Apa yang kita lihat, belum tentu itulah yang sebenarnya terjadi. Semua keceriaan Aurora hanya untuk menutupi lukanya. Dia dipaksa tumbuh menjadi gadis kuat. Bahkan ketika ayahnya menjual dirinya pada seorang pria untuk melunasi hutang-hutang keluarga pun, Aurora hanya bisa tersenyum.
Dia tersenyum untuk menutupi luka yang semakin menganga. Memangnya, apa yang bisa Aurora lakukan selain menerima semuanya?
"Jika kamu terluka, maka akulah yang akan menjadi obat untuk lukamu." —Skala Bramasta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Aurora dan Skala tidak perlu mengemas pakaian mereka yang ada di hotel, orang suruhan Benjamin telah mengemas semuanya dan mereka antar ke mansion besar itu.
Saat ini Aurora sedang berjalan menelusuri rumah bak istana ini, sendirian. Sedangkan yang lain sedang mengobrol di ruang keluarga. Tadi Aurora pamit ingin tidur, tapi ia tidak bisa tidur, jadilah dia memilih jalan-jalan mengelilingi rumah besar ini.
Langkah kakinya terhenti ketika melihat seseorang yang sedang duduk di sofa yang ada di balkon. Tanpa sadar ia melangkah mendekati.
"Kakak?"
Archie yang tadinya fokus pada tablet pun menoleh ke arah Aurora. Gadis itu terlihat gugup, tangannya memainkan rambut panjangnya yang tergerai.
"Kamu butuh sesuatu?" tanya Archie.
Aurora menggeleng. "Tidak ada. Aku hanya ingin melihat-lihat," jawabnya.
Tanpa ia duga, Archie menyuruhnya untuk mendekat. Meski ragu, Aurora tetap melangkah mendekatinya, lalu ia duduk di samping Archie.
"Kita bukan hanya lima tahun tidak bertemu, tapi dua puluh tahun lebih. Benar?" Archie menatap Aurora dengan teduh. Benar-benar menenangkan.
Aurora mengangguk. "Iya. Maaf jika aku masih terlihat kaku. Aku belum terbiasa dengan kehadiran kalian." Jemarinya saling meremas karena gugup.
"Tidak masalah. Aku akan membuatmu terbiasa." Archie tersenyum tipis. "Ingin belajar hal-hal baru bersamaku?" tawarnya. Dia mengulurkan tangannya pada Aurora.
Tanpa ragu Aurora menerimanya. Telapak tangannya yang mungil, digenggam erat oleh telapak tangan lebar milik Archie.
"Iya, aku mau," jawab Aurora seraya tersenyum juga.
"Apa yang kamu sukai? Beri tahu aku tentang dirimu, agar aku bisa membantumu," ujar Archie. Dia beralih merangkul Aurora dan mendorong pelan kepala gadis itu agar bersandar di pundaknya.
"Aku suka sesuatu yang bersifat kuno, Kakak," jawab Aurora.
"Sejarah?"
"Hu'um. Benda-benda yang kuno, aku menyukainya. Namun, aku tidak terlalu tau tentang sejarah," jelas Aurora.
"Kamu memiliki benda kuno di rumahmu?"
"Ya, biola. Itu pemberian nenek, neneknya Skala."
Archie tersenyum tipis. "Kamu bisa bermain alat musik?"
"Hanya biola."
"Aku tidak percaya." Archie tersenyum tipis. "Kamu mahir memainkan biola, tapi aku yakin, kamu juga bisa memainkan alat musik yang lain."
Aurora tersenyum. "Aku ... tidak tau..."
"Lalu, kamu menyukai apa lagi?"
"Melukis. Aku suka melukis. Dengan melukis, aku bisa mengekspresikan apa yang aku rasakan. Tidak indah, tapi aku bisa memahaminya. Karena aku melukis untuk diriku sendiri, bukan untuk orang lain. Jika mereka tidak mengerti arti lukisan ku, aku tidak masalah."
Archie tersenyum. Dia bangga dengan pendirian yang Aurora tanam. Melukis dan bermain alat musik? Tidak ada yang menyukai hal itu di keluarga Alessandro. Mereka hanya suka dengan sesuatu yang berbahaya. Aurora benar-benar seperti berlian di keluarga ini. Berlian yang bersinar di antara kegelapan.
"Kami tidak akan melarang mu untuk berkarya, Aurora. Lakukan apapun yang kamu mau," ujarnya.
Aurora mendongak menatap Archie. "Kakak ingin mengajarkan aku apa? Aku ingin belajar sesuatu darimu."
Archie terdiam sejenak sebelum menjawab. "Bukan hanya aku, kami akan mengajarkan mu sesuatu yang belum pernah kamu pikirkan." Tangannya mengelus rambut Aurora dengan lembut.
"Apa itu?"
Archie tersenyum penuh arti. "Kamu akan tau nanti."
****
Aurora senang tinggal di rumah orang tua kandungnya. Selain nyaman, di sana ada banyak orang, jadi dia tidak kesepian sama sekali. Charlie yang awalnya tidak tertarik akan kehadiran Aurora, kini menjadi begitu posesif. Aurora tidak diperbolehkan melakukan sesuatu yang membuatnya lelah.
