“Jangan dulu makan! Cuci piring dan sapu halaman belakang, baru makan!” Bentak Bunda.
Bentakan, hardikan dan cacian sudah kenyang aku terima setiap hari. Perlakuan tak adil dari dua saudara tiri ku pun sering aku dapatkan. Aku hanya bisa pasrah, hanya ada satu kekuatan untuk ku masih bertahan tinggal dengan ibu tiri ku, semua karena demi ibu ku!
Ya, ibu yang mengalami Gangguan Jiwa sehingga harus di rawat dirumah. Maka aku hanya bisa bersabar menerima semua kondisi ini. Kemana akan berlari sedangkan ibu ku butuh di rawat, namun setiap hari perlakuan ibu tiri pada ibu membuat aku tak dapat menerimanya. Puncaknya saat aku mengutarakan pada ayah ku jika aku ingin kuliah.
“Tidak! Anak perempuan untuk apa kuliah! Kamu hanya akan di dapur! Buang-buang biaya!” Tolak ibu tiri ku dengan keras. Ayah pun hanya mengikuti keinginan istri mudanya.
‘Aku harus menjadi perempuan kuat dan aku harus bisa merubah takdir ku!’ Tekad ku sudah bulat, aku akan merubah takdirku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sebutir Debu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 Bertemu Kak Gaffi
Keesokan harinya dengan membawa berkas aku duduk di ruang pendaftaran universitas, merenungkan pilihan jurusan yang akan aku ambil. Di hadapanku, terdapat satu jurusan yang menjadi pilihan ku yaitu Fakultas Psikologi, namun aku sedikit tertarik jurusan dakwah. Aku memutar otak, mencoba memutuskan jalur yang tepat untuk masa depanku. Namun, dalam keheningan itu, ada satu sosok yang membuat hatiku berdebar-debar. Lelaki yang kemarin sempat mampir kedalam ingatan ku,Kak Gaffi. Cinta terpendamku sejak SMA.
Ketika aku sedang memperhatikan brosur jurusan ilmu Psikologi, pandanganku tiba-tiba tertuju pada seseorang yang mendekatiku dari kejauhan. Aku mengenali sosok itu dengan segera. Itu adalah Kak Gaffi, ternyata ia pemilik kafe yang berada tepat di sebelah kampus ini, sebuah bangunan yang diapit oleh toko fotokopi. Kafe itu adalah tempat di mana kami terlibat dalam berbagai obrolan semasa SMA dulu, saat akan ada lomba biasanya guru kami membawa kami ke tempat itu untuk belajar dengan alasan wifi nya gratis.
Kak Gaffi berjalan dengan langkah mantap menuju ke arahku. Hatiku berdebar semakin kencang saat dia semakin mendekat. Aku merasa canggung, karena aku sendiri terlebih lagi sangat suli untuk ku berkomunikasi dengan orang yang tak terlalu dekat dengan ku.
"Gendhis, benarkah itu kamu?" tanya Gaffi dengan senyuman lembut di wajahnya.
Aku tersenyum malu, "Ya, Kak Gaffi. Aku tidak menyangka bisa bertemu dengan kakak di sini. Apa kabarnya?" tanya ku pada Kak Gaffi, ada rasa bahagia yang menyeruak ke bilik hati ku, Kak Gaffi masih mengingat aku.
Kak Gaffi tersenyum hangat, "Aku baik-baik saja. Aku baru saja membuka kafe di sebelah kampus ini. Kamu sedang mendaftar di sini?"
Tanyanya yang melirik sebuah brosur yang ada di tangan ku.
Aku mengangguk, "Iya, Kak. Aku sedang mencoba mendaftar ke universitas ini. Tapi aku masih bingung dengan pilihan jurusan yang tepat."
Kak Gaffi mengangguk seraya meletakkan tangan di pundakku dengan penuh kehangatan. "Gendhis, aku ingat betul masa-masa SMA kita. Kamu adalah sosok yang cerdas dan penuh potensi. Aku yakin kamu akan sukses dalam apapun yang kamu pilih." Ucap kak Gaffi.
Aku merasa tidak nyaman dan tidak senang ketika Kak Gaffi tiba-tiba memegang pundakku. Perasaan risih melanda ku karena sekarang aku telah memutuskan untuk berhijab. Bagi ku, tindakan tersebut terasa tidak pantas dan melanggar batasan pribadi yang telah dia tetapkan. Meskipun aku memahami bahwa kak Gaffi mungkin tidak bermaksud buruk, namun aku ingin mengungkapkan ketidaknyamanan aku dan meminta kak Gaffi untuk menghormati keputusan ku untuk berhijab dengan memberikan ruang pribadi yang lebih besar.
“Maaf kak,” ucap ku sedikit bergerak sehingga bahu ku menjauh dari kak Gaffi.
Kak Gaffi melepaskan tangannya dari pundakku dan menatapku dengan penuh perhatian. "Gendhis, saat kita bersekolah bersama dulu, aku selalu terpesona dengan kepribadianmu yang kuat. Aku juga merasa ada hal yang istimewa di antara kita. Apapun pilihanmu, aku akan selalu mendukungmu. Namun melihat dirimu lebih baik ambil yang psikologi.” Ucap kak Gaffi memberikan alternatif pilihan. Saat aku ia melihat bahwa aku menconteng dua fakultas yang ku tulis diujung nya 'pilih yang mana'.
Aku dan kak Gaffi melanjutkan obrolan kami, namun kami tidak duduk berdekatan. Meskipun kami sedang berbicara, tetapi jarak antara kami terasa cukup jauh. Aku merasa perlu menjaga jarak agar tidak ada kesalahpahaman atau interpretasi yang salah. Aku hanya ingin memastikan bahwa hubungan kami tetap dalam batas-batas pertemanan dan tidak ada kesalahpahaman mengenai perasaan romantis di antara kami. Meski begitu, kami masih bisa berbincang dengan nyaman dan saling mendengarkan tanpa merasa canggung. Kedua belah pihak berusaha menjaga kenyamanan dan menghormati privasi masing-masing dalam percakapan kami.
Kak Gaffi bercerita tentang perjalanan hidupnya setelah lulus SMA, tentang kafe yang dia bangun dengan susah payah. Aku terpesona dengan dedikasinya dan semangatnya yang tak pernah padam. Aku juga menceritakan tentang perjuanganku dalam menentukan jurusan yang tepat, kebingunganku dalam menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian. Setiap kali kami berbicara, aku merasa semakin dekat dengan Gaffi. Ada kecocokan dan kebersamaan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Setiap kali kami berbagi tawa atau saling memberikan dukungan, hatiku berbunga-bunga. Namun, di balik semua kebahagiaan itu, ada rasa takut dan keraguan yang menghantuiku.
Aku terus memikirkan tentang kerudungku yang menutupi kepala. Aku tahu bahwa Kak Gaffi adalah orang yang penuh pengertian dan menghargai keputusanku, tetapi aku juga merasa terhalang oleh aturan yang aku pegang erat.
Saat aku menoleh ke arah pintu pendaftaran yang kembali di buka, aku baru akan berdiri kak Gaffi melontarkan satu pertanyaan pada ku.
“Ndhis, apakah kamu tahu kenapa para ulama suka minum teh?” tanyanya pada ku
“Tidak tahu, Kak. Ada apa?” tanya ku seraya mengernyitkan dahi.
“Karena mereka ingin menjadi ‘Ulama teh-pilih’ Hehehe, kamu tegang sekali, aku dari SMa jarang melihat mu tersenyum Ndis. Kalau begini kan lebih manis.” Ucap Kak Gaffi yang ternyata selama ini mengamati aku.
"Gendhis, remember, success is not final, failure is not fatal, it's the courage to continue that counts." Ucapnya seraya mengepalkan tangannya ke arah depan saat aku berpamitan untuk lanjut mendaftar. Aku melemparkan sedikit senyum dan meninggalkan lelaki bertubuh tinggi dan berkulit putih tersebut, wajah tampannya mirip artis yang bernama Aliando kalau kata teman-teman satu kelas aku dulu. Hati rasanya begitu hangat saat mengingat kalimat terakhir yang diucapkan kak Gaffi yang berarti 'Gendhis, ingatlah, kesuksesan bukanlah akhir, kegagalan bukanlah kehancuran, yang penting adalah keberanian untuk terus melangkah'. Ya, selama ini keberanian adalah modal ku mencapai titik dimana saaat ini aku berada.
Dengan hati yang penuh harap, aku melanjutkan proses pendaftaran ke universitas, berharap bahwa pilihan jurusan yang aku ambil akan membawa aku pada masa depan yang cerah, baik dalam bidang akademik maupun dalam cinta yang terpendam selama ini.