputar di atas Axillion kemudian melayang turun dengan perlahan. Dengan teratur dan rapi bagaikan cahaya matahari yang menerobos keluar dari awan hitam, Rune tersebut menyinari dua cincin emas polos yang ada di depan Axillion.
Mengecil hingga tidak terlihat oleh mata biasa, Rune tersebut bergerak dan menempel pada batang cincin. Bersinar terang sebelum akhirnya kembali seperti semula, Axillion tahu, apa yang ingin dibuatnya telah berhasil—Artifak sihir.
Tersenyum puas, Axillion mengangkat kedua cincin tersebut dan memeriksanya. Tidak akan ada yang menyadari bahwa kedua cincin tersebut adalah Artifak sihir jika melihatnya. Cincin tersebut terlihat normal seperti cincin pada umumnya.
"Ya, kuharap cincin ini tidak akan pernah aktif untuk selamanya," guman Axillion pelan. Kedua mata hijaunya tidak lepas dari kedua cincin tersebut. "Tapi, lebih baik ada daripada tidak ada sama sekali."
...****************...