"kamu pembawa sial tidak pantas menikah dengan anakku" ucap Romlah
"aku sudah mempersiapkan pernikahan ini selama 5 tahun, Bagaimana dengan kluargaku" jawab Ratih
"tenang saja Ratih aku sudah mempersiapkan jodohmu" ucap Narti
dan kemudian munculah seorang pria berambut gondrong seperti orang gila
"diakan orang gila yang suka aku kasih makan, masa aku harus menikah dengan dia" jawab Ratih kesal
dan tanpa Ratih tahu kalau Rojali adalah pendekar no 1 di gunung Galunggung
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RR 31
“Brengsek!” umpat Yohana, meninju setir dengan emosi.
Namun saat ia mendongak, beberapa mobil van telah menghadang di depan.
“Sialan... mereka, anak buah si wanita ular itu,” desis Yohana penuh amarah.
Perebutan kekuasaan dalam keluarga konglomerat memang kejam. Yohana pernah berjasa besar membawa perusahaan keluarga Kusumo memenangkan tender bernilai miliaran rupiah. Ia bekerja siang malam, menanggung tekanan luar biasa demi keberhasilan itu.
Namun yang ia dapatkan hanyalah ucapan terima kasih singkat. Sementara sanjungan, pujian, dan sorotan publik justru diberikan kepada Vania, adik tirinya.
Saat Yohana masih berguna pun, keluarga Kusumo dan ibu tirinya tak pernah benar-benar menghormatinya. Apalagi kini, setelah ia terang-terangan diusir. Sudah pasti ibu tirinya akan lebih berani—termasuk jika harus menghilangkan nyawanya.
“Rojali, gimana ini? Maafkan aku… aku selalu menyeretmu ke dalam situasi sulit,” ucap Yohana, suaranya lirih tapi penuh rasa bersalah.
“Siapa mereka?” tanya Rojali dingin, matanya menatap tajam ke arah van yang menghadang di tengah jalan.
“Mereka anak buah ibu tiriku—dia berasal dari keluarga mafia. Tapi keluargaku lebih percaya pada wanita ular itu daripada padaku. Mereka orang-orang berbahaya,” ucap Yohana, mulai panik. “Sepertinya, istrimu bisa jadi janda lebih cepat.”
Wajahnya tegang. Dalam hal kecerdasan, Yohana bisa diadu. Tapi dalam pertarungan fisik seperti ini, ia benar-benar tak berdaya.
“Kamu di sini saja, jangan keluar dari mobil,” ucap Rojali tegas, matanya tetap awas menatap ke arah depan.
Kemudian Rojali membuka pintu dan keluar dengan santai, seolah tak terpengaruh oleh suasana tegang. Tatapannya tenang, tapi tubuhnya siap menghadapi apa pun yang terjadi.
“Hanya dua manusia tak berguna. Satunya cuma punya badan bagus, tapi kerjaannya cuma jadi security kampungan,” ejek pria botak, suaranya penuh hinaan dan percaya diri.
“Dasar anjing-anjing jahanam,” geram Rojali, suaranya rendah namun tajam, bagi rojali mereka hanyalah semut yang sombong.
“Wah, brengsek lu!” teriak salah satu dari mereka, suaranya penuh ejekan dan siap memancing keributan.
Tanpa banyak bicara, pria itu langsung menerjang Rojali.
Dengan satu langkah gesit, Rojali menggeser tubuhnya sedikit lalu menghantamkan pukulan keras ke arah pudak lawannya.
“Bruk!” Tubuh penyerang terpental jauh dan langsung tergeletak—tak sadarkan diri, entah pingsan atau mati.
“Wah, ternyata dia punya kemampuan juga,” ucap pria botak, meremehkan.
Namun belum sempat ucapannya selesai, tahu-tahu Rojali sudah berdiri tepat di depannya. Gerakannya terlalu cepat untuk diikuti mata biasa. Tanpa peringatan, Rojali mengangkat tubuh pria botak itu dengan satu tangan, lalu—plak!—tamparan keras mendarat di wajahnya. Suara tulangnya nyaring, dan seluruh giginya rontok seketika, berhamburan di tanah.
Teriakan marah menggema. Dua puluh orang anak buah langsung menerjang bersamaan. Tapi Rojali gila—dia menjadikan tubuh pria botak itu sebagai tameng hidup.
Beberapa sabetan senjata tajam justru mengenai tubuh pria botak sendiri, membuat para penyerang kewalahan. Dalam hitungan detik, tubuh itu sudah tak berdaya, mengucurkan darah, sementara Rojali berdiri tenang, matanya liar, tubuhnya tegap, siap menghadapi dua puluh Sisanya berdiri gemetar, tak lagi seberani tadi. Rojali tetap tegap di tempatnya, mata tajamnya menyapu mereka satu per satu. Puluhan orang yang tadi menyerang kini diliputi ketakutan.
Tanpa ragu, Rojali menangkap salah satu dari mereka, mengangkatnya seperti boneka, lalu melemparkannya ke arah van yang menghadang jalan.
“Bruk!”
Mobil van itu terguncang hebat dan bergeser beberapa meter. Tubuh yang dilempar menghantam keras logam kendaraan, membuat dentuman mengerikan. Dipastikan, beberapa tulangnya pasti patah.
“Merepotkan saja, ini cecunguk,” gumam Rojali dingin, mengibaskan sedikit debu dari tangannya, seolah yang baru saja terjadi bukanlah apa-apa. Tatapannya masih liar, siap jika ada yang cukup bodoh untuk mencoba lagi.
Rojali membuka pintu mobil dan masuk. Begitu pintu terbuka, Yohana langsung menjerit panik.
“Jangan bunuh aku, bajingan!” teriaknya histeris.
