Aramina Dwi Fasya, gadis yang menyandang gelar lulusan S1 Pendidikan Ekonomi namun masih mempertinggi angka pengangguran, beban keluarga. Menjadi seorang EXE-L di usia 20 tahun membuat kehidupan gadis itu diwarnai dengan drama serta kehaluan bakal bersanding dengan sang bias favorit, Kay. Berawal dari sebuah konser dan Fanmeeting di ibukota menyadarkannya pada kenyataan bahwa menyentuh sang idol adalah nyata!
Belum lagi sebenarnya banyak kejadian tak terduga yang terasa bagai mimpi melengkapi imajinasinya soal hal paling tidak memungkinkan di dunia ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Trii_e, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20. Bunga di Balkon Atas
Hiks!!
Apa aku masih pantas keluar malam ini?
Apa mas Juan masih mau mengajakku jalan?
Hiks!!!
Kalau aku keluar, mungkin masih jadi bahan tertawaan. Kalau tidak keluar, mas Juan sudah usaha keras datang meminta izin kemari dan tak mungkin kuabaikan begitu saja. Tapi kalau ia beneran ilfeel gimana?
Kadang aku bertanya-tanya kenapa keluarga gue dan Arin bisa tetanggaan, bisa sama-sama absurd dan konyolnya juga mirip. Kaya orang bilang : jodoh itu cerminan diri. Jadi teman dan tetangga juga merupakan cerminan diri. And who knows siapa yang pertama kali membawa sifat-sifat itu ke dalam rumah. Yang jelas Arin, bang Sat, dan aku sudah terlahir sedemikian rupa.
Pergi tidak?
Pergi tidak yah?”
Kuntum mawar kw yang sengaja kami buat dulu dari kertas minyak akhirnya berguna. Kuambil satu seraya menghitung sambil menjatuhkan kelopak antara ya dan tidak.
“ya, tidak, ya, tidak, ya, tidak, ya, tidak, ya, tidak ... Ah itu kuntumnya kemarin Arin petik satu, jadi jawabannya ya!”
Dan kuputuskan akan pergi saja. Lagi-lagi demi memikirkan ini adalah waktu emas, biar malu segede gunung Tangkuban perahu juga gue lakonin. Hanya sedikit menekan rasa malu, maka jalan sama mas Juan akhirnya akan jadi. Soal dia ilfeel atau gimana itu sih urusan nanti.
“Oke! Mina, Lo kan gak tau malu, so ... Yuk keluar aja!”
Ketika sampai di ruang tamu, mereka berempat masih stay di tempat masing-masing. Bukan tertawa, sedikit deheman saja mungkin? Ah bodo amat! Pokoknya aku sepakat untuk mengubur rasa malu ini dalam-dalam.
“Kami izin berangkat yah pak, Bu? dan Satria Lo tenang aja, gue bakal jaga Mina seperti aku menjaga diri sendiri.”
Appa, eomma dan bang Sat mengangguk barengan. Aku keluar lebih dulu dan melihat sebuah moge keren warna hitam terparkir dekat sepeda usang. Jauh perbedaannya, orang lihat mungkin bakal bilang : orang kaya vs rakyat jelata. Tahulah siapa yang termasuk kategorinya. Aku lah si rakyat jelata yang dijemput pangeran dengan kuda hitamnya malam ini. Me time!
“Pake helm dek.” Mas menyodorkan sebuah helm sambil memakai helmnya sendiri. Aku gak kuat, damage yang diberikan mas Juan kepada jantungku benar-benar kuat. Dag Dig dug tak karuan, takut kalau dia sampai dengar. Sumpah dia keren banget, walaupun pakaiannya serba hitam, jaket hitam, percayalah dia ganteng melebihi Justin Baby. Mas itu aura-auranya mirip badboy tapi perlakuannya sangat goodboy. Itu kan yang cewek zaman sekarang inginkan?
“Pegangan dek.”
Ya, pegangan seperti waktu itu ... Tolonglah hati! Jangan berhianat atas cinta Kay Oppa.
Berjarak dari rumah setelah keluar jalan sempit, mas Juan melajukan motornya dengan kencang. Kamu tahu kan? aku bukannya mau modus tapi ... Tapi ini sungguh di luar kendaliku sebagai cewek normal. Bahu yang lebar sangat nyaman sebagai tempat bersandar atas diriku yang lemah ini. Mas juga tidak keberatan tuh, malah beberapa kali mengatakan pegang kuat-kuat karena takut jatuh. Senang?
Sangat menyenangkan. Separuh hidupku bisa tertukar dengan adegan malam ini kalau besok-besok kesempatan datang dua kali. Mas Juan yang seperti dewa cinta, harum, cool, badboy but goodboy, tidak ada dari dirinya yang tersentuh atas nama kejelekan.
“Oppa ...” (ucapan tidak sadar) mudah-mudahan mas tidak dengar.
“Kenapa Mina?”
“Eh ...” duh, dasar Bimoli! “Ki-kita mau ke mana mas?”
“Mungkin makan? Atau kau ada hal lain yang mau dikunjungi?”
“Tidak mas. Makan saja.”
Kembali beku.
“Soalnya makan itu hobby, tidur itu hobby, dan main juga hobby.” Lanjutku. Aku ingin ketegangan antara kami mencair walaupun terpaksa menebalkan wajah beberapa senti. Rupanya mas tersenyum, kaca spion menunjukkan betapa bacotan garing seorang Aramina mampu mengukir senyum di wajah indah mas Juan. Baguslah, aku pun senang. Kira-kira kami akan ke mana kah? Resto pinggir pantai? Berburu truk coffe atau jajan di pojang macha? Bagiku itu semua it’s oke! Romantis.
“Kita sudah sampai dek “
Kupandangi sekeliling area, seperti kenal. Seriusan ini bukannya kawasan CLBK kemaren? Berarti kita ke caffe nya mas Juan dong? Ya elah ... Kirain seperti hayalan.
“Mas tidak terlalu nyaman makan di tempat lain. Apalagi waktu kamu bisa keluar tinggal sebentar lagi. Mas takut kejauhan waktunya habis di jalan. Nanti adek makan angin doang.”
“Hehe ... Iya mas perhatian sekali sih.”
“Tak apa kan dek?”
“Oh sangat tidak apa-apa mas.”
“Oke, kalau begitu ayo ke dalam.”
Kawasan CLBK waktu malam sangat indah. Aku menggerutu tadi sebab belum tahu situasinya. Semakin dilihat, semakin jatuh cinta hanya dengan menatap panorama saja. Mas dapat ide dari mana menciptakan suasana ini sedetail mungkin. Kesan penuh cinta. Belum sampai pintu masuk tiba-tiba seorang pekerja mas mendekat.
“Pak, ruangannya sudah siap.”
“Oh terima kasih Den. Kami akan segera ke sana.”
“Saya permisi yah pak.”
“Silahkan.”
Mas menarik tanganku menyuruh untuk ikut saja tanpa bertanya. Membingungkan, betul aku resah kalau tiba-tiba ruangan yang dimaksud adalah ruangan sepi dan terisolasi. Ucapan yang tadi, yang katanya mas tidak ada kejelekan sama sekali mulai membuat ragu. Bagaimanapun hati manusia itu berubah-ubah. Selagi berkecamuk di dalam, peri bersayap putih meniupkan kalimat bahwa tidak mungkin mas Juan orang mesum. Kalau macam-macam tinggal adukan ke bang Satria dan dia akan membereskannya untukku. Yeah, kurasa benar.
“Silahkan masuk dek.”
Pintu ruangan terbuka dengan lebar. Ternyata ... oke dengar! Ini tak seperti ekspektasi ku barusan. Ruangan itu berupa balkon yang langsung berhadapan dengan jalan raya. Saat siang hari akan terasa biasa saja, tapi saat malam ...
“Menakjubkan.”
“Mas tidak pernah membiarkan orang lain sembarangan masuk ke sini. Bahkan karyawan sendiri.”
“Kenapa mas?”
“Karena ini privasi dan indah. Hal indah tidak akan mudah didapatkan siapa saja.”
Mas Juan mempersilahkanku duduk di sofa empuk berwarna biru. Pemandangan malam langsung terlihat oleh mata telanjang tanpa menggunakan benda tambahan. Takjub, kurasa jika boleh setiap hari diizinkan naik, mungkin kuatur jadwal sesering mungkin. Pada pandangan pertama aku jatuh cinta, jatuh cinta di tempat yang sangat indah ini. Dalam hati juga tak tahu mengapa, tapi sepertinya ini tempat terspesial buat mas. Bahkan yang boleh sering ke sini mungkin hanyalah dia dan ... Isabel.
“Semoga kau nyaman yah dek.”
“Nyaman sekali mas. Ini tempat terindah yang pernah kudatangi.” Mataku terpaku pada sudut-sudut balkon yang ternyata dihuni banyak bunga warna-warni, sangat terawat, cerah dan pasti menambah kesan manis. “Apa aku boleh tanya mas?”
“Sure. Katakan saja Min.”
“Mas pecinta bunga?”
Bibirnya menarik seutas senyum, hanya sekilas. Menengadahkan wajah ke langit dan tersenyum kembali. Mungkin dari perkataan ku ada yang salah? Soalnya aku belum terlalu mengerti dunia dewasa itu bagaimana. Aku tidak paham sakit hati yang sesungguhnya apalagi itu soal cinta.
“Itu milik seseorang. Mas bertugas merawatnya sampai kapan pun.”
“Oo-ohh begitu mas.”
“Mas tidak terlalu suka bunga sebenarnya.” Lanjutnya kemudian. Ini membuatku sedikit tercengang, kalo mas tidak suka bunga lalu untuk apa dipelihara? Kalau boleh kubawa pulang saja buat eomma. “Tapi bunga itu akan tetap di sana sampai pemilik barunya ada.“
“Maksudnya mas akan kasih kalau ada yang mau? Eomma mungkin akan sangat menyukainya.”
Mas Juan tersenyum lagi, membelai rambutku lembut. “Sayangnya bunga itu tidak akan berpindah dari sana.”
Gimana sih mas Jin? Katanya tadi boleh. Oh? Ataukah itu ... Milik Isabel?
“Makanan datang. Duduklah!” pria itu menunggu.
Biarlah malam ini kusumpal mulut dengan makanan yang banyak, bukan dengan rasa penasaran. Mas bisa jadi tidak nyaman saat aku membuat dia berada di zona yang tak ingin ia masuki. Soal Isabel, itu urusan dia. Aku bahkan bukan siapa-siapa, hanya teman. Ya, kurasa hanya sekedar teman.