Sangat berbeda dengan kehidupan Aurora dulu. Keluarga Alessandro benar-benar memanjakannya. Itulah yang membuat Aurora nyaman dan merasa aman.
Skala selalu sibuk bersama Benjamin, sedangkan Aurora bermain bersama Charlie. Karena pria itu yang jarang sibuk. Sedangkan Lythia sesekali menengok mereka apakah akur atau tidak, lalu kembali bersantai menonton TV. Thomas dan Archie sedang sibuk dengan urusan mereka.
"Ini salah." Aurora merebut lego yang dipegang Charlie lalu membongkar yang salah.
Charlie menghela nafas berat. Entah darimana adiknya mendapatkan mainan seperti itu. Dia bahkan baru melihat benda tersebut. Harus menyusun semuanya untuk menjadi sebuah karakter. Dan itu tidak mudah.
"Permainan puzzle seperti ini adalah keahlian Archie," ucap Charlie. Dia merebahkan dirinya di karpet bulu, sedangkan Aurora tetap fokus merakit.
"Kak Archie sepertinya tidak mau membuang-buang waktu demi menyusun mainan ini," balas Aurora. Hanya butuh tiga hari mengenal ketiga kakaknya, Aurora bisa hafal dengan sifat dan ciri khas masing-masing dari mereka.
"Aku yakin, jika kamu yang memintanya, dia akan menurut," ucap Charlie yang memang benar adanya. Si bungsu memang sangat disayangi oleh mereka.
"Tapi aku tidak ingin mengganggu Kak Archie." Aurora mengangkat lego nya. "Yeay, sudah jadi!" serunya kegirangan.
Charlie beranjak duduk, dia menatap lego yang dirakit oleh Aurora. Bentuknya seperti kartun, berwarna pink.
"Cantik, kan?" Aurora menyodorkan lego tersebut pada Charlie agar sang kakak bisa melihatnya dengan jelas.
"Tidak buruk," tanggap Charlie.
Aurora mengambil satu kotak lego yang belum disusun. "Ini, coba Kakak rakit jadi seperti ini juga. Aku ingin memperlihatkannya pada Daddy nanti," ujar Aurora dengan antusias.
Melihat betapa antusiasnya Aurora, Charlie jadi tidak tega untuk menolak. Ia pun segera mengambilnya dan mulai menyusun semuanya meskipun kepalanya terasa pusing akibat kebingungan. Terlebih, ini adalah lego yang kecil, bukan yang besar. Tentu saja Charlie pusing dibuatnya.
"Aku ingin mengambil snack dulu." Setelah mengatakan itu, Aurora berlari keluar dari kamar Charlie dan menuju dapur.
Ketika melewati ruang keluarga, langkahnya memelan. Diam-diam dia menguping apa yang dibicarakan oleh Skala, Benjamin dan Lythia di dalam sana. Namun, Aurora tidak paham. Mereka bukan membicarakan tentang dirinya, melainkan...
"Apa yang kamu lakukan?"
Gadis itu seketika terkejut, hampir saja terjatuh jika Thomas tidak menarik kerah baju bagian belakangnya.
Aurora tersenyum canggung. "Aku hanya lewat saja, Kak."
Thomas melirik ke ruang keluarga, di sana ketiga orang itu masih asik berbincang tanpa tau apa yang terjadi di luar. Ia pun menarik tangan Aurora agar segera pergi dari sana sebelum adiknya mengerti apa yang dibahas oleh Benjamin.
"Jangan menguping pembicaraan orang, Rora. Itu namanya tidak sopan, mengerti?" ucap Thomas setelah mereka menjauh dari sana.
Aurora mengangguk patuh. "Maaf," ujarnya degan tulus dan penuh sesal.
"Tidak masalah, asal jangan diulangi." Thomas mengelus kepala Aurora dengan lembut. "Aku baru membeli sesuatu untukmu, ayo." Ia menggandeng tangan Aurora menuju dapur ruang makan.
"Apa itu?" tanya Aurora penasaran.
Thomas tidak menjawab, hingga saat mereka sudah sampai di meja makan, mata Aurora langsung berbinar. Di sana terdapat banyak makanan, terutama sosis bakar kesukaannya.
"Sosis!" pekiknya kegirangan. Dia langsung duduk di kursi dan memakan sosis tersebut tanpa ragu.
Thomas tersenyum melihatnya. Padahal dia tidak terlalu suka membeli jajanan di luar, tapi ketika ingat sekarang ada Aurora di mansion, dia pun membelinya untuk si bungsu itu. Dan ya, sesuai dugaannya, Aurora menyukai makanan yang ia beli.
"Enak?" tanya Thomas seraya mengelus puncak kepala Aurora dengan lembut.
Aurora mengangguk. "Enak! Terimakasih, Kakak!"
Thomas mengangguk pelan dan membiarkan Aurora makan dengan tenang.
"Ini adalah jatahmu untuk bulan ini. Setelahnya kamu tidak boleh memakan makanan ini selama satu bulan ke depan," ucap Thomas tanpa bersalah.
"Heuh?" Aurora menatap kakaknya dengan tidak terima. "Aku—"
"Tidak ada penolakan, Baby."
bersambung...
lanjuuuut