“Wey, Bu... sadar,” ucap Rojali datar.
Yohana membuka matanya perlahan, melirik ke arah Rojali.
“Jali… apakah aku sudah sampai di neraka?” tanyanya lemah.
“Masih jauh… ayo kita pulang,” jawab Rojali tenang, tanpa ekspresi.
Mata Yohana membelalak saat melihat ke luar. Puluhan orang terkapar, dan mobil van yang tadi menghadang sudah bergeser jauh, penyok dan tak berdaya.
“Apa kamu yang melakukan semua ini?” tanya Yohana sambil menyalakan mesin mobil dan mulai melaju, masih syok dengan pemandangan tadi.
“Ya, siapa lagi? Emang Ibu bisa?” jawab Rojali santai, menatap lurus ke depan.
“Sombong,” ucap Yohana sambil tersenyum menggoda.
“Mereka cuma debu, kenapa aku harus rendah hati?” balas Rojali datar.
Yohana terdiam sejenak, lalu berkata, “Rojali… sepertinya ini hari terakhir kamu bekerja denganku.”
“Kenapa? Sudah kere ya?” sahut Rojali enteng.
“Hehe, kamu tahu sendiri. Aku udah diusir. Sekarang aku cuma punya mobil ini… sama sedikit tabungan,” ucap Yohana, berusaha tetap tenang.
“Ibu sudah dianggap kakak oleh istriku. Maka tugasku sekarang adalah melindungi kakak dari istri sendiri,” ucap Rojali tenang.
“Tapi aku nggak bisa bayar kamu,” ujar Yohana lirih.
“Kalau nggak bisa bayar, ajari saja aku cara cari uang yang bener,” jawab Rojali, masih santai.
Sebagai pendekar, Rojali tak terbiasa mengejar uang. Kalau butuh, ia tinggal datang ke perguruan, dan para guru besar akan memberinya apa pun tanpa bertanya. Tapi kini, ia ingin belajar hidup sebagai manusia biasa.
“Oke, kalau begitu, mulai sekarang kamu bukan pekerjaku lagi—kamu partnerku. Dan karena istrimu adikku, kamu harus panggil aku Kakak Ipar,” ucap Yohana sambil tersenyum licik.
Mengalahkan 20 orang dengan mudah, bahkan bisa menghadapi ilmu sihir, jelas Rojali bukan orang sembarangan. Yohana yang cerdas tak akan menyia-nyiakan peluang. Ia tahu, punya partner seperti Rojali adalah aset berharga.
..
Sementara itu, di rumah kontrakan yang disewa Yohana, Ratih sedang sendirian, membereskan rumah dengan tenang. Tiba-tiba, tiga mobil berhenti di depan. Beberapa pria berseragam serba hitam turun dan langsung masuk tanpa permisi.
“Siapa kalian?!” tanya Ratih waspada, memegang erat gagang sapu.
“Santai, Nona. Ayo ikut kami. Ayah Nona sudah menunggu di rumah besar,” ucap salah satu dari mereka tenang namun mengancam.
Ratih semakin curiga. Mereka datang tanpa sopan santun, dan berbicara seolah dia tak punya pilihan. Ia mundur satu langkah, memegang sapu erat-erat.
“Ah, kalian lambat sekali. Tangkap saja dia cepat!” seru pria yang tampak sebagai pemimpin mereka.
Salah satu pria menyerang, namun Ratih bereaksi cepat dan memukul dengan sapunya. Harusnya tak seberapa sakit, mengingat tubuh mereka besar dan kekar. Tapi justru terdengar suara retak. Tangannya patah, bengkok tak wajar.
“Tanganku!” teriak pria itu kesakitan.
“Wah, bos punya kemampuan juga rupanya! Serang rame-rame!” teriak pemimpinnya.
Namun sebelum mereka sempat bergerak, terdengar suara tembakan kecil.
Slep!
Sebuah jarum bius menancap di leher Ratih.
“Kalian terlalu lama,” ucap seseorang sambil menurunkan pistol berisi peluru bius.
Tubuh Ratih limbung dan akhirnya terkulai lemah.
“Ayo bawa!” perintah pria itu dingin.
..
Sore hari, Rojali dan Yohana tiba di rumah kontrakan. Begitu membuka pintu, keduanya langsung disambut pemandangan yang mengacaukan suasana hati—rumah berantakan, seperti habis diobrak-abrik.
“Kenapa bisa berantakan begini?” ucap Yohana panik, matanya menyapu seluruh ruangan.
Rojali langsung waspada, pandangannya tajam menyisir setiap sudut. “Ratih... Sayang... di mana kamu?” serunya, lalu bergegas menyusuri rumah, membuka setiap pintu dan ruangan.
Tak ada siapa pun. Rumah sunyi. Ratih menghilang.
Rojali berdiri membatu di tengah lorong. Napasnya memburu, rahangnya mengeras.
“Bajingan tengik... siapa yang berani menculik istriku… Aku tidak akan pernah memaafkannya,” gumamnya dengan suara rendah namun penuh amarah.
Tiba-tiba, atmosfer rumah berubah drastis. Udara terasa berat. Suasana menjadi mencekam, seolah dunia memasuki masa tergelapnya.
Aura gelap menguar dari tubuh Rojali. Dinding tampak bergetar pelan, dan Yohana menahan napas—dadanya sesak, tubuhnya gemetar.
“Rojali… tolong… tenangkan dirimu…” ucap Yohana lirih, tapi suaranya nyaris tak terdengar. Ketakutan menyergapnya. Ia sadar—Rojali bukan sekadar manusia biasa. Dan amarahnya… bisa menghancurkan segalanya.
makin seru ceritanya thor
rajin" lah up thor jgn cuma satu