Tang Qiyue adalah seorang pembunuh bayaran nomer satu, dijuluki "Bayangan Merah" di dunia gelap. Di puncak kariernya, dia dikhianati oleh orang yang paling dia percayai dan tewas dalam sebuah misi. Saat membuka mata, dia terbangun dalam tubuh seorang gadis desa lemah bernama Lin Yue di Tiongkok tahun 1980.
Lin Yue dikenal sebagai gadis bodoh dan lemah yang sering menjadi bulan-bulanan penduduk desa. Namun setelah arwah Tang Qiyue masuk ke tubuhnya, semuanya berubah. Dengan kecerdasannya,kemampuan bertarungnya, dan insting tajamnya, dia mulai membalikkan hidup Lin Yue.
Namun, desa tempat Lin Yue tinggal tidak sesederhana yang dia bayangkan. Di balik kehidupan sederhana dan era yang tertinggal, ada rahasia besar yang melibatkan keluarga militer, penyelundundupan barang, hingga identitas Lin Yue yang ternyata bukan gadis biasa.
Saat Tang Qiyue mulai membuka tabir masalalu Lin Yue, dia tanpa sadar menarik perhatian seorang pria dingin seorang komandan militer muda, Shen Liuhan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dayucanel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Side Story: Ibu, Pahlawanku (Sudut Pandang Yuhan Kecil)
Namaku Yuhan. Kata Ayah, aku dilahirkan saat musim dingin. Tapi aku tidak ingat itu. Yang aku ingat adalah kehangatan pelukan ibu setiap hari dan suara lembutnya ketika ibu menyanyikan lagu Nina bobok buatannya sendiri.
Ibu selalu bangun sebelum matahari naik. Ia akan menyapu halaman, dan menyiapkan bubur jagung, dan kadang pergi ke kebun sambil membawa pisau kecil di pinggangnya. Aku pernah bertanya, kenapa ibu selalu bawa pisau?
"Supaya Ibu bisa melindungi kamu," katanya sambil tersenyum.
Aku suka senyum Ibu. Tapi senyum itu jarang muncul. Kadang Ibu selalu diam lama, seperti memikirkan sesuatu yang jauh sekali. Wajahnya terlihat sedih, tapi juga kuat. Waktu aku tanya, "ibu kenapa?" ibu cuma bilang, "ibu cuma lelah."
Tapi aku tahu.... Ibu bukan cuma lelah. Ibu sedang menanggung sesuatu yang aku belum mengerti.
Anak-anak di desa selalu bilang ibuku aneh. Mereka bilang, ibuku bukan orang sini. Bahkan dulu ia miskin dan tak punya siapa-siapa. Tapi aku tidak peduli. Bagiku, Ibu adalah yang paling hebat. Ia bisa membuat obat dari daun-daunan, memperbaiki atap rumah, dan bisa membuat api unggun menyala walau kayunya basah.
Aku juga pernah melihat Ibu menangis diam-diam. Saat itu pada malam hari, aku pura-pura tidur. Ibu duduk di samping tempat tidurku dan menggenggam tanganku sambil berbisik, "Kamu harus kuat, Yuhan. Suatu saat, kamu akan mengerti semuanya."
Aku tidak tahu apa yang harus aku mengerti. Tapi malam itu, aku berjanji dalam hati. aku akan jadi anak yang bisa membuat Ibu tertawa setiap hari.
Ayah juga hebat. Ia seorang tentara. Badannya tinggi dan suaranya keras, tapi kalau sama aku dan ibu, suaranya berubah jadi hangat. Kadang aku lihat Ayah selalu memeluk Ibu diam-diam saat mereka pikir aku tidak melihatnya.
Aku tahu Ayah sangat mencintai ibu.
Tapi aku juga tahu, ibu sedang menyimpan bagian dari dirinya yang tidak bisa dilihat siapa pun. Seperti rahasia yang hanya ia simpan sendiri.
Suatu hari, aku menemukan foto hitam-putih di bawah tempat tidur. Di foto itu ada ibu, tapi dia tidak pakai baju biasa. Dia pakai baju hitam-hitam, seperti bayangan. Matanya tajam sekali. Aku takut.... tapi aku juga bangga. Itu Ibu? Ibu pernah seperti ini?
Saat aku tanya, ibu tidak marah. Ia hanya mengambil foto itu dan berkata,"Itu ibu yang dulu. Tapi ibu yang sekarang sudah berubah."
"Aku suka Ibu yang sekarang," kataku dengan cepat.
Ibu tersenyum, dan kali ini, senyum itu sampai ke matanya.
Kadang aku berpikir, kenapa ibu bisa begitu kuat? Apakah semua ibu seperti itu? Teman-temanku bilang ibu mereka hanya bisa memasak dan menjahit. Tapi ibu bisa banyak hal dan dia tidak pernah mudah menyerah.
Aku ingin seperti ibu. Tapi ibu selalu bilang, "Kamu tidak harus sepertiku. Kamu hanya perlu jadi Yuhan, dan itu sudah cukup."
Tapi aku tahu, suatu hari nanti... Aku ingin menjadi seseorang yang bisa melindungi ibu.
seperti yang Ibu lakukan padaku sekarang.
Karena dalam hidupku, ibu bukan hanya ibuku.
Ibu adalah pahlawanku.
Suatu pagi, ketika angin bertiup lebih dingin dari biasanya, ibu mengajak aku ke kebun belakang. Di sana, tanaman kunyit dan serai tumbuh rapat, seolah saling melindungi. Ibu jongkok di antara semak-semak, menggali pelan sambil bernyanyi. Lagu ini sangat berbeda dari lagi tidurnya ritmenya lebih cepat, suaranya juga lebih kuat.
"Apa lagu ini punya arti Bu?" tanyaku sambil memegangi keranjang.
"Ibu menyanyikan lagu doa. Doa agar tanah tetap hidup, dan kita selalu tetap kuat."
Aku belum sepenuhnya mengerti, tapi aku ikut bersenandung. Di antara gumaman doa itu, rasanya kami seperti dua pejuang kecil yang menjaga kebun rahasia kami dari dunia luar.
Lalu, suatu sore, datang perempuan tua ke rumah. Kulitnya keriput tapi matanya tajam seperti milik ibu. Mereka berbicara pelan, kadang tertawa kecil, kadang terdiam. Aku mengintip dari balik pintu, mencoba menangkap kata-kata mereka.
"Sudah lama, ya," kata perempuan itu.
"Sudah terlalu lama," jawab ibu.
Setelah perempuan itu pergi, ibu duduk lama di kursi bambu. Aku mendekat dan memeluk kakinya.
"Ibu kenapa? Dan siapa perempuan tadi."
"Teman lama, Yuhan. Kami dulu sama-sama belajar bertahan dulu."
"Di mana?"
Ibu hanya tersenyum."Di tempat yang jauh dan gelap. Tapi dari gelap, kadang tumbuh cahaya."
Kalimat itu tinggal lama di kepalaku. Aku membayangkan ibu berjalan di lorong-lorong gelap, sambil membawa cahaya di tangannya, seperti pahlawan dalam cerita dongeng.
Beberapa hari kemudian, hujan turun deras. Atap bocor di kamar, dan ibu langsung naik ke genteng, meski hujan belum reda. Ayah mencoba melarang, tapi ibu bersikeras.
"Aku tahu sudut-sudutnya," kata ibu."Dan aku tak suka membiarkan air masuk ke tempat tidur anakku."
Dari bawah, aku melihat siluet Ibu di atap genteng basah, tubuhnya tetap kokoh meski angin mencoba menghempas, saat itu, aku merasa ibu bukan hanya pahlawan tapi dia juga benteng. Benteng yang tak pernah runtuh.
Malam ini, kami makan bubur hangat bersama. Ayah duduk di sebelah Ibu, sesekali menggenggam tangannya. Aku bisa merasakan kehangatan di antara mereka. Ibu tampak lelah, tapi kali ini dia tertawa saat aku menirukan suara ayam tetangga yang selalu berkokok di tengah malam.
"Ayam itu punya masalah pada waktu," kata ibu sambil tertawa.
Pada saat itulah suara yang paling aku suka di dunia.
Beberapa Minggu kemudian, saat kami ke pasar, ada anak kecil yang menangis karena kehilangan ibunya. Ibu langsung turun tangan, menenangkan anak itu dan membantu mencarinya. Dalam waktu singkat, anak itu sudah duduk tenang dalam pelukan ibunya.
"Bagaimana Ibu bisa tahu harus bicara apa?" tanyaku saat kami berjalan pulang.
"Ibu juga pernah menangis seperti itu, Yuhan. Tapi tak ada yang memeluk ibu saat itu."
Aku menggenggam tangan ibu lebih erat. Dan aku tahu, kelak, jika aku dewasa dan ibu suatu hari merasa lelah lagi... aku akan ada untuknya. Tak hanya sebagai anak, tapi sebagai penjaga, seperti yang ia ajarkan setiap hari.
Karena di dunia ini, tidak semua pahlawan punya mendali. Tapi ibu punya sesuatu yang lebih dari itu: hati yang tak pernah padam, bahkan di hari paling gelap.
sore itu, hujan turun perlahan, membasahi genteng rumah kami yang retak. Aroma nasi hangat bercampur tempe goreng memenuhi udara, membuat perut keroncongan meski hati masih penuh tanda tanya. Ibu menuangkan sayur bening ke mangkukku, matanya tak pernah lepas dari wajahku yang murung."Setiap luka itu ada gunanya." katanya pelan, "asal kita nggak berhenti berjalan." kalimat itu menggema lama, menjadi pelita kecil di antara keraguan yang diam-diam membesar dalam hatiku.
semangat Thor nulisnya😍😍😍
dan kalian para penulis keren punya imajinasi..
semangat semua 🥰🥰🥰🥰🥰
semangat nulisnya sampai tamat ya Thor...
aku setia menunggu kelanjutan kelanjutan ceritamu... 😍😍